WARNAISME DALAM LUKISAN AI
oleh ReO Fiksiwan
“Hanya dengan memecah lingkaran itu, seperti dalam kasus pita Möbius, dengan membuka dan melepaskannya, maka dimensi makna muncul dengan sendirinya, dalam sifatnya yang tidak dapat direduksi, dan juga dalam kekuatan genetiknya saat ia menghidupkan model internal proposisi yang apriori.” — Francis Bacon(1561-1626).
Barangkali tak banyak yang kalau Francis Bacon, filsuf abad pertengahan, seorang seniman perupa. Meski ia sangat populer dengan traktat filsafat Novum Organum(1620) dengan menabalkan sekaligus pencetus filsafat naturalisme sebagai prinsip “knowledge is power”. Ia pun sebagai pioner awal sosiologi ikut merumuskan tiga fase pertumbuhan masyarakat melalui gua(cave) pengaruh Plato(light in the cave), teater(pengaruh Shakespeare) dan pasar(agora) pengaruh Socrates.
Sebagai perupa dengan logika “sense” dan sensasi, Gilles Deleuze(1925-1995), filsuf asal Perancis, menguak tabir Bacon dalam lukisan-lukisannya. Melalui bukunya, Francis Bacon: The Logic of Sensation(1981), Deleuze memasuki perspektif filsafat seni rupa versi Baconian.
Apa menarik dari ulasan filsafat senirupa ini? Terutama lewat karya seorang yang lebih dikenal sebagai filsuf? Deleuze dalam buku ini mengulas dalam 17 bab seluk-beluk mendalam ihwal filsafat senirupa. Dari sejumlah bab itu, saya sengaja lebih memilih bab 16 sebagai prinsip estetika warna(note on color) dengan tiga kategori: struktur, figur dan kontur.
Dengan mendekatkan apresiasi ini pada reproduksi lukisan dengan bantuan AI(Artificial Intelligence), khusus yang digalakkan oleh Ketua Satupena dan pencetus puisi esai, Denny JA, pendekatan metodologis seni dan senirupa pada galibnya, lebih bisa menerangkan bagaimana hakikat lukisan-lukisan AI versi “DenJA” menjadi satu aliran tertentu seturut logika sensasi yang dikemukakan Deleuze pada lukisan-lukisan Bacon.
Selain menilik prinsip kaidah perwanaan, struktur, figur dan kontur, logika sensasi dalam lukisan-lukisan AI turut menjelaskan tiga prinsip turunan, masing-masing designasi, motivasi dan “colorism”(warnaisme) untuk, menurut Deleuze, menawarkan wawasan implisit dan eksplisit tentang asal-usul dan perkembangan ide-ide filosofis dan estetikanya sendiri, ide-ide yang mewakili titik balik dalam lintasan intelektualnya.
Dengan kata lain, ide-ide filosofis-estetis dalam lukisan-lukisan AI, khusus yang selintas teramati dalam pelbagai tema karya lukisan AI Denny JA, pun selain menegaskan intelektualisme estetis, ada kedalaman etis pada suatu fase campuran antara struktur, figur dan kontur yang harus kita telisik sendiri. Ibarat tirakat, warnaisme dalam lukisan-lukisan AI merupakan alihwadah eksoterisme(imanensi) malihrupa esoterisme(transendensi) senirupa itu sendiri.
Akhirnya, dari Bacon melalui Deleuze, lukisan-lukisan AI tak ubahnya tirakat seni melampaui segala sekat realitas materi dan immateri. Jika ada pemihakan berlebihan dalam alihwadah maupun malihrupa, sejatinya itu hanya satu pilihan dari berbagai fase yang harus dilewati.
Comments
Post a Comment