(F Moses bersama Seno Gumira Ajidarma, sastrawan senior,
dalam acara Bengkel Sastra Mastera di Lembang)
Kota dalam Gambar
Oleh F. Moses
Siang cerlang
berpemandangan sepi, ditambah beberapa perempuan dan lelaki, anak delapan tahun
itu kembali bergegas keluar rumah untuk melihat langit di hamparan cakrawala. Kala gambar
belum terselesaikan. Kala separo gumpalan awan itu masih diwarnainya cergas
dengan pensil hitam.
Kini gambar itu hampir
selesai, namun aneka peralatan warnanya keburu habis. Maklum, tak hanya ke dalam
buku gambar, tetapi juga ruas-ruas dinding di dalam rumah. Hampir semuanya menjadi
gambar entah berpenuh warna. Meski demikian, kapan waktu apabila ia mau
memajangnya, beberapa gambar yang hampir selesai itu tampak siap untuk dipajang.
Pernah aku bilang padanya
agar segera dijadikan hiasan
dinding saja biar lebih
pantas, tapi ia bersikeras melarang karena masih dianggapnya belum selesai.Ya,
belum, karena masih diperlukannya tampak gambar matahari yang menangis, air
hujan berwarna merah, sungai cokelat keruh, sumur tanpa air, pohon-pohon tanpa
daun, dan sebuah gunung yang seolah siap meletus kapan waktu, serta perkelahian
antarkelompok, katanya suntuk.
Sejak kejadian aneh
menyergap kampung ini, saat penduduk mulai kelimpungan kebingungan, dan
anak-anak dalam pengawasan para orang tua yang begitu ketat ketakutan, anak itu
tetap tampak bersahaja, hampir separo hari diisinya dengan menggambar. Hal itu
dilakukannya sekuat tenaga, tiada takut waktu lain tersita. Menggambar dan menggambar.
Ia selalu sibuk menggambar,
seperti penuh pengembaraan jauh ke dalam angan-anganya. Seperti hujan yang
meresapkan air bagi pepohonan untuk mengantarnya ke
mana celah-celah akar itu berada. Sering kedua orang
tuanya resah, mengapa ia tak berhenti barang beberapa waktu dari aktivitas itu.
Sering ditakutinya pula, khawatir kalau ia menderita kelainan. Seperti gila, misalnya. Betapa gawat dan menakutkan menjadi si
gila yang tak pernah bisa sembuh. Paling kurang berterima, mereka kerap kesulitan menangkap maksud dari
gambar-gambarnya. Seperti tampak tak mengartikan apa-apa. Kecuali berbekas jadi
bayangan ketakutan saja.
Untuk kesekian-kalinya,
tiap kali pula orang tuanya mesti dipaksa mengomentari warna paling cocok ke
dalam gambar-gambarnya.
”Kuning, hijau, ungu,
cokelat, atau, ah, terserahmu, Nak”
”Apa dong paling cocok, Mah?” Katanya merengek.
”Iya apa, Mamah tak tahu.”
”Hitam, betul, kan?”
katanya memungkas yakin.
”Loh, kok!”
Mamah tak menyahut. Kecuali
menaikkan kedua alisnya. Tampak dahinya mengernyit. Setelahnya mengusap dada. Tampak telapaknya yang
halus. Seketika lemas tak habis pikir, menyaksikan sang buah hati menggambar
sesuka hati.
Mamah paling takut dengan
warna hitam. Masih membekas beberapa tahun lalu, setelah ia menggambar dengan
hitam, tak lama berselang, mala pun datang—sebelum akhirnya semua orang mesti mengungsi
dengan batin terpaksa. Lantaran perang antarkampung tak bisa dihindari. Juga
lantaran banjir pernah menyergap beberapa kampung di sini. Membuat banyak orang memaksa menangisi
takdir hidupnya. Memaksa semua manusia bahwa kesembuhan adalah air mata yang
saban waktu mesti diteteskan. Semoga bukan lantaran sugesti belaka. Ah, namun
mengapa hitam ke dalam gambar yang selalu ia pilih.
Ia memang lebih memilih
menghibur diri dengan menggambar kala liburan begini, menyempatkan waktu kala
tugas-tugas sekolah mulai membosankan. Apalagi ekstrakurikuler yang seperti
dipaksakan. Papah menyuruh agar
meluangkan waktu sambil membaca, Mamah berpesan untuk bermain saja dengan teman-teman
sekampung di dekat rumah, tapi ia lebih memilih menggambar. Ia merasa lebih
lepas berekspresi, itu saja. Serasa lebih menyatu dengan warna kesukaannya.
Mendaging dari segala ia ciptakan. Selain juga berdarah dan berkeringat atas
pesona gambar yang ia buat.
Aku masih tak tahu mengapa
ia sedemikian menyukai hitam. Menggambar sawah dan langit yang semestinya hijau dan biru, justru
dipilihnya hitam. Pegunungan dengan segala ngarai lembahnya pun hitam.
Perbukitan dan segala tubirnya juga hitam. Lalu laut dengan segenap pulau serta
pantainya pun hitam. Semoga bukan karena selalu kuceritakan kepadanya, betapa
kedatangan mala kadang seperti hantu dalam gelap. Namun tak kuhubung-hubungkan
antara keduanya itu dengan hitam. Dan di sini, saat para penduduk begitu
ketakutan atas keakraban bencana yang akhir-akhir ini kerap hadir, ia justru
bernafsu menggambar. Riang bersahaja membawa imajinasinya ke luar dari
lingkaran ketakutan, menerbangkannya cerdik leluasa. Semoga juga hitam tak selalu dekat pada kehirapan
kehidupan ini.
”Aku hanya meniru, Pah.”
”Ya sudah, teruskanlah,
Nak. Yang kau lakukan dan pilih, itulah warnamu. Dan yang kau lakukan serta
bagimu hobi, itulah pekerjaanmu. Tapi jangan pernah melupakan belajar!”
Memang, selain alam yang
diwarnainya hitam, anak itu juga mewarnai jalan raya dan segenap ruas-ruasnya, plasa,
permukiman, sekolah, hingga etalase-etalase pertokoan yang tertampak rapi di sepanjang
jalanan dengan warna yang sama.
“Bila perlu, sebagian orang-orangnya juga berwarna
sama, Pah,” kata si anak sambil menggigit ujung
pensil.
Papah tampak menerawang
pada bulan dan malam berpenuh bintang. Entah apa dipikirnya. Sebatang dua
batang, berlanjut tiga dan empat batang dihisapnya. Kepulan tampak membubung tak berhenti dari
bibirnya
*
Sepanjang hari Papah dan
mamahnya memang kerap menyaksikan ulah gambaran anaknya itu. Mamah semakin
panik. Ia berharap kepada suaminya untuk bersepakat membawa anaknya ke dokter
spesialis psikiater anak. Lantaran kesehariannya tak kunjung berubah. Apa-apa
segala sesuatunya menggambar dengan satu warna saja, yakni hitam. Tapi Papah
dengan tenang hanya mempertanyakan saja niatan istrinya itu.
”Untuk apa?”
”Loh, Papah ini bagaimana,
sama sekali tak panik melihat anaknya yang saban hari cuma menggambar dan
menggambar. Kapan waktu dia buat belajar,” kata Mamah sambil merengut.
”Kan masih liburan. Memang
menggambar bukan belajar?”
”Ya memang. Tapi, kan,
juga mesti belajar yang lainnya. Atau paling tidak melakukan aktivitas lain
juga, kek. Apalagi setiap menggambar
selalu diwarnainya hitam. Menakutkan. Seperti tiada warna lain. Lagi pula monoton
juga jadinya. Anak-anak, kok, sukanya
warna hitam! Perasaan keturunan dari masing-masing kita juga gak ada yang sedemikian fanatik dengan
warna hitam.”
”Hei, sampai hari ini aku
juga suka hitam, Mah. Hitam rambutmu yang pertama kali membuatku jatuh cinta
kepadamu. Lagi pula, masak Mamah tak tahu, sejak kecil anak kita juga memang sudah
suka dengan hitam, kan? Ingat gak
saat ia berumur empat tahun pernah polos bilang kalau Tuhan itu cuma ada di
waktu malam saat langit mulai hitam. Terus katanya, pada waktu itulah rumah Tuhan
baru terlihat; yakni di dalam bulan.”
”Oh..yayaya, terus kata anak kita bilang bahwa rumahnya Tuhan di bulan
ya, Pah. hahaha. Ya, aku ingat betul.
Lucu ya, Pah, anak kita itu,” Mamah tertawa.
”Iya, Mah. Iya.”
”Loh, kok, Papah
sepertinya malah senang?. Tapi, kan,
tak berlaku saat usianya mau masuk sepuluh tahun begini. Bagimana kamu ini,
Pah. Makanya jangan cuma keasyikan kerja!” kata Mamah bernada ketus.
Mamah langsung sontak
tegap bersedekap. Wajahnya berpaling. Bergegas memilih tak melanjutkan topik
pembicaraan. Kecuali mendekat ke anaknya yang sedang sibuk menggambar.
Lagi-lagi hitam, lirihnya membatin.
*
Kesabaran Mamah memuncak.
Terlalu banyak diingatnya segala hal buruk mengenai warna hitam. Mamah masih tak
pernah tahu alasan sebenarnya mengapa ia senantiasa menggemari warna itu.
Alasan dari dokter pun, menyoal warna kesukaan bagi tiap anak, tentulah berbeda.
Meski kecenderungan bagi anak selalu memilih warna yang beraneka ragam. Meski
pun tunggal, setidaknya warna cerah yang kerap dipilih. Meskipun tdak,
setidaknya bertahan beberapa hari saja, karena anak-anak juga tak bisa lepas
dari kecenderungannya merasakan bosan. Terlebih aktivitasnya, beraneka ragam
pula. Tak mesti melulu menggambar.
Meski sebenarnya dirasa
tak sabar, Mamah tetap mengikuti petunjuk dokter supaya tetap kembali melakukan
pendekatan terbaik kepada anaknya. Sabar adalah obat terbaik, katanya membatin.
Maka, selain mengamatinya dari jauh, Mamah mulai kembali untuk tampil di sampingnya.
Meski akhirnya keluar juga komentar spontannya. Selain si anak juga spontan mengomentari
gambar bagi dirinya sendiri kepada mamah.
”Ya jangan selalu hitam dong, Nak. Masak seperti nggak ada warna lainnya saja..”
”Nggak ada warna lain, Mah. Oh ya, Mah, lihat nih adek ngegambar seorang perempuan mulai jelas,
kan?
Mamah menggeser tubuhnya.
Mendekat sembari merangkulnya. Sesekali mengusap kepala anaknya.
”Tuh, Mah,” kata si anak semangat memperlihatkan selembar kertas
pada buku gambarnya. ”Lihat matanya, giginya yang sedang tersenyum, telinganya,
dahinya, pipinya bibirnya, badannya, tangan serta kakinya, adek bubuhkan dengan
warna hitam. Bagus, kan?” Si
anak semangat menambahkan.
”Cobalah dengan pilihan
warna lain, Nak,” kata mamah sambil menarik nafas.
”Nggak, Mah. Warna adek suka cuma satu, hitam. Kecuali baju dan celana
yang setiap hari adek pake.
”Iya...tapi apa indahnya
warna hitam itu. Gambar adek yang banyak itu, masak diwarnainya hitam terus.
Sampai semuanya serba hitam. lalu apa indahnya, Mamah pusing tak habis pikir!”
Kata mamah bernada meninggi. Kesabarannya masih ditahan sekuat tenaga. Mesti
bersabar dan sabar. Tidak ada kata lain selain sabar, lirihnya dalam hati.
*
Sepulang papah dari
kantor, di ruang keluarga, istri dan anaknya masih tampak seperti
memperdebatkan sesuatu. Lagi dan lagi adalah menyoal warna hitam. Seperti tak
ada persoalan lain saja untuk dibahas. Papah bergeming saja, di balik pintu
yang sudah setengah terbuka. Membiarkan mereka bercakap.
”Pokoknya mamah sedih.
Titik. Mamah tak mau lagi adek menjadi penyuka hitam, hitam dan hitam!” Kata mamah
yang kesabarannya seperti mulai meredup.
”Tapi adek maunya cuma dengan warna hitam saja, Mah, Terus.. .”
”Nggak ada tapi-tapian, Nak. Ayolah bekerja sama, jangan bikin
kepala mamahmu ini sakit. Kamu menggambar segalanya dengan hitam. Segala alasan
adek juga tak jelas. Pokonya adek jangan lagi menggambar dengan hitam. Kalau
masih, maaf, Mamah terpaksa membuang saja pewarna yang kamu gunakan itu!” Mamah
menyergah.
Setelah memotong pembicaraan
dengan anaknya, Mamah langsung berdiri untuk berlanjut memilih ke kamar. Baru
saja hendak menuju kamar, perlahan langkahnya melambat lantaran anaknya seperti
hendak memberikan alasan kepadanya.
”Mamah, pokoknya adek
selalu suka dengan hitam, biar nggak kelihatan
lagi segala yang membuat dunia ini menangis. Lagi pula, biar rumahnya Tuhan
juga kelihatan jelas. Saat langit mulai hitam, bulan dan bintang pun tampak
terang benderang. Maukah mamah membantu adek melihatnya lagi malam ini? Adek mau
lihat halaman dan kamar tidurnya Tuhan, Mah.”
Lampung-Jakarta-Bandung,
2012-2013
+++++++
F Moses merupakan cerpenis berpengalaman, beberapa tulisannya pernah dimuat di beberapa media. Ia juga menjadi salah satu pengelola majalah Pusat. Pernah mengikuti Bengkel Penulisan Sastra: Cerpen yang diadakan Mastera. Kini aktif sebagai peneliti dan pegiat sastra di Badan Bahasa, Rawamangun, Jakarta.
Comments
Post a Comment