Di suatu sore saya pernah terlibat diskusi menarik dengan Pakar Teknologi Riri Satria, di mana saya mendapatkan wawasan mendalam tentang pendapat beliau menyoal masa depan puisi di era milenial. Riri Saria yang biasa saya panggil Bang Riri, di mata saya adalah seorang sastrawan dan akademisi, pakar teknologi yang memiliki pandangan mendalam tentang bagaimana puisi berkembang di era milenial. Era ini, yang ditandai oleh kemajuan teknologi dan media sosial, telah membawa perubahan besar dalam cara masyarakat mengonsumsi dan memproduksi karya sastra, termasuk puisi. Bagi Riri Satria, puisi tetap relevan sebagai medium ekspresi meski dunia semakin terhubung dan dinamis.
Menurut Bang Riri, puisi di era milenial adalah sarana untuk mengekspresikan diri secara singkat namun mendalam. Masyarakat milenial, yang tumbuh dalam ekosistem digital, cenderung menyukai hal-hal yang cepat dan praktis. Speed and exact, demikian jargon zaman sekarang. Namun, beliau melihat bahwa meskipun konsumsi konten semakin instan, puisi tetap menjadi medium yang dihargai karena mampu mengkompresi emosi dan pemikiran yang kompleks dalam bentuk yang padat.
“Puisi adalah wadah refleksi diri,” ungkap Riri Satria dalam diskusi sore itu dan di beberapa kesempatan. Meskipun teknologi digital memberikan ruang untuk kreativitas tanpa batas, Beliau menekankan pentingnya menjaga esensi dari puisi itu sendiri, yaitu kejujuran dalam menyampaikan perasaan dan gagasan.
Salah satu fenomena menarik yang dicatat oleh Bang Satria adalah peran media sosial dalam memopulerkan puisi. Platform meddia sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter atau sekarang bernama X, dan TikTok telah membuka ruang bagi penyair-penyair muda untuk membagikan karya mereka ke audiens yang lebih luas. Bang Riri menyambut baik perkembangan ini, dengan catatan bahwa penyair harus tetap memperhatikan kualitas karya mereka di tengah kecepatan distribusi digital.
“Puisi di media sosial adalah pisau bermata dua,” ujar Riri Saria. Di satu sisi, aksesibilitas ini membuat puisi bisa dinikmati oleh lebih banyak orang. Namun, di sisi lain, ada risiko bahwa puisi hanya menjadi tren atau konsumsi cepat tanpa benar-benar diapresiasi secara mendalam. Ibaratnya quality vs popularity.
Beliau menyarankan agar penyair di era milenial tetap memperhatikan nilai estetika dan kedalaman makna, meskipun karya mereka disajikan dalam format yang lebih pendek dan mudah dicerna. Menurutnya, media sosial adalah alat, bukan tujuan akhir.
Di era milenial, puisi tidak hanya terbatas pada kata-kata tertulis. Ada banyak bentuk baru yang muncul, seperti puisi visual, puisi video, hingga kolaborasi puisi dengan musik dan seni visual lainnya. Riri melihat ini sebagai peluang besar bagi penyair untuk bereksperimen dengan format baru, yang dapat memperluas jangkauan puisi tanpa kehilangan inti dari apa yang ingin disampaikan.
“Puisi harus selalu berevolusi,” katanya. Ia percaya bahwa puisi harus mampu mengikuti perkembangan zaman agar tetap relevan, tanpa kehilangan identitasnya sebagai karya seni yang mengusung nilai-nilai keindahan dan makna yang mendalam.
Salah satu tantangan yang diidentifikasi Riri Satria adalah komersialisasi puisi di era milenial. Banyak platform digital yang mulai memonetisasi konten-konten sastra, termasuk puisi. Bagi sebagian penyair, ini mungkin memberikan keuntungan finansial, tetapi beliau mengingatkan pentingnya menjaga integritas karya.
“Puisi adalah ekspresi diri, bukan produk yang hanya mengikuti pasar,” tegasnya. Ia menilai bahwa penyair milenial harus mampu menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi dan tuntutan komersial, tanpa mengorbankan otentisitas dan kedalaman karya mereka.
Bang Riri Satria optimis dengan masa depan puisi di tengah generasi milenial. Ia melihat generasi ini sebagai kelompok yang sangat kreatif dan berani bereksperimen. Teknologi, bagi Riri, bukanlah ancaman bagi puisi, melainkan peluang untuk mengekspresikan puisi dalam berbagai bentuk yang belum pernah ada sebelumnya.
“Puisi akan selalu menemukan jalannya,” katanya dengan yakin. Bagi Riri, meskipun era milenial membawa tantangan baru, puisi akan terus hidup dan berkembang selama masih ada individu yang merasakan, memikirkan, dan merenungkan kehidupan melalui kata-kata.
Pada akhirnya, pemikiran Bang Riri Satria tentang puisi di era milenial menegaskan pentingnya keseimbangan antara inovasi dan substansi. Puisi harus mampu mengikuti perkembangan teknologi tanpa kehilangan jiwa dan keindahannya.
Era milenial menawarkan ruang yang luas bagi puisi untuk berkembang, dan Bang Riri percaya bahwa generasi ini memiliki potensi untuk membawa puisi ke arah yang lebih dinamis, tanpa meninggalkan esensinya sebagai bentuk seni yang abadi.
++++++
Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 7 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.
Comments
Post a Comment