PELURU
lalu aku menjadi seperti kijang dibidik senapan
meski engkau bukan pemburu
moncong larasmu memuntahkan peluru
hujan ...
o badai
redalah
gesit sepasang kakiku melompat-lompat
di lekuk-lekuk genang-genang
kenang
mataku
diam
menempel di sebatang pohon
aku menjadi pohon. menjadi sasaran tembak
dan sebelum pelurumu melesat
lagi
aku menjadi selembar daun. gugur
menjadi tanah
basah
berjuta pelurumu luruh
--melesat membaca hatiku
hujan memang tak pernah
diam
aku tengadah di bawah
curah-Nya
Tepi Kolam, 22 Januari 2018
(Bambang Irawan, "Peluru", 2018)
Hasrat dan pikiran kadang-kadang menjadi tak bersahabat. Padahal, ketika hasrat dan keinginan ittu melebur menjadi satu, sasaran yang diinginkan akan berusaha diperoleh.
Membaca puisi Bambang Irawan bertajuk "Peluru" penikmat puisi akan diajak berkelana mengikuti alur pikrannya.yang "liar".
Liar bukan ada sesuatu yang disembunyikan, tapi kreatifitasnya yang berloncatan ke sana-sini.
Misalnya, ketika Bambang ingin mengekspresikan semangat (lirik),
..lalu aku menjadi seperti kijang dibidik senapan// meski engkau bukan pemburu// ...
Dari bait pertama puisi ini, penyair mencoba mengungkap hasrat dan minatnya menjadi sesuatu yang begitu lincah untuk diperoleh. Meski banyak kendala yang dihadapi, ia seperti tak peduli...(meski engkau bukan pemburu// moncong larasmu memuntahkan peluru...)
Pada bait kedua, hujan// badai// redahlah...
Di sini ia seperti kehilangan semangat (ambisi) untuk mengejar suatu keinginan dari semangat dan minat di dalam ambisinya.
Pada bait selanjutnya (bait III), semangat itu kembali bergolak ..gesit sepasang kakiku// melompat-lompat// di lekuk-lekuk genang-genang// kenang// mataku..
Ia seperti labil. Kadang-kadang ketika dipicu sesuatu, semangat itu kembali bergolak, ingin memperlihatkan sesuatu bahwa di dalam larik-larik puisinya, jiwanya adalah sesuatu kekuatan yang terbatas. Ia ingin menunjukkannya lewat matanya..kenang// mataku..
dia juga mencoba memperhatikan perkembangan susana dengan niat dan minat untuk memperjuangkan "ambisinya" (barangkali).
Tapi kekerasan jiwanya patut menjadi acuan. Sebab, untuk mengikuti perkembangan yang "mengancam" jiwanya, dia-aku (lirik) mencoba mengendap ..diam// menempel di sebatang pohon//..
Bisa jadi aku (lirik) ingin mengikuti perkembangan apa untuk menyelamatkan dirinya dalam "pertikaian" yang tak jelas juntrungannya.
Kalau saya membaca puisi Peluru ini, meski barangkali tidak tepat prediksinya, tapi jiwa penulis dipengaruhi oleh perseteruan puisi esai yang seru di media sosial.
Merasa sebagai pihak yang dizalimi, penyair mengungkap kegalauan itu kewat ide kreatifnya, menulis puisi. (*)
ANTO NARASONA, JURNALIS DAN PENYAIR, TINGGAL DI PALEMBANG
(ILUSTRASI
Comments
Post a Comment