CERITA PENDEK CHAI SISWANDI, KOTA BANGUN KUTAI KERTANEGARA: LANGIT, ANAKKU
LANGIT, ANAKKU
Anakku
nyeregeh, ketawa riang sekali sampai terlihat semua giginya. Sepertinya kau
memang cocok dengan banjir. Tepat enam tahun lalu, tanggal dan bulan yang sama
kau lahir, saat Kota Bangun dilanda banjir. Bedanya saat itu banjir tinggi
sedada, kali ini rendah saja. Banjir itu pula yang menyebabkan kuatir
tersendiri, karena tiba pada hari yang belum masuk hitungan, tiba-tiba ibumu,
istriku perempuan paling cantik di RT 10 Dusun Tanah Pindah, setengah empat
subuh mengeluh sakit perut. Air ketubanmu tiba-tiba pecah.
Keputusan harus
diambil, persalinan dilakukan di rumah saat itu juga. Hanya aku dan cakma yang
membantu kelahiranmu, karena bukaan terjadi cepat sekali. Tahu-tahu kepalamu
sudah nongol. Sementara nenek panik, ia tak sanggup melihat darah. Akhirnya
subuh itu juga karena banjir sedang tinggi-tingginya, jalan darat terputus,
masing-masing berperahu, nenek mencari dukun beranak, sementara iparku
menjemput bidan. Namun belum mereka datang, kau sudah lahir. Aku sendiri yang menyambutmu
hadir di muka bumi ini.
Cakma yang
waktu itu membantu, langsung menyergahku. “Sebutkan namanya, sebutkan namanya!”
Aku terkejut, karena soal nama anak belum kami bicarakan. Dengan spontanitas
kusebutlah namamu, Mush'ab Langit, dan sebab kau lahir di hari dan dari tempat
yang bagiku suci, kuberi Al-Zakiya di belakang namamu. Biar terkesan Islami,
ada kesan Arab-arabnya. Sebenarnya aku mau mengawali namamu dengan Muhammad,
tapi aku takut kelak kau nakal dan justru mengurangi kesucian nama Nabi. Mush'ab
diambil dari nama sahabat nabi Mush'ab bin Umair, seorang yang teguh memegang
panji agama.
Sedangkan
Langit, terinspirasi dari cara Soekarno memberi nama anaknya dengan perumpamaan
benda langit, mega, guntur, guruh. Langit meliputi semuanya, dan secara
kosmologis juga menyimbolkan laki-laki. Jujur makna namamu itu baru kupikirkan
belakangan. Saat itu, tidak. Bidan dan dukun beranak sama-sama datang setelah
kaulahir, mereka hanya membantu proses akhir seperti mengeluarkan sisa ari-ari,
memotongnya, dan membantu penyembuhan ibumu. Aku segera mengazankanmu,
membalutmu dalam bedongan.
Ada haru yang
membuncah mengisi dadaku, di udara yang kuhirup, juga ada semacam pernyataan
dalam hati: ini kau bukti aku pernah ada di dunia ini. Tapi rupanya kakekmu tak
mau kalah, setelah aku mengazankanmu. Ia juga mengazankanmu lagi. Mungkin
dikiranya aku tak hafal azan. Kerepotan pertama adalah karena banjir, susah
mencari tempat untuk mengubur ari-arimu. Tanah di sekitar rumah, terendam air.
Ari-arimu itu, aku sendiri yang mencucinya membungkusnya dengan kain putih,
lalu dimasukkan ke dalam wadah dari tanah liat. Ari-arimu, akhirnya kutanam di
pinggir tambak darat, pinggir jalan besar jauh dari rumah, di tanah Wak Coneng,
saudara laki-laki nenek. Tanah itu berupa hamparan kerikil, yang keras sekali
kugali menggunakan linggis baja. Dan sebab tak ada penerangan di tanah kosong
itu, saban sore selama empat puluh hari aku memikul kayu bakar, dan membuat api
unggun besar di atas tembunimu itu sebagai pengganti pelita yang akan membuat
hidupmu terang, serta mencegahnya digali oleh biawak.
Aku tak
mempermasalahkan jika kelak kau nakal, hanya saja kau tak boleh durhaka kepada
ibumu. Betapa aku sendiri melihat perjuangan ibumu, perempuan paling cantik di
RT 10 Dusun Tanah Pindah itu, saat hamil. Ia rajin berolahraga, saban sore aku
temani ia ke lapangan terbang. Dia melarangku menyakiti binatang, melarang aku
melilit handuk di leher. “Tuhing (semacam pemali), nanti anakmu lahir bisa
terlilit ari-ari,” katanya. Pernah suatu hari, aku mengajak ibumu jalan-jalan
ke jembatan Martadipura, di hamil tuanya. Jalan menuju jembatan itu masih
berupa urukan tanah liat waktu itu.
Tak disangka
sewaktu akan pulang, hujan deras. Kami berteduh di bawah jembatan. Jalan pulang
berubah menjadi kubangan lumpur liat, di situlah aku sama sekali tak tega
melihat ibumu. Karena takut jatuh dari motor dan membahayakan janinnya, ia
memilih berjalan kaki di bawah sisa gerimis. Jalan licin, motor jadi sering
terpeleset, tanah liat juga bergulung-gulung memenuhi sela roda dan spakbor.
Ibumu berjalan kaki, memegang perutnya yang hamil tua berkilo-kilo meter
memutar melalui Tanjung Durung. Aku di belakangnya, menyeret motor yang
dipenuhi lumpur, seperti mau menangis melihat ibumu. Ia menolak duduk di atas
motor yang sedang kutuntun sore itu.
Pun aku
menyadari sepenuhnya saat itu belum bisa berbuat banyak untuk ibumu, perempuan
yang tiba-tiba mau menyerahkan hidupnya untuk aku. Jika dilihat balik,
sebenarnya aku dan ibumu itu masuk dalam ikatan yang aneh. Sebelumnya ibumu takut
kepadaku, hantu di Pusat Kegiatan Mahasiswa. Rambutku dulu panjang sampai ke
pantat. Sering tak berbaju, membaca buku dengan rambut diurai di gazebo dekat
persimpangan kampus. Begitu melihat aku, ibumu lari, kabur
sekencang-kencangnya. Tapi rupanya ia memang jodohku, setelah aku potong rambut
dan mulai lagi kehidupan kuliah ya
Tapi rupanya ia
memang jodohku, setelah aku potong rambut dan mulai lagi kehidupan kuliah yang
normal (sebelumnya dua tahun aku bolos kuliah, bolos bukan cuti), ibumu
mengirim sinyal, mulai bertanya kabar. Mungkin seperti itu sifat perempuan
digoda ia angkuh, tak dihiraukan ia mencari. Dan sebagai pendekatan aku hanya
memerlukan momentum yang tepat. Maka tibalah di hari lebaran Idul Fitri,
memakai modus silaturahmi pagi-pagi sekali aku tiba di Dusun Tanah Pindah. Tak
disangka belum lima menit masuk rumah, kakekmu mengusirku. Ia tak suka anak
gadisnya didekati laki-laki tak jelas, ibumu menangis dan aku pulang dengan
hati yang remuk.
Selanjutnya,
tak diduga malam itu juga nenekmu meneleponku, meminta maaf dan menjelaskan
duduk perkara. Bahwa kakekmu tak suka anaknya pacaran.
“Jika kau
memang hendak serius, jangan dipacari. Nikahi!,” katanya.
Aku menjelaskan
saat itu masih kuliah dan belum bekerja, apakah tak jadi masalah. Nenekmu
bilang tak jadi soal.
“Menikah dulu,
rejeki nanti bisa dicari. Tuhan yang atur itu,” katanya.
Maka tak pikir
panjang, aku sanggupi malam itu juga untuk melamar ibumu.
“Ya akan saya
nikahi,” kataku spontan, keputusan sekejap yang tak pikir panjang. Keputusan
yang mengubah seluruh sisa umurku. Itulah terkadang untuk urusan yang penting
aku tak banyak mikir, sedangkan seringkali untuk urusan yang remeh dan
kecil-kecil aku detail dan panjang memikirkan.
Tak lama
berselang, aku mengajak seluruh sisa keluargaku untuk melamar ibumu.
Sebenarnya, nenekmu telah mengirimkan sebotol air doa sebelumnya. Katanya
diminum supaya kakekmu luluh hatinya saat aku melamar ibumu.
Namun, aku
menolak meminum air itu, sebab aku ingin ia menerimaku sebagai menantu, sebagai
suami ibumu dalam keadaan sadar sesadar-sadarnya.
Belum sampai,
di Loleng di dekat pombensin Haji Surdi, mobil lamaran kami kecelakaan,
terbalik karena menghantam lubang jalan. Lubang tambal sulam jalan yang tak
kunjung diperbaiki itu tepat berada di tikungan. Mobil sewaan itu hancur,
setelah berguling tiga kali. Kacanya hancur, bannya pecah, atap dan bagian
depannya penyok tak karuan. Kakakku yang mengantar lamaran itu pun patah tulang
di tulang lengan dekat leher. Jadilah proses lamaran horor, menumpang truk ayam
potong kakakku itu diangkut ke Puskemas Kota Bangun. Setelah bisa ditangani
sementara. Dengan mobil hancur berderai-derai itu, kami melanjutkan melamar
ibumu. Di sepanjang jalan mobil ringsek itu jadi perhatian warga kampung, kami
dilihati di sepanjang jalan dusun.
Mungkin sebab
tak tega melihat keadaan kami, lamaran hari itu diterima. Saat itu aku hanya
punya duit dua puluh juta, modal melamar ibumu. Uang itu aku kumpulkan dari
hasil lomba menulis, jadi tim teknis outbound juga terakhir menjadi petugas
kontrak dalam sensus penduduk.
Saat kaulahir,
aku masih bekerja sebagai tenaga outsourching IT untuk Telkomsel di Kota
Bangun, sembari menyelesaikan kuliah. Dengan gaji yang tak seberapa, aku masih
bisa menyisihkan guna membeli dua ekor kambing aqiqahmu. Kakekmu sendiri yang
membawa kambing-kambing itu dibonceng bersepeda motor dari kampung transmigrasi
sana. Ia turut senang kau hadir di tengah-tengah kami.
Sementara
ibumu, perempuan paling cantik di RT 10 Dusun Tanah Pindah itu, telah lulus
kuliah lebih dulu dan bekerja di Puskemas Kota Bangun. Betapa kehidupan kami
menjadi lengkap, serta segala rasa lelah di liku-liku hidup ini menjadi hilang.
Saat melihatmu tertawa riang, sampai terlihat semua gigimu itu. Nyeregeh.~
*) Kota Bangun, ulang tahun anakku 7 Mei 2017.
++++++
Chai Siswandi, petani tinggal di Kota Bangun, umur 32 tahun. Sudah menikah.~

Catatan: nyeregeh
(bahasa kutai, berarti tersenyum lebar), juga cakma itu sebutan tak baku dalam
keluarga, berasal dari kata kutai, acak yang berarti kakak. Cakma itu saudara
(lebih tua) perempuan di keluarga.~
Comments
Post a Comment