CERITA PENDEK MUHAMMAD THOBRONI: USTADZ KARIM
Ustadz Karim
Mungkin, tidak ada sosok yang paling
menghebohkan di kampung kami selain Karim. Maksud kami, panggilannya Ustadz
Karim. Dengan kopyah yang selalu bertengger di kepalanya yang plontos, dia
memang tepat menampilkan dirinya sebagai sosok ustadz. Apalagi, beberapa kali
kami melihat dia keluar dengan menggunakan surban yang bergonta-ganti di
pundaknya. Tasbihnya juga berputar seperti jarum jam, di manapun dia berada,
termasuk saat dia makan bersama kami di warung. Kami pun kian yakin, bahwa dia adalah
benar-benar ustadz.
Kehadirannya di kampung kami
benar-benar membuat kami seperti kehadiran seorang “Nabi Baru”. Tidak ada
tanda-tanda cela yang dibawanya. Dia datang dengan senyum mengembang, dan
melapor kepada RT sebagai seorang warga baru. Dikenalkannya pula istrinya yang
berjilbab rapi. Segera saja keduanya menarik perhatian kami. Kedatangan seorang
keluarga ustadz jelaslah menggembirakan, mengingat kampung kami termasuk
masyarakat yang religius.
Mushola baru yang berdiri megah di
tengah kampung menjadi salah satu penanda, betapa semangat beragama kami sedang
menjulang. Saat sore hari, anak-anak kami berangkat ke TPA. Anak-anak
diwajibkan pergi ke mushola, bahkan melebihi kewajiban anak-anak untuk pergi ke
sekolah. Sekolah bagi kami hanyalah nomor kesekian kali. Buktinya, anak-anak
kami yang sekolah tak pernah membaik akhlaknya. Justru mereka menjadi lebih
berani kepada orang tua. Lihat saja anak-anak kami yang kuliah di perguruan
tinggi. Mereka menjadi lebih suka bertanya, aneh-aneh lagi.
Untuk itulah kami menyambut hadirnya
Ustadz Karim dengan suka-cita. Bahkan saat pertama kali dia menghadiri
pengajian rutin, kami membahanakan shalawat badar: thala’al badru alaina/mintsaniyatil wada’/wajabasysyukru alaina…Dia
hadir seperti matahari yang menyinari siang menjadi terang benderang. Dia
seperti rembulan yang membuat malam tak lagi kelam. Sayangnya, kegembiraan itu
seperti sebuah bulan madu sesaat bagi kami.
Melihat penampilan Ustadz Karim,
kami tak ragu lagi untuk memberinya amanah mengelola mushola. Kami juga sangat
berharap Ustadz Karim dapat mengajari anak-anak kami mengaji. Kenyataannya,
memang itulah yang mula-mula dilakukannya. Dia mendatangi anak RT, namanya Umi
Fariha. Umurnya sekira 15 tahun.
“Pak RT, bagaimana kalau Fariha
membantu saya mengajar ngaji anak-anak.” pintanya kepada RT kami. Menilik
namanya, anak satu-satunya RT kami itu agak ke-Arab-arab-an. Namun, dia adalah
murni didikan SMU Teladan di kota kami. Karena itulah, tidak diragukan lagi
kecerdasannya di sekolah. Lagi pula, dia pun tak diragukan lagi semangat
keagamaanya. Aktif di Rohis SMU adalah jaminan bahwa dia seorang yang memiliki
minat untuk memperdalam agamanya.
“Nggak masalah. Toh dulu Fariha juga
yang mengelola TPA itu.” Ujar RT kami. Akhiranya RT kami bercerita. TPA itu
memang pernah sangat semarak kegiatannya. Namun, sayangnya sepeninggal Mas
Hamid, TPA tak bergairah lagi. Fariha yang diharapkan mampu meneruskan
perjuangan itu, merasa terlalu lemah untuk menggerakkan roda TPA. TPA pun
sempat mati selama beberapa bulan. Hingga akhirnya Ustadz Karim datang di
kampung ini.
Keterlibatan Umi Fariha langsung
saja menarik minat anak-anak yang lain. Hal ini wajar saja, mengingat selain
dikenal cerdas, Umi Fariha juga anak RT yang tentu saja memiliki wibawa
tersendiri di tengah masyarakat kampung kami. Kegiatan TPA mulai hidup dan
semarak lagi. Pengajian-pengajian rutin juga meningkat intensitasnya. Kampung
kami seperti kota santri saja. setiap sore anak-anak kecil hilir-mudik membawa
kitab suci. Tetapi, seperti telah kami sampaikan di muka, keadaan itu hanya
seperti bulan madu bagi kami.
Kami tiba-tiba dikejutkan oleh
perubahan sikap Umi Fariha. Mula-mula dia tidak mau berjilbab.
“Kenapa kamu lepas jilbabmu?” tegur
RT kami.
“Menurut Ustadz Karim, jilbab tidak
wajib.” Tangkis Umi Fariha.
“Maksudmu?” tanya RT kami tak cukup
mengerti.
“Menurut Ustadz Karim, jilbab itu
tradisi bangsa Arab. Jadi tidak wajib bagi kita.”
Karena anaknya memiliki referensi
dan ‘sanad’, yakni Ustadz karim, RT kami tak bertanya lagi. Namun kejutan
muncul secara beruntun. Tiba-tiba saja anak-anak mulai jarang mengaji. Mereka
bilang, mengaji diliburkan untuk memberi kesempatan anak-anak menonton
televisi. Seorang wali santri tidak terima dan mendatangi Umi Fariha untuk
meminta penjelasan. Tampaknya dia masih segan dengan Ustadz Karim.
“Kenapa anak-anak mulai jarang
mengaji? Bahkan sering menonton televisi. Katanya, mereka diperintah olehmu dan
Ustadz Karim,” protes wali santri tersebut.
“Menurut Ustadz Karim, anak-anak
jangan dibelenggu di mushola. Mereka harus diberi kesempatan untuk mengenal
budaya lain, khususnya dari Barat yang ditampilkan oleh televisi itu,” ujar Umi
Fariha.
Wali santri tersebut dapat memaklumi
alasan tersebut. Dia masih berharap, hal itu pastilah tidak akan berlangsung
lama, dan hanya sementara. Namun, ternyata tidak ada lagi kegiatan mengaji bagi
anak-anak, bahkan anak-anak semakin suka duduk khusyu’ di depan televisi. Kami
pun mulai gelisah dan resah. Terakhir kali, kami malah melihat anak-anak kami
tak mau sholat lagi. Saat maghrib tiba, mushola hanya berisi orang-orang tua
sebagai jamaah. Umi Fariha juga tak terlihat. Tadinya RT kami mengira dia
sedang “libur”. Namun setelah beberapa hari, ternyata dia tak juga melaksanakan
sholat.
Kami
pun segera mengadakan rapat mendadak. Keadaan seperti ini tak bisa dibiarkan.
Bisa-bisa Allah Swt. akan mendatang laknat dan azab ke kampung ini. Kami tidak
mengira keadaan kampung akan berubah secepat itu. Akhirnya, kami bersepakat
untuk meminta Ustadz Karim mengundurkan diri sebagai pengelola mushola, dan
memilih pindah dari kampung kami.
Kami
berencana untuk menemuinya bersama-sama. Namun, saat tiba di rumahnya yang
beberapa meter dari mushola, kami sangat kecewa. Bersama istri dan harta
bendanya, dia tak lagi terlihat di rumahnya. Dia memang tak terlihat sejak
beberapa hari lalu. Kami kira dia sedang bepergian ke luar kota, sehingga tak
sempat pergi ke mushola. Tapi, setelah membandingkan kepergiannya yang
tiba-tiba dan diam-diam, serta keadaan kampung kami yang berubah cepat, kami menjadi
curiga. Siapa sesungguhnya dia?
Meskipun
kami kesal atas tindakannya yang sembarangan dan tidak bertanggungjawab, namun
kami merasa gembira atas kepergiannya. Kami mendapatkan pelajaran berharga dari
persoalan yang ditimbulkan Ustadz Karim. Kami harus berusaha dan berjuang
sendiri untuk memperbaiki kampung kami. Senja yang menjelang sebentar lagi,
ikut serta mengiringi kepulangan kami ke rumah masing-masing. Ada yang terbawa
oleh senja petang ini, yakni kesedihan kami melihat anak-anak kami yang berubah.
Tapi, kami juga melihat rembulan yang mulai menjulang di langit. Jadi kami
percaya, masih ada esok hari untuk memperbaiki diri kami sendiri.
Comments
Post a Comment