Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa setelah hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad saw. mendirikan sebuah masjid—kelak dikenal dengan sebutan Masjid Nabawi. Namun, pada saat itu, masjid tersebut secara fisik sebenarnya hanya berwujud sebuah lapangan yang dikelilingi tembok, ber-alaskan tanah, dan beratapkan langit. Di tengah-tengah Masjid Nabawi itu kini ada ruang dengan atap layaknya payung yang bisa dibuka. Dahulu, pada zaman Nabi, di tempat itu ada kebun kurma. Jika Nabi berbicara di hadapan jamaah yang memenuhi masjidnya, beliau berdiri di bagian masjid paling depan seraya bersandar pada sebatang pohon kurma, di sebelah kanan—yang kini dikenal sebagai mihrab Nabi.
Ketika jumlah jamaah bertambah, orang-orang berdesakan sampai ke ujung masjid. Mereka yang duduk paling jauh dari tempat Nabi berdiri tidak bisa melihat wajah beliau. Para saha-bat melihat Nabi tampak kelelahan kalau beliau berdiri lama. Lalu, mereka pun mengusulkan untuk membuat mimbar. Dari mimbar itu, kelak Nabi bisa sesekali duduk beristirahat atau menyampaikan khotbahnya sambil duduk saja. Di samping itu, karena posisi mimbar memang lebih tinggi daripada tempat duduk jamaah, semua hadirin tentu dapat melihat beliau. Maka, setelah mempertimbangkan alasan para sahabat, Nabi pun akhir-nya menyetujui ulusan mereka.
Pada suatu hari Jumat, setelah mimbar itu selesai dibuat, Nabi saw. keluar dari pintu kamarnya dan berjalan menuju mim-bar dengan melewati pohon kurma itu. Ketika beliau menaiki mimbar untuk menyampaikan khotbahnya, tiba-tiba banyak di antara jamaah mendengar bunyi rintihan yang sangat memelas. Semakin lama suara tangisan itu semakin keras, bahkan sampai mengguncangkan tanah yang menjadi alas masjid tersebut. Debu-debu yang menempel di tembok masjid pun berjatuhan. Para sahabat ikut menangis, meski mereka belum tahun dari mana sumber suara tangisan itu.
Rasulullah turun dari mimbarnya, lalu berjalan mendekati pohon kurma itu—sebatang kurma tua yang dulu selalu beliau jadikan tempat bersandar pada setiap kali akan menyampaikan khotbahnya. Beliau meletakkan tangannya yang mulia pada batang pohon kurma itu, mengusapnya dengan lembut, dan kemudian memeluknya sebagaimana memeluk seorang sahabat. Setelah itu, perlahan-lahan suara tangisan tersebut mulai mereda hingga akhirnya tenang kembali.
Para sahabat mendengar Nabi saw. berbicara kepada pohon kurma itu, “Maukah kamu kupindahkan ke kebunmu semula, berbuah dan memberikan makanan kepada kaum mukmin atau kupindahkan kamu ke surga, setiap akarmu akan minum dari minuman surga, lalu para penghuni surga akan menikmati buah kurmamu?” Rupanya, pohon kurma itu lebih memilih yang kedua karena Nabi saw. bersabda, “Af’al insyâ Allâh! Af’al insyâ Allâh! Af’al insyâ Allâh!” Kemudian beliau bersabda, “Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalau saja tidak kutenangkan niscaya dia akan terus merintih sampai hari kiamat karena kerinduannya kepada Rasulullah.”
CATATAN:
Imam Hasan al-Bashri yang meriwatkan hadis di atas menasihati kita semua, “Wahai kaum muslimin, pokok kayu merintih lantaran ia begitu merindukan Rasulullah. Kalian lebih pantas merindukan beliau ketimbang pohon kurma itu.” Sementara, dalam dialognya dengan Amr bin Sawad, Imam Syafi’i mengungkapkan, “Tidak pernah ada seorang nabi pun yang diberi anugerah oleh Allah seperti telah yang diberikan-Nya kepada Nabi Muhammad.” Lalu, Amr bin Sawad berkata, “Tetapi Isa as. diberi anugerah mampu menghidupkan yang sudah mati.” Imam Syafi’i menjawab, “Kepada Nabi Muhammad dianu-gerahkan rintihan pohon kurma hingga tangisannya terdengar semua orang. Ini lebih besar daripada (sekadar) menghidupkan yang sudah mati.”
Sehubungan dengan ucapan Imam Syafi’i tersebut, dalam sebuah risalah berjudul "Mahabbat an-Nabî saw. wa Thâ’atuhu bain al-Insân wa al-Jamâdat", A.D. Khalil bin Ibrahim Mulla Khathir al-Azzami menjelaskan, “Menghidupkan yang mati hanyalah mengembalikan kepada keadaan semula. Tangisan pohon kurma lebih besar karena pohon kurma hanyalah tumbuh-tumbuhan. Jika dikembalikan kepada keadaan semula, ia akan menjadi tumbuh-tumbuhan lagi. Tumbuh-tumbuhan tidak bisa berbicara, tidak merasakan perasaan makhluk yang bernyawa. Tiba-tiba ia mengerti dan merasakan, mencintai dan berduka… layaknya makhluk-makhluk yang lebih mulia, seperti makhluk yang berakal dan memahami…. Ini lebih besar dan lebih dahsyat daripada menghidupkan yang mati.”
#SUMBER:
Dikutip dengan sedikit perubahan dari kata pengantar Jalaluddin Rakhmat untuk bukunya, "The Road to Muhammad" (Bandung: Mizan, 2009), hlm. xiii-xv.
JAMAL T. SURYANATA, BUDAYAWAN BANJARMASIN
(ambau. Id/sumbergambar: Wikipedia)
Comments
Post a Comment