PENGUNGSI ROHINGYA
(SUMBER: WWW.123RF.COM)
Sahrul benar-benar benci dengan
keadaan semacam ini. Sebagai Lurah, ia benci dengan semua ini. Benci dengan
para pengungsi Rohingya yang bertumpuk di desanya. Benci dengan pemerintah
Junta Militer Myanmar yang bertindak barbar terhadap rakyatnya. Benci terhadap PBB yang mengaku sebagai
penyelesai segala masalah dunia, tapi seperti tak kuasa menghadapi masalah
Rohingya. Benci terhadap Negara-negara Asean yang hanya dapat memandang
pembantaian manusia di depan mata mereka. Benci terhadap pemerintah negaranya
yang tak lekas ambil peran penting, meski di pembukaan Undang-undang Dasar
telah jelas dinyatakan bahwa penjajahan di dunia harus dihapuskan.
Kadang-kadang Sahrul mengeluh dalam
hati: mengapa para pengungsi ini harus terdampar di kampung halamannya? Sudah tujuh
tahun mereka hidup di kampung halamannya ini. Mereka datang tidak diundang. Tapi
bukan berarti mereka tamu tak diundang. Mereka terdampar! Ya, terdampar artinya
perahu mereka tanpa sengaja merapat di kampung halamannya. Padahal kampung
halaman Sahrul ini di pelosok dunia, pelosok Indonesia, bahkan pelosok entah
dari sudut mana saja. Hampir sewindu para pengungsi itu tinggal bersama dengan masyarakat
yang lebih dulu tinggal di kampung tersebut. Ya, warga yang Sahrul menjadi
Lurahnya.
Dan sudah selama itu, Sahrul harus
memeras keringat, membanting tulang, menangis darah dan air mata, dan entah
pilihan bahasa apalagi yang dapat digunakan untuk menggambarkan kekesalan
hatinya sebagai Lurah. Gaya bahasa apalagi yang dapat digunakan untuk
menggambarkan segala upaya untuk berdamai dengan persoalan pengungsi Rohingya
di kampungnya ini.
Sejak tujuh tahun lalu ia selalu
menonton basa-basi di televisi. Sejak tujuh tahun lalu ia mendengar kabar-kabar
simpati dan empati, tapi wujudnya omong kosong dan bualan belaka. Para aktivis
kemanusiaan, para tokoh politik, para pengusaha, dan para seniman itu, seperti
omongan Rendra dalam Sajaknya bahwa kata-kata hanyalah lips service belaka.
Sudah tujuh tahun dan para pengungsi itu hanya menjadi sampah masalah bagi
kampungnya, dan menjadi sumber masalah bagi dirinya sebagai Lurah. Apa namanya
bila bukan sampah sumber masalah?
Sejak kehadiran para pengungsi itu,
kampung Sahrul yang sebelumnya damai, berubah menjadi seperti penuh masalah.
Pertengkaran dan perkelahian, mulai dari cek-cok lisan sampai perkelahian
berujung hilangnya nyawa. Bahkan, kadang dibiarkan seperti orang menonton
sabung ayam. Siapa yang mati dianggap biasa, dan yang kuat menjadi jagoannya.
Perkelahian bisa saja sebab rebutan makanan, rebutan setetetes air minum,
bahkan berebut perempuan. Miris memang.
Sahrul sering menangis dan meratap
kepada Tuhannya, mengapa semua ini harus terjadi di kampungnya, di kampung yang
ia harus menjadi Lurahnya. Ia sering meminta warga untuk mundur dari kursi
lurah. Tapi setiap ide itu disampaikan, seluruh masyarakat berteriak marah.
“Tidak bisa. Di saat ada masalah
begini, Pak Sahrul dilarang mundur. Bahkan sampai masalah selesai. Jika belum
selesai, bahkan sampai seumur hidup harus tetap jadi Lurah!”
Brengsek! Benar-benar brengsek!
Sebagai Lurah, ia sudah pernah menyaksikan beragam persoalan. Mulai dari anak
gadis pengungsi yang diperkosa lelaki dewasa di depan matanya. Dan ia hanya
dapat memandang dengan tatapan mata kosong, karena tak mampu menyelesaikan
masalah itu, selain lantas menikahkan anak gadis itu dengan yang telah
memperkosanya. Hanya dengan alasan, khawatir bayi hasil perkosaan
berulang-ulang itu lahir tanpa bapak.
Apakah selepas itu masalah jadi
beres? Tidak. Perempuan-perempuan yang menikah itu tak lantas lepas dari jerat
kekerasan. Pernah Sahrul menemui kasus, seorang perempuan muda, sedang
mengandung tua, diseret suaminya, dan disetubuhi di kubun kelapa belakang gubug
pengungsi tersebut. Perempuan itu hanya disuruh menghadap ke arah batang
kelapa, berpegang tangannya ke batang tersebut, dan suaminya menyetubuhinya
dari belakang! Kebejatan macam mana lagi yang dapat menyaingi kebejatan seperti
terjadi di kampungnya ini? Tapi ia tak mampu berbuat apa-apa!
Ia hanya dapat menyilakan para
pengungsi tersebut tinggal di kampungnya. Menyediakan mereka sedikit bahan
makanan. Dan secara bertahap menyilakan mereka ikut menggarap tanah milik desa.
Tentu atas sepersetujuan warga.
“Biarlah Pak Lurah. Kasihan. Mereka
kan muslim juga. Sama dengan kita di sini. Biarlah mereka menggarap tanah desa,
toh tak seberapa juga luasnya. Setidaknya mereka tidak menambah beban kesulitan
hidup kita. Dengan menggarap tanah itu mereka bisa makan seadanya dari tangan
mereka sendiri,” saran Pak Yasin. Pak Yasin adalah sosok tua yang selalu
menenangkan dirinya. Memberi sudut pandang lain.
“Gimana kalau para pengungsi itu kita
usir saja dari desa kita, Pak Yasin? Saya sudah lelah memikirkan mereka. Toh
pemerintah juga nggak ambil pusing. Toh pemerintah Myanmar juga mengusir
mereka. Toh PBB juga tak peduli. Toh Negara-gara Timur Tengah yang sama
agamanya dengan mereka juga nggak perhatian. Mengapa harus kita yang peduli
dengan orang-orang Rohingya ini?” keluh Sahrul.
“Jangan begitu Pak Lurah. Mereka itu
manusia. Kita ini manusia, bukan? Pak Lurah manusia juga, bukan? Sudahlah. Jangan
berharap banyak dengan orang luar sana, sekarang yang ada di depan kita ini
bagaimana caranya? Yang penting para pengungsi ini setidaknya nggak mati
kelaparan di kampung kita. Syukur-syukur kita bisa memikirkan pendidikan
anak-anak mereka. Kalau memang mereka harus tinggal di sini selamanya, ya
anggap saja takdir. Kita nggak pernah paham apa itu kependudukan, itu mestinya
tugas pemerintah, tugas PBB, tugas para aktvisi itu, iya kan? Kita mana paham
dengan soal begituan?” ujar Pak Kala, tokoh masyarakat yang lain.
Sahrul hanya mengangguk-anggukkan
kepala. Ia tidak mengiyakan, tapi juga tidak menolak pendapat tersebut. Ya memang
ia hanya mampu menganggukkan kepala. Setidaknya hanya itu yang kini dapat
dilakukannya sembari mendampingi para pengungsi Rohingya di kampungnya ini.
Sampai kapankah mereka para pengungsi
Rohingya tersebut bernasib seperti ini? Sahrul sudah bolak-balik ke kantor
kecamatan, tapi camat hanya mengangkat bahu. Bersama camat ia bolak-balik ke
kantor bupati, bupati hanya menghela nafas panjang. Bupati mengajak camat dan
Sahrul ke Jakarta, berhari-hari mereka di Jakarta dan tak mampu bertemu
siapapun juga. Mereka tidak mengenal siapapun, dan tak paham harus kemana.
Mereka seperti tiba di sebuah belantara. Setelah berhari-hari bertahan dengan
kemacetan dan keresahan, akhirnya mereka pulang kampung dengan tangan hampa. Bekal
habis, dan mereka pulang tanpa membawa apa-apa. Selain kesumpegan pikiran
tentang pengungsi Rohingya.
“Kadangkala saya jengkel dengan
mereka yang hobi rapat ini-itu, apa yang mereka rapatkan tentang para pengungsi
Rohingya?” keluh Sahrul.
“Sama Pak Lurah. Mereka yang
bolak-balik berteriak jihad-jihad itu, kenapa nggak langsung saja berangkat
perang ke Myanmar sana, dan tumpas habis para tentara bar-bar di sana, bila
memang punya keberanian?” sungut Pak Camat.
Di atas kapal Pelni, Lurah Sahrul dan
Pak Camat duduk berdiaman. Kapal digoyang gelombang.
“Sampai kapan kiranya masalah
Rohingya ini Pak Camat?”
“Entahlah Pak Lurah. Apakah menunggu
emas, minyak dan sumber energy lain yang mereka gembor-gemborkan itu habis?
Saya tak habis pikir, keserakahan macam apa yang ada di pikiran mereka?”
“Apakah tidak ada yang dapat kita
lakukan selain menunggu, Pak Camat?”
“Ada Dik Lurah. Berdoalah. Setidaknya
kita pernah berdoa. Mungkin tidak mengubah apa-apa. Tapi setidaknya kita sadar
bahwa kita memang lemah adanya.”
Kapal Pelni mengayun dua pejabat
rendah tersebut. Mereka berangkat naik kapal dan pulang naik kapal. Perut mereka
keroncongan menahan lapar. Tenggorokan mereka serasa kering menahan dahaga.
Sahrul mendesah, mungkin seperti inilah yang dialami para pengungsi Rohingya sebelum
akhirnya terdampar di kampungnya. Mungkin lebih parah. Mungkin lebih
mengenaskan. Mungkin lebih menderita. Gelombang tinggi menghantam kapal, dan
cipratannya membaur ke muka Sahrul. Air asin menyusup ke mulut Sahrul, dan
lidahnya merasa kehidupan lain yang telah lama tak dirasakannya. Kehidupan
laut!
Ya, bila para pengungsi itu tidak
tinggal di kampungnya, di manakah mereka akan bermukim menghabiskan sisa usia?
Mereka diusir dari kampungnya, tidak diterima di kampung lain, dan
terlunta-lunta di lautan. Mereka akan hidup di atas kapal-kapal, beranak-pinak.
Mereka akan dilupakan oleh sejarah bahwa mereka pernah ada di dunia. Tapi
mereka memiliki lautan. Ya, hanya di atas lautan saja mereka tidak diganggu
keserakahan.
Sahrul menghela nafas panjang
memikirkan nasib pengungsi Rohingnya. Dan ia kembali benci dengan semua ini. Mestinya,
bukanlah ia yang harus memikirkan semua ini. Mestinya, ia telah nyaman dengan
semua. Menjadi lurah yang dihormati, bercinta dengan istrinya yang cantik, bermain
bersama anak-anak, plesir untuk mewujudkan slogan “jangan lupa bahagia”, dan
kenikmatan hidup dunia yang lain. Ya, itu mestinya yang dinikmatinya sekarang. Bukan
ikut serta menikmati ayunan gelombang lautan, seperti para pengungsi Rohingya
tersebut!
Comments
Post a Comment