DENNY JA: MENCARI AKAR KELUARGA DI KEBUMEN


 Mereka Yang Terbuang di Tahun 1960-an (3)


MENCARI AKAR KELUARGA DI KEBUMEN


Denny JA


(Gejolak politik tahun 1960-an membuat Sartono tak pernah bisa pulang ke tanah air. Anaknya, bertahun-tahun kemudian, kembali mencari akar keluarga di Kebumen.)


-000-


“Inikah yang kau rindukan, Ayah?

 Harum pohon kelapa,  

dibawa angin sore dari sawah yang luas, bercampur aroma tanah liat.”


Langit biru di atas kota Kebumen,

menjadi kanvas raksasa yang kosong.

Terlukis di sana, 

Sebuah pohon besar mencari akar.

Batang pohon itu gelisah,

ingin akarnya tumbuh cepat, kuat, merasuk ke tanah sedalamnya.


“Pohon itu adalah aku,” kata Pubarto kepada pikiran dan hatinya.


Pubarto berdiri di depan makam Kakek dan Nenek,

yang tak pernah dikenalnya.  


Sore itu, tahun 2023, Pubarto sampai juga di sana, di Kebumen, tanah kelahiran Ayah.


“Orang tua kita kakak beradik,

bersama nenek dan kakek,

di sawah sana mereka sering bermain, makan siang bersama.”

Para sepupu menjelaskan.


Pubarto terdiam.

Ia rasakan hening mendalam.

Di bongkahan batu tua,

di pohon- pohon besar,

Pubarto merasakan jejak ayahnya, 60 tahun lalu.


Similir angin di Kebumen,

menceritakan zaman yang berubah.

Pubarto diterima bupati.

Diajak kerjasama dagang,

kebumen- Rusia.


Sementara Ayah,

datang dari zaman berbeda,

terasing, terbuang,

dari negara sendiri.


Tahun 1962, ayahnya, Sartono, berangkat ke Rusia.  

Bung Karno mengirimnya untuk belajar.  


Di dalam kopernya ada buku,  

dan bendera merah putih.  

Di dalam dadanya,  

ada janji kepada kedua orang tua:  

“Aku akan pulang,

membangun negeri.”


Namun badai politik tahun 1965,  

menggulung habis mimpi.

Mengubah hidup.


Raksasa berperang di desa dan kota.

Di hutan, hewan terpanah.

Di sungai, ikan berdarah.


Rezim berubah.

Negeri yang mengirimnya belajar kini menolaknya.


Sartono  bagian rezim lama,  

harus ditumpas hingga ke akar.


Surat-surat dari tanah air berhenti.  

Paspor Sartono dicabut.  


“Mengapa negara melupakan kita, Ayah?”

tanya Pubarto saat kecil.  


Tahun demi tahun berlalu.  

Setiap malam, Sartono berdiri di jendela, di apartemen kecil, di kota Moskow.


Salju turun.

Namun Sartono rasakan,

bukan dinginnya malam di Rusia,

tapi hangatnya sore Kota Kebumen,

desiran angin pohon kelapa  

dari desa di Jawa Tengah.


Sartono menyerah.  

Tahun 1970, ia resmi menjadi warga Rusia.  

Harapan pulang semakin jauh.


Pubarto tumbuh besar di Rusia.

Tapi Sartono sampaikan pesan itu.

Selalu.

Meyakinkan itu.

Selalu.


“Kau orang Jawa, Nak.

Tanah leluhurmu itu Indonesia.

Suatu hari kau harus ke sana.  

Menjenguk makam  Kakek dan Nenek.


Di dinding, peta Indonesia tetap tergantung.  

Waktu membuat peta  memudar.


Sartono mati.

Pubarto tepati janji.

Sampailah ia di Kebumen.


Di hadapan makam Kakek dan Nenek,

di bawah pohon kelapa yang rindang,

Pubarto duduk,

menyentuh makam,

memandangnya.


“Kakek, Nenek,

Kubawa dua cincin Ayah.

Sesuai wasiat,

Ayah ingin cincin ini,

dipendam di makam Kakek dan Nenek.


Sebagai tanda.

Cinta Ayah pada Kakek,

pada Nenek,

dan pada tanah Kebumen,

tak pernah pudar.”


Angin berhembus lembut,  

membawa senyuman Kakek,

menyampaikan air mata Nenek,

untuk Cucu, yang tak pernah dikenalnya, 

untuk Anaknya, Sartono, yang tak pernah kembali.***


Jakarta, 16 September 2024*


CATATAN


1. Kisah ini diinspirasi dan ditambahkan fiksi dari kehidupan nyata mahasiswa Indonesia, Sartoyo, yang terputus dengan tanah air akibat pergantian rezim pada tahun 1966.


https://kumparan.com/kumparannews/lubarto-sartoyo-wn-rusia-pulang-ke-kampung-halamannya-di-purwokerto-1z8ZotXtLvd/2

Comments