Saya termasuk orang yang buta atau paling tidak rabun sejarah. Agar penglihatan rabun saya menjadi jelas, saya butuh tools atau alat untuk melihat yaitu ‘kacamata’.
‘Kacamata’ yang saya butuhkan adalah informasi. Kumpulan informasi tersebut akan diolah menjadi pengetahuan. Dan kumpulan pengetahuan itulah yang bisa menjadi dasar kita membuat sebuah analisa sebelum disampaikan kepada orang banyak.
+++
Sebagai orang yang rabun sejarah, saya tentu tidak berani menuliskan panjang lebar isu sejarah, termasuk menulis sejarah tentang G30S/PKI apalagi sejarah tentang Rohingya. Itu semua karena referensi pribadi saya hanya dari buku yang jumlahnya bisa dihitung jari. Jangankan menulis, berkomentar saja saya takut salah!
+++
Bulan September ini, banyak warga fesbuk menulis ulang sejarah G30S/PKI dengan berbagai versinya. Tulisan-tulisan tersebut buat saya yang butuh kacamata untuk melihat sejarah dan tidak pernah mengunyah bangku kuliyah sejarah, tentu sangat membantu.
Nah, sebelum saya mengolahnya menjadi pengetahuan, maka saya harus menyaring sumber dan validitas berita. Bagaimana cara saya menyaringnya?
Jika ditulis oleh individu, cari rekam jejak atau reputasi penulisnya, termasuk dosa-dosa dan kebaikannya! Jika bukan dari individu, maka saya akan cari jejak situs atau nama akun yang membuat tulisan sejarah tersebut. Apakah hanya akun abal-abal hasil ternak atau memang akun yang kompeten untuk bicara sejarah.
Baru saya nikmati sajian sejarah di media sosial termasuk perbedaan-perbedaan versinya.
+++
Uniknya penulis ulang cerita sejarah di media sosial, kebanyakan bukan sejarahwan. Kebanyakan hanya akun yang mengkompilasi tulisan, berita dan kutipan dari para sejarawan atau dari pelaku sejarah itu sendiri.
Metode penulisan sejarah seolah-olah tidak lagi menjadi penting. Lalu buat apa kuliah jurusan sejarah jika sejarah bisa ditulis tanpa metode? Ah itu kan perasaan saya saja!
+++
Terlebih lagi, yang merusak cara saya belajar sejarah di media sosial adalah kaum generalisir yang selalu mengait-ngaitkan sejarah dengan urusan politik saat ini, mengait-ngaitkan tokoh politik tertentu dengan tokoh lain di sejarah masa lalu, termasuk menganggap bahwa sifat jahat itu menular dan diturunkan senada dengan teori seorang kriminolog Italia Cesare Lombrosso di abad 18.
Padahal tiap masa punya tokoh dan musuhnya masing-masing, dan tidak ada bukti teori bahwa anak penjahat akan menjadi penjahat, atau anak ustad tidak akan menjadi penjahat!
Seoul, October 2017
TEGUH ARIFIYADI, pegawai negeri sipil
Comments
Post a Comment