Banyumas
beruntung karena memiliki Ahmad Tohari, pengarang terkenal.
Saya beberapa
kali ke Purwokerto, dan hampir setiap kali ke Kota ini selalu saja bisa
berjumpa dan bersua dengan Pak Ahmad Tohari. Padahal saya tidak mampir ke rumah
beliau, dan niat silaturahmi ke rumah beliau selalu TIDAK kesampaian. Tidak kesampaian
di antaranya karena beliau selalu sudah muncul di acara yang saya datangi,
terutama sebagai salah seorang pembicara. Rupanya Ahmad Tohari telah menjadi
daya tarik, magnit, dalam acara-acara sosial dan kebudayaan di dan dari kota
ini.
Purwokerto
punya objek wisata Baturaden, kawasan pegunungan yang indah dan adem. Ada
kuliner khas Tempe mendoan dan atau
soto sokaraja. Ada juga Universitas Jenderal Soedirman (perguruan tinggi kok pakai nama tentara!) dan UIN Walisongo. Tapi
kota-kota lain juga banyak memiliki kekayaan kultural seperti ini. Bahkan
melebihi Purwokerto.
Tapi beda dengan
kota kecil lain, Purwokerto punya Ahmad Tohari, sastrawan kelas nasional dan
internasional. Karena ITU namanya bisa jadi daya tarik untuk acara-acara yang
pesertanya datang dari luar daerah. Seorang teman mengatakan ia bersemangat
datang karena di antaranya ingin berjumpa dengan Ahmad Tohari. Beberapa peserta
saya lihat minta foto bareng, bahkan ada yang bawa buku karya beliau untuk minta
tanda tangan. Seorang peserta bahkan bilang secara terbuka bahwa ia gembira
sekali bisa bertemu langsung Ahmad Tohari.
Orang seperti
Ahmad Tohari harus dilihat sebagai kekayaan sebuah Kota. Tapi sekali lagi tidak
setiap kota memiliki sosok seperti Ahmad Tohari. Juga kenyataan tidak banyak
pengarang yang mau berdiam di sebuah kota kecil.
Sastra dan sastrawan adalah gejala urban.
Mas Tohari
juga awalnya adalah seorang urban. Karya-karya awalnya ditulis di Jakarta dan
tampak sebagian merupakan suatu pengenangan pada kehidupan desa yang indah,
damai namun serentak dengan ITU terancam oleh perubahan sosial-politik. Namun
kemudian ia memutuskan pulang ke desa. Memilih hidup di desa, menjadi petani,
memancing ikan di Kali, ngobrol lagi dengan
warga desa, bakul tempe, penderes, dan lain-lain. Namun beliau tetap bersetia
menulis dan terus menulis.
Tentu saja
keputusan pulang kampung ini TIDAK mudah. Mas Tohari pernah bercerita bagaimana
dilema yng ia hadapi ketika memutuskan pulang itu. Pekerjaan APA yang harus dilakukan?
Bagaimana pandangan tetangga dan warga desa? Dan lain-lain? Dan tentu saja
untuk menjadi orang desa, bukan orang kota yang tinggal di desa.
Sekarang jelas
keputusan pulangnya ini benar dan tepat. Kata Mas Tohari, keputusan pulkamnya
ini sebagai salah satu belokan penting dalam hidupnya.
Saya kira
belokan ITU penting tidak hanya untuk beliau, tapi juga buat Purwokerto. Buat
Banyumas. Pembawa acara mengatakan: "Mas Tohari adalah aset komunitas ngapak."
Saya melihat Mas
Tohari selalu ceria dan bersamangat. Senantiasa optimis. Tinggal di desa
mungkin membuatnya selalu bugar. Santai dan tidak ngoyo.
Di pagi buta
yang dingin dan berkabut, saya dan dua teman, beberapa tahun lalu turun dari
bis jurusan Purwokerto-Jakarta. Tak jauh dari kami turun, ada duduk seorang
lelaki berkemul sarung di pinggir jalan. Kami tanya, di mana rumah Pak Ahmad
Tohari, lelaki itu menunjukkan sebuah rumah dengan halaman cukup luas dan
pepohonan yang rindang di depannya. Benar itu memang rumah beliau dan kami
diterima nyonya rumah. Kami diminta menunggu sebentar. Nggak lama kemudian
beriringan dengan teh panas keluar seorang lelaki dengan sarung yang sama denga
lelaki yang kami tanya di pinggir jalan. Bukan sarungnya, orangnya juga sama.
ITU memang Pak Tohari. Kami minta maaf karena tidak mengenali dengan baik.
Itulah
perkenalan awal degan Pak Tohari. Siangnya kami diajak jalan-jalan ke kali
tempat dia biasa mancing dan ke kebun kelapa melihat orang menderes. Sayang
kami tidak berjumpa dengan Lasi, cewek cantik yang dikisahkannya dalam novel Bekisar Merah.
Waktu
berjumpa tadi, saya tanya masih memancing nggak? Masih donk, jawabnya. Kang
Tohari tetap santai dan yang TIDAK berubah tetap berpandangan luas dan terbuka.
Tak banyak
penulis yang diidentikkan dengan kotanya. Ahmad Tohari adalah salah satu yang tak
banyak itu. Ia memberi cahaya rohani pada Kota ini. Dan Kota ini memberinya
tahta yang agung, yang tak dimiliki oleh penulis lain.
Sehat selalu Mas
Tohari.
Hairus Salim, Budayawan.
Comments
Post a Comment