ISLAM TOPENG
Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda, pernah melontarkan pandangan yang kontroversial bahwa Islam di Indonesia adalah "Islam topeng." Pernyataan ini mengandung tuduhan bahwa Islam di Indonesia hanya sebatas permukaan, tanpa menggali esensinya yang lebih dalam. Islam dipandang sebagai kulit yang dipakai sesuai kebutuhan sosial, budaya, atau bahkan politik, tetapi tidak benar-benar menyentuh inti keyakinan yang seharusnya.
Pada tataran demografi, umat Islam Indonesia memang merupakan kelompok mayoritas yang signifikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menunjukkan bahwa sekitar 87,2% dari 270 juta penduduk Indonesia adalah Muslim. Angka ini menunjukkan bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga budaya yang membentuk wajah Indonesia. Namun, apakah angka mayoritas ini secara otomatis mencerminkan kualitas keislaman masyarakat? Apakah Islam di Indonesia hanya sebatas identitas simbolik, atau ada nilai-nilai substansial yang benar-benar tertanam dalam praktik kesehariannya?
Dari perspektif ekonomi, umat Islam di Indonesia menghadapi tantangan yang tidak sepele. Mayoritas masyarakat Muslim berada dalam golongan ekonomi menengah ke bawah. Fenomena ini menggambarkan kesenjangan yang besar antara ajaran Islam tentang keadilan sosial dan realitas kehidupan ekonomi sebagian besar umat. Meski berbagai inisiatif berbasis syariah, seperti bank syariah dan zakat, telah diupayakan, pengaruhnya masih jauh dari cukup untuk mengatasi kemiskinan secara struktural.
Kritik terhadap praktik filantropi Islam sering muncul. Banyak yang menyoroti bahwa lembaga zakat lebih sibuk mengelola dana tanpa menyentuh akar masalah ketimpangan. Di sinilah wajah "topeng" Islam terlihat—sebuah praktik keagamaan yang hadir sebagai bentuk formalitas tanpa benar-benar menciptakan transformasi sosial yang berarti.
Dalam ranah politik, Islam sering dijadikan instrumen oleh berbagai kekuatan politik untuk memperoleh legitimasi. Partai politik berbasis Islam muncul sebagai representasi umat, tetapi tidak jarang mereka terjebak dalam pragmatisme politik yang sama dengan partai-partai sekuler. Bahkan, isu-isu keagamaan kerap kali dieksploitasi untuk tujuan politis, menciptakan polarisasi di masyarakat yang justru bertentangan dengan ajaran Islam tentang perdamaian dan persatuan.
Kritik bisa diarahkan pada fenomena politik identitas yang semakin mengemuka, di mana agama dijadikan komoditas politik. Banyak pihak bertanya-tanya, sejauh mana Islam berperan sebagai sumber moral dan etik dalam kehidupan politik di Indonesia, dan sejauh mana agama sekadar "topeng" yang dipakai sesuai kepentingan politik tertentu.
Secara sosial, Islam di Indonesia juga diwarnai oleh keanekaragaman praktik keagamaan yang dipengaruhi oleh tradisi lokal. Budaya lokal sering kali bersinergi dengan nilai-nilai Islam, menciptakan sebuah wajah keislaman yang unik dan plural. Namun, dalam dekade terakhir, terdapat ketegangan antara kelompok yang ingin memurnikan ajaran Islam dari unsur-unsur lokal dan mereka yang melihat bahwa kearifan lokal adalah bagian integral dari Islam Nusantara.
Dalam pandangan Snouck Hurgronje, ini adalah bukti bahwa Islam di Indonesia tidak pernah menjadi wajah tunggal; ia hadir dalam beragam bentuk dan praktik yang tidak selalu seragam. Di sini, Islam mungkin terlihat seperti "topeng," tetapi topeng ini justru menunjukkan berbagai ekspresi keislaman yang berkembang dalam konteks sosiokultural yang berbeda-beda.
Dari segi budaya, Islam di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh seni dan tradisi. Misalnya, wayang kulit dengan lakon Islami atau tari Saman yang syarat akan nilai-nilai keislaman, adalah contoh bagaimana agama dan budaya menyatu. Namun, bagi sebagian kalangan konservatif, unsur-unsur budaya ini dianggap mengaburkan nilai-nilai Islam yang otentik. Ada narasi bahwa praktik budaya hanya merupakan lapisan luar, sedangkan nilai keislaman yang sejati sering kali tereduksi menjadi sekadar simbol.
Ada pepatah dari novel Pramoedya Ananta Toer, “Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya,” yang mungkin relevan di sini. Tafsir yang berbeda-beda terhadap ajaran Islam dalam konteks budaya menunjukkan bahwa Islam di Indonesia memang sering hadir sebagai "tafsiran" daripada sebagai sesuatu yang baku.
Dalam perspektif sains dan teknologi, umat Islam di Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Meski beberapa universitas Islam telah berusaha mengembangkan sains berbasis keislaman, hasilnya belum signifikan dalam menciptakan lompatan inovasi yang diperlukan. Kritik terhadap praktik pendidikan Islam di Indonesia sering diarahkan pada kurikulum yang terlalu fokus pada aspek normatif agama tanpa membuka ruang dialog dengan ilmu pengetahuan modern.
Kondisi literasi umat Islam di Indonesia menunjukkan paradoks. Di satu sisi, kajian keislaman berkembang pesat dengan banyaknya buku, jurnal, dan forum diskusi. Namun, di sisi lain, minat baca dan pemahaman terhadap literatur keagamaan masih terbatas pada topik-topik tertentu. Praktik keagamaan sering kali berhenti pada ritualistik tanpa dibarengi pemahaman mendalam terhadap ajaran Islam. Literasi kritis yang mampu membedakan antara ajaran agama yang substansial dan praktik keagamaan yang bersifat ritual masih perlu dikembangkan.
Seperti dikatakan dalam sebuah puisi karya Taufiq Ismail, "Kita ini adalah kumpulan yang ramai. Kata-kata berjejal. Tetapi makna sepi." Apakah kata-kata keislaman yang ramai di Indonesia benar-benar membawa makna yang dalam, atau sekadar menjadi serangkaian simbol yang hampa?
Dialog filosofis tentang Islam di Indonesia sering kali terjebak antara dua kutub: tradisionalisme dan modernisme. Keduanya kadang-kadang menghadirkan Islam sebagai "topeng" untuk memperkuat narasi mereka sendiri. Filsafat Islam di Indonesia masih berjuang menemukan jati dirinya di tengah tarik-menarik antara warisan klasik dan tantangan modern. Sebagaimana diungkapkan oleh filsuf Al-Jabiri (1986), "Islam adalah peradaban yang sedang mencari bentuknya sendiri." Ini relevan untuk menggambarkan kondisi Islam di Indonesia yang terus mengalami dialektika dalam mencari wajah aslinya.
Snouck Hurgronje mungkin melihat Islam di Indonesia sebagai "topeng," tetapi topeng itu bukan sekadar tiruan atau kepura-puraan. Sebagaimana topeng dalam seni tradisional yang menyimpan makna filosofis di balik ragam ekspresinya, Islam di Indonesia adalah mosaik kompleks yang mencerminkan keberagaman pengalaman umat. Apakah Islam hanya sekadar "topeng" atau justru "wajah sejati," tergantung pada bagaimana umat Muslim sendiri memaknai dan menghidupkannya dalam segala aspek kehidupan—ekonomi, politik, sosial, budaya, sains, dan literasi.
Realitas menunjukkan bahwa Islam di Indonesia adalah sebuah narasi yang belum selesai, terus berkembang dan mencari maknanya di antara berbagai wajah yang tampak di permukaan. Mungkin, seperti kutipan dari film "Laskar Pelangi," kita perlu "menemukan cahaya dari dalam diri" untuk mengungkap wajah sejati Islam, bukan sekadar topeng yang dikenakan di hadapan orang lain, tetapi sebuah esensi yang hidup dan menyala dalam setiap tarikan napas kita.
Comments
Post a Comment