LANSIA
Ada yang gemetar dalam tatapan seorang lansia. Mereka memandang jauh, seolah menyaksikan perjalanan hidup yang telah usai sekaligus terus berlangsung. Lansia adalah cermin, bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi untuk kemanusiaan. Di setiap garis wajah mereka tersimpan kenangan, pengorbanan, dan harapan yang mungkin hanya mereka tahu.
Data dari PBB (2023) menunjukkan bahwa populasi lansia global (di atas 65 tahun) telah mencapai 10% dari total penduduk dunia, dengan prediksi meningkat dua kali lipat pada 2050. Di Indonesia, menurut BPS, jumlah lansia tahun 2023 mencapai sekitar 30 juta jiwa, atau 11,5% dari total penduduk. Sebuah transisi demografi yang membawa perubahan besar, bukan hanya secara ekonomi tetapi juga psikososial.
Psikologi perkembangan, khususnya teori Erik Erikson, menempatkan lansia pada tahap iintegrity versus despair." Pada usia ini, manusia merenungkan hidupnya: apakah mereka menemukan makna dan penerimaan, atau justru terperangkap dalam penyesalan. Seorang wanita lansia di Delhi, seperti dikisahkan dalam film "The Lunchbox" (2013), berkata: “Makanan ini bukan hanya rasa; ini kenangan yang aku bagi dengan diriku sendiri.” Sebuah kalimat sederhana yang menggambarkan refleksi eksistensial.
Menurut WHO, 80% lansia di negara berkembang hidup tanpa akses memadai terhadap layanan kesehatan. Sementara di Norwegia, sebuah negara maju, lansia mendapatkan jaminan sosial penuh, dengan panti jompo yang menyerupai rumah sendiri. Sebaliknya, di Ethiopia, seorang nenek bernama Almaz masih bekerja sebagai pengangkut air untuk bertahan hidup, simbol dari tantangan lansia di negara miskin.
Bahasa lansia seringkali menjadi arsip hidup. Di Kalimantan, misalnya, lansia adalah penjaga bahasa Dayak yang mulai dilupakan generasi muda. Bahasa adalah rumah, dan ketika seorang lansia meninggal, sebuah perpustakaan pun turut lenyap. Dalam puisi Mesir karya Ahmed Fouad Negm, terdapat bait: "Dalam senyapnya senja, aku berbicara dengan waktu; waktu yang menertawakanku." Sebuah penghormatan terhadap lansia sebagai saksi sejarah.
Dalam masyarakat modern, ada kecenderungan lansia kehilangan fungsi sosial. Di kota besar, mereka sering tersisih, hanya dianggap sebagai beban. Namun, di desa-desa Bali, lansia tetap menjadi figur sentral dalam upacara adat, penyambung hubungan dengan leluhur. Lansia di Indonesia menjadi pengingat bagaimana masyarakat menilai usia bukan dari fisik, tetapi dari kebijaksanaan.
Budaya Jepang mengenal tradisi "keiro no hi" atau Hari Penghormatan kepada Lansia, sebuah perayaan yang menempatkan mereka dalam posisi terhormat. Sebaliknya, di negara-negara miskin, penghormatan itu seringkali hanya ada di tingkat retorika. Sebuah novel Eropa klasik, Anna Karenina, menyebut lansia sebagai "penyintas cinta yang tak pernah benar-benar mati", sebuah metafora bahwa mereka adalah penjaga tradisi.
Dalam agama-agama dunia, lansia sering dilihat sebagai penjaga kebijaksanaan. Dalam Islam, ada hadis yang menyatakan, "Berkah itu bersama orang tua." Dalam Hindu, tahap lansia adalah "vanaprastha", masa untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan meninggalkan urusan duniawi. Di balik fisik yang rapuh, ada kekuatan spiritual yang tak tergoyahkan.
Ketika saya mendampingi seorang nenek di Kalimantan, yang berusia 90 tahun, ia berkata: “Hidup ini tidak panjang, tetapi penuh tanya. Kadang aku jawab, kadang aku biarkan.” Kalimat itu membuat saya menyadari bahwa kehidupan bukan tentang panjangnya waktu, tetapi tentang bagaimana kita memahami dan berdamai dengannya.
Di India, film "Piku" mengisahkan bagaimana lansia sering menjadi pusat perhatian keluarga. Namun, di dunia nyata, tidak semua kisah berakhir dengan kehangatan. Lansia di Brasil yang hidup dalam favela, contohnya, menggambarkan kesepian tanpa suara.
Lansia adalah pelajaran hidup, bukan masalah yang perlu diselesaikan. Mereka adalah harta yang tak ternilai, yang sering kita abaikan karena sibuk mengejar masa depan. Di akhir senja mereka, mereka mengajarkan kita untuk merenungi: ke mana kita melangkah, dan apa yang akan kita tinggalkan.
Seperti yang pernah ditulis Albert Camus, "autumn is a second spring where every leaf is a flower." Lansia adalah musim gugur, di mana keindahan muncul dalam bentuk yang berbeda. Mari kita hargai mereka, karena di dalam diri mereka, kita menemukan wajah kemanusiaan yang paling tulus.
Comments
Post a Comment