NIA SAMSIHONO JAKARTA: APAKAH MENTALITAS FEODAL MENJADI BUDAYA INDONESIA?


APAKAH MENTALITAS FEODAL MENJADI BUDAYA INDONESIA?

Oleh Nia Samsihono 


Mentalitas feodal di Indonesia memiliki akar sejarah panjang, terutama karena dampak penjajahan Belanda selama lebih dari tiga abad. Selama masa kolonial, hierarki yang ketat terbentuk, yaitu rakyat biasa dianggap berada pada posisi bawah, tunduk pada otoritas dan kekuasaan para pejabat kolonial atau priyayi lokal. Penghormatan berlebihan ini bertahan hingga kini, seringkali tercermin dalam kecenderungan "menghormati" pemimpin atau pejabat secara berlebihan, bahkan ketika mereka tak selalu menjalankan amanah dengan baik. Budaya ini juga diwariskan turun-temurun dan sulit dihilangkan karena terbentuk dalam struktur sosial selama ratusan tahun.

Namun, di Belanda, sikap terhadap pemimpin atau pejabat berbeda. Meski mereka memiliki kerajaan dan raja, budaya feodal dalam hal "menyembah" penguasa tidak sekental di Indonesia. Raja atau ratu Belanda memang dihormati sebagai simbol negara, namun rakyat memiliki kesadaran yang tinggi akan hak-hak mereka dan tidak ada ketundukan berlebihan. Mereka terbiasa bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah dan pemimpin, tanpa rasa takut atau tekanan. Demokrasi di Belanda kuat, dan penghormatan kepada pejabat lebih di dasarkan pada peran dan tanggung jawab mereka dalam melayani masyarakat, bukan atas dasar kekuasaan feodal atau hierarki yang tak bisa disentuh.


Sementara di Indonesia, mentalitas feodal ini masih sering berwujud dalam bentuk pemujaan pejabat atau tokoh publik, yang mungkin berakar pada perasaan tidak berdaya saat dulu dijajah. Untuk keluar dari pola ini, perlu ditumbuhkan budaya kritis dan kesadaran bahwa pejabat adalah pelayan masyarakat, bukan sosok yang harus disembah atau dianggap lebih tinggi dari rakyat biasa.


Sikap feodal atau kecenderungan untuk mengagungkan pejabat dan atasan memang masih menjadi fenomena di berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Sikap ini terlihat ketika orang merasa perlu untuk selalu menghormati, memuji, atau bahkan mengabaikan kesalahan pejabat dan atasan karena posisi atau kekuasaan yang mereka miliki.

Namun, apakah ini bagian dari budaya rakyat Indonesia? Sejatinya, budaya Indonesia banyak berakar pada nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan kesederhanaan. Dalam budaya-budaya asli, pemimpin adalah sosok yang dekat dengan masyarakat, bukan orang yang dipuja secara berlebihan, tetapi justru dianggap sebagai abdi yang bekerja untuk kebaikan bersama. Seiring dengan masuknya berbagai pengaruh, khususnya dari masa penjajahan, muncullah pola relasi sosial yang lebih hierarkis,  ada lapisan-lapisan masyarakat yang diharapkan taat atau patuh kepada kekuasaan.


Hari ini, sisa-sisa pengaruh feodal ini terkadang masih tampak dalam praktik sehari-hari, seperti ketika orang merasa perlu untuk tunduk pada atasan tanpa kritik, atau bahkan menganggap pejabat sebagai sosok yang tak tersentuh. Meski begitu, banyak pula masyarakat yang mulai sadar dan kritis, terutama di era digital saat ini. Generasi muda, misalnya, lebih berani menyuarakan pendapat dan mengkritik ketidakadilan.

Jadi, meskipun ada aspek-aspek feodal dalam pola pikir masyarakat, hal ini bukanlah budaya asli Indonesia, melainkan pengaruh sejarah panjang yang melibatkan kekuasaan, hierarki, dan pengaruh eksternal.


Saya sedang membayangkan, 

Bisakah para pejabat kita yang baru dilantik mengikuti contoh dari seorang warga negara Swedia yang menjadi pejabat menunggu kereta pulang setelah bekerja.  Ia adalah Elva Johanson, yaitu Menteri Tenaga Kerja di Swedia. Ia tidak memiliki mobil, tidak memiliki ajudan,  bahkan konon ia tidak mempunyai pembantu.

Swedia adalah negara yang kaya dan maju. Dikatakan dalam beberapa informasi bahwa kunci dari keberhasilan Swedia adalah para pejabatnya sangat disiplin didalam penggunaan dana publik. 

Para pejabat di Indonesia harus meniru kedisiplinan dari para pejabat di Swedia agar dapat sejajar kedudukan negara Indonesia dengan negara yang memiliki martabat di dunia seperti Swedia.


Pantaskah rakyat Indonesia berperilaku feodal terhadap pejabat negara?

Pertanyaan ini mengusik dasar dari hubungan antara rakyat dan pemimpin di negeri ini. Feodalisme merujuk pada hierarki sosial yang mengutamakan kekuasaan dan kekayaan sebagai simbol kehormatan dan ketaatan. Dalam konteks modern, perilaku feodal bisa terlihat ketika masyarakat menempatkan pejabat negara di posisi yang hampir "tak tersentuh," memperlakukan mereka dengan penghormatan berlebihan yang sering kali lebih mirip dengan sikap tunduk daripada penghargaan.

Rakyat sebenarnya adalah pihak yang memberikan mandat kepada para pejabat. Dengan sistem demokrasi, pejabat negara adalah wakil yang seharusnya melayani dan mendengarkan aspirasi masyarakat. Ketika rakyat berperilaku feodal, sering kali ada jarak antara pejabat dan masyarakat, hingga kritik atau masukan yang diperlukan untuk kemajuan bersama menjadi terhambat.

Perilaku feodal bisa membahayakan karena memunculkan kecenderungan untuk menutup mata terhadap kekurangan dan kesalahan pejabat. Pejabat yang semestinya menjalankan amanah justru bisa terjebak dalam zona nyaman tanpa pengawasan yang kritis dari masyarakat. Hal ini bertentangan dengan semangat demokrasi dan prinsip keterbukaan yang seharusnya menjadi landasan pemerintahan yang baik.

Sebagai bangsa yang menghargai nilai-nilai keadilan dan kesetaraan, pantaskah kita berperilaku feodal terhadap pejabat negara? Bukankah lebih baik kita bersikap kritis, menghargai yang layak, dan terus menjaga jarak antara penghormatan dan ketundukan? Sebab pada akhirnya, rakyat bukan pelayan, dan pejabat bukanlah penguasa; mereka adalah pelayan yang diamanahi untuk mengabdi. Selayaknya masyarakat Indonesia sadar bahwa bersikap feodal dengan mengultuskan pejabat wilayah negara sebagsi raja bukan merupakan budaya. Jadi, harus dihentikan sikap yang bukan budaya itu.


Yogyakarta, 8 November 2024

Comments