CERPEN DY ZHISASTRA
MENGEJA HUJAN
…Dalam percakapan yang
lamat, aku mengeja hujan…
Hari keduabelas setelah kepergianmu, aku masih menikmati
keramahan hujan di balik jendela kaca yang setia. Duduk dan sangat sendiri di
rumahku sendiri. Juga padamu yang masih segar di ingatanku. Tentang sebuah
kebiasaanmu meletakkan tas hijau di kursi yang kini kusinggahi. Selepas kuliah
yang kau selingi dengan pertanyaan yang kadang membuatku bosan. Sudah makan?
Bagaimana tugas kuliah yang semalam kau selesaikan? Apa agendamu besok? Apakah harimu menyenangkan tadi, Rey? Dan sebagainya.
Segenap perhatianmu yang sering kutanggapi seadanya untuk membalas sirat basa-basi darimu. Dan tentu saja saat
ini, aku merindukan itu. Juga merindukanmu. Sangat merindukanmu.
Aku membutuhkan seorang perempuan yang bawel, ceria, sedikit
manja, dan hangat. Perempuan yang selalu mengingatkan di mana aku meletakkan
kunci motor dan di akhir pekan bisa kuajak pergi bersama ke toko
buku. Setidaknya, kehangatan pagi dapat terasa sempurna jika ada dirimu.
Secangkir kopi, lagu-lagu yang semangat atau romantis, dan kicau burung yang
ramah setiap harinya. Makin manis juga karena adanya senyummu. Kondisi itu memang sempat
menghiasi rumah ini beberapa waktu lalu. Ya, beberapa waktu lalu.
Betapa koran pagi selalu kita nantikan. Lantas, kita
mendiskusikan isinya, hingga tak jarang debat konyol pun terjalin. Aku tahu
kamu tidak suka politik, sementara aku sangat sensitif terhadap
perkembangan politik negeri ini. Tapi melalui kalimat yang sangat rapi, kamu
mampu menghentikan perdebatan politik yang sedang kita bicarakan. Hingga akhirnya kusimpulkan bahwa kita memang tak sejalan jika
mesti mengangkat tema politik di ajungan pagi. Lalu, kita memilih
untuk membahas topik lain yang lebih akrab.
Rumah ini selalu dalam keadaan apa adanya. Kardigan hijaumu
yang entah berapa hari menggantung di kamarku, juga lipstik merah jambu yang
mengingatkanku pada bibirmu dan ciuman terpanjang kita di tata surya. Betapa
kita mampu melakukannya. Ya. Melakukan kesakralan malam lewat bibir-bibir yang
saling berpagut, saling menahan, yang entah menahan apa. Itulah ciuman
terdahsyat yang pernah kulewati bersama seorang perempuan. Sebelumnya, aku
tidak pernah menyangka bisa mendapatkannya pertama kali bersamamu. Kekasih-kekasihku sebelumnya, hanya kuberi ciuman kening, belaian, dan
mungkin segenap rindu saja. Tapi dirimu berbeda. Aku memperlakukanmu pun dengan
berbeda. Mungkin juga tentang rasaku padamu yang berbeda.
Kita pernah menikmati keindahan kota ini saatsunrise pantai. Kulukis
senyum indahmu dan kata terima kasih seolah terwakili di rerimbunnya air yang
menggenangi kelopak matamu. Tidak. Kamu tidak menangis saat itu. Karena memang
kamu sukar menumpahkan air mata sekalipun itu mampu memprotes rindu. Malah saat
itu aku yang ingin menangis. Menangisi sikapku yang tak bisaberterus terang.
Benar. Berterus terang tentang perasaanku.
***
Hari keduabelas setelah kepergianku, aku masih menikmati
keramahan hujan di balik jendela kaca yang setia. Kepergian? Ya, mungkin benar.
Inilah kepergianku yang sesungguhnya. Sebagai seorang perempuan, aku tahu kapan mesti pergi dan berlalu. Jika dirasa apa-apa
yang selama ini sudah kuusahakan itu ditanggapi dengan biasa saja, maka
jawabannya adalah rasa yang tak berbalas. Kamu tidak pernah benar-benar
mencintaiku, Rey. Demi apa aku mampu mengatakan ini lewat hujan?
Bentuk perhatian kecil yang sering kuberikan selepas kuliah
waktu itu, kau tanggapi dengan biasa. Sebiasa kamu mendaki gunung dan mencintai
alam. Sebiasa kamu menjawab pertanyaanku jika kutanya tentang harimu. Juga sebuah
hal biasa itu. Sebiasa kamu melewati sore dengan menyapu halaman atau mungkin
menyirami tanaman. Sebuah kebiasaan yang mampu menerbitkan senyumku.
Aku mengagumimu. Kamu sangat peka terhadap keadaan
sekelilingmu. Bahwa setiap tanaman dan debu yang berterbangan adalah
pemandangan klasik yang mesti dicerahkan, dihijaukan. Dan kamu sama sekali
tidak gengsi bahkan tidak pernah memintaku
untuk sekedar membantumu. “Ini rumah yang sedang kita diami bersama. Aku
merawatnya dan kamu melengkapi sebagai status tamu spesial,” katamu waktu itu.
Ketika aku menonton televisi, kamu lebih memilih untuk turut
dan membaca koran. Apa yang sebenarnya ada di pikiranmu, Rey?
Pembalasan sikap yang demikian, sering kusimpulkan sebagai bentuk menghargai
saja. Padahal sebenarnya, aku pun merasa tidak apa-apa jika harus menonton
televisi sendirian. Tapi memang demikianlah kamu. Selalu merasa tidak enak
ketika aku duduk sendirian.
Entah mengapa, yang paling membuatku tertawa kecil adalah
tentang kebiasaanmu lupa membawa handuk ketika mandi. Dan selanjutnya, aku tak
enggan mengetuk pintu kamar mandi sebagai isyarat agar handuk bisa segera kamu
balutkan di sekujur tubuhmu yang wangi itu. Derit pintu memang berbunyi, tapi
tubuhmu tetap di baliknya dan tentu saja aku tidak bisa menelannya bulat-bulat.
Tapi aku bisa cukup membayangkan bahwa bentuk tubuhmu memang menjadi daftar
tubuh yang menyenangkan. Bersih, padat, wangi, dan hangat. Tubuh yang selalu
membuatku ingin dekat. Tubuh yang pernah aku dekap.
Sebuah pagi adalah sesuatu yang cukup tak menyenangkan
bagimu. Kamu sangat enggan memulai aktivitas jika aku tidak bawel. Padahal banyak hal bisa kamu lakukan. Aku tahu kamu produktif. Aku tahu
kamu cerdas. Tapi, kamu tidak tahu bahwa aku diam-diam senang memperhatikan
gerak-gerikmu dan mengeja apa-apa yang menjadi kebiasaanmu. Pagi yang menjelang
adalah keadaan di mana selalu berpeluang untuk menjadi kutukanmu. Menjadi robot yang
mesti melakoni sederet agenda adalah persepsimu untuk menyambut pagi. Dalam
hati aku memaki, “Aneh!”
Selalu begitu. Tidak ada yang salah sebenarnya dengan pagi.
Tapi itulah kamu. Enggan. Masihkah itu berlanjut hingga kini, Rey? Entah.
***
Kamu seorang penulis. Aku
senang memperhatikan perkembanganmu lewat twitter, meskipun tentu saja
waktu itu kita setiap hari bertemu. Aku menyukai status yang temaram puitis
itu. Yang menggambarkan ketegaran seorang perempuan senja. Yang
mengishkan betapa kamu memang wanita penuh misteri. Yang begitu membacanya, aku
selalu menerbitkan senyum untuk segenap ruang dan waktu. Yang rasanya ingin
kubukukan saja apa-apa yang sudah kamu tuliskan. Dan yang satu ini menurutku
sangat manis. Bahwa kamu pernah menulis, “Jangan memprotes orang yang sedang
jatuh cinta!”
Berat aku berpikir saat itu. Seperti bergelut pada sebuah
kenyataan bahwa aku sedang jatuh cinta. Seperti arah statusmu itu bahwa aku
satu-satunya orang yang pantang diprotes saat ini. Tapi siapa yang akan
memprotesku? Sementara aku sendiri di sini merenung bersama segelas kerinduan
yang beku. Dan mungkin aku juga beku.
Aku menangis detik ini. Rumah ini tidak lagi disesaki aroma
tubuhmu yang khas. Di kamarmu tidak lagi kutemukan sederet novel karyamu
sendiri. Yang tak ubah adalah di ruang televisi ini, tempat kita sesekali
melempar kesunyian bahkan debat politik. Di sore hari tak
lagi kudengar alunan suaramu dari kamar mandi ataupun nada perhatian yang kerap
kamu layangkan untukku. Di ruang belajar ini tidak lagi ada kamu. “Ah,Fe! Aku
terlalu merindukanmu. Dan memang mungkin benar. Kamu berlalu.”
***
Aku sangat mencintaimu.Dan aku tahu bahwa aktivitas mencintai
itu suatu keunikan. Kamu pernah rasakan rasa seperti ini? Jam yang tiba-tiba
berjalan begitu lambat, hidangan lezat yang hambar, atau tidak bisa tidur
karena ia muncul di seluruh ruangan yang kamu kunjungi, bahkan ketika kamu
memejamkan mata? Hasilnya apa? Tetap saja. Menjadi perempuan itu harus bisa mencintai. Dan ini pagi. Aku ingin rinduku
pecah di ajungan Senin pagi ini.
Aku masih duduk dan memutar gelas
yang ada di hadapku. Masih mengingatmu dan merindumu. Kubuka kembali kalimat-kalimatmu
yang entah kamu menyadarinya atau tidak. Kalimat yang pernah membuatku ingin
marah. Kamu pernah mengungkapkan bahwa janganmenjadi orang yang terlalu cepat
berkesimpulan terhadap apa-apa yang terjadi. Jangan gegabah menafsirkan segala
kemungkinan yang terjadi. Dan jangan berani mencintai terlebih dulu. Apa yang
salah dengan rasa? Sepertinya, ada ketidakwarasan pada dirimu, Rey.Aneh! Sudah pernah kukatakan, “Jangan memprotes orang yang sedang jatuh
cinta!”
Maaf, aku pada banyak hal tidak
pernah menciptakan sesuatu yang berarti di hidupmu dan untukmu. Sehingga
wajarlah jika aku lebih memilih pergi daripada membebani kebebasanmu untuk
mencintai yang lain. Kamu selalu biasa saja, tak pernah menilai perasaanku yang
membanjiri segenap waktumu. Dingin sikap, tatapan yang sekilas, bahkan
kata-kata yang seadanya. Sempurna kuterima di hampir setiap waktuku saat
bersamamu. Demikianlah, aku memiliki alasan yang paling tepat untuk pergi.
***
Tapi, aku menangis di pagi berhujan
keduabelas setelah kepergianmu. Aku nyaris gila. Entah, berapa putung rokok dan
derai air mata ini tumpah. Aku lemah dan tak berdaya. Kamu tidak benar-benar
mencintaiku, Fe!Kalau kamu benar-benar mencintaiku,
maka saat ini kita pasti masih di sini dalam aktivitas yang sama. Entah itu
menonton televisi, makan bersama, atau berdiam bersama. Kenapa kamu memilih
untuk pergi? Jawabannya adalah bahwa kamu tidak sedang benar-benar mencintaiku.
Betapa perpisahan yang dilakukan
sendirian itu terlalu berat. Tidak ada pelukan dan sederet kalimat meneduhkan
sebagai penegasan bahwa aku telah ditinggalkan. Entah kamu berada di mana. Aku
telah berusaha mencarimu, tapi mungkin kamu memang sengaja membuatku hancur.
Apa yang kutakutkan benar-benar terjadi. Aku benar-benar mencintaimu, Fe.
Di sisi lain, mungkin kamu
menangkapku biasa saja terhadapmu. Karena aku memang tidak bisa terlalu
ekspresif dalam melafalkan rasa, apalagi saat berada di hadapan orang yang
kusayangi. Namun, mestinya kamu tidak gegabah memutuskan untuk pergi. Kamu
perempuan yang cerdas dan kukagumi. Kamu seorang penulis bait-bait cinta. Tidak
bisakah kamu menerka atau frontal berdiskusi tentang kejelasan masing-masing
dari rasa kita?
Keadaan yang tanpa latar terus terang
ini membuat kita beku dan jelas menghantuiku. Kutegaskan sekali lagi padamu, yang selalu
menghantuiku hingga kini adalah tentang ketidakberanianku untuk mengungkapkan.
Aku boleh berbangga bisamemulai berkenalan denganmu, walaupun awal perkenalan
itu memang sungguh skenario. Tapi untuk selanjutnya? Aku lemah dan berubah menjadi seperti bukan diriku.Sekali lagi. Aku tidak
mampu berterus terang dan kamu memutuskan untuk pergi. Berlalu, tanpa permisi.
***
Kemarin sebelum hari ini, aku bertemu seorang lelaki. Mungkin
aku kalut sehingga mengira bahwa itu dirimu. Naifnya, aku memulai perkenalan spontan itu. Aku menyebutkan namaku dan dia menyebutkan
namamu. Dan hari ini setelah kemarin, setelah hari keduabelas aku
meninggalkanmu, aku mengeja rintikan hujan. Aku menemukan kalimat yang tepat
untuk kutuliskan saat ini. Sebuah kalimat retoris. Sebuah kalimat rindu,
mungkin. Sebuah kalimat kemarahan, mungkin. Dan tentu saja sebuah kalimat yang
sebelumnya tidak pernah kita diskusikan bersama. “Bukankah kehidupan memang
harus terus berlangsung?”
Dan sebelum kalimat itu tertulis, aku
baru ingat bahwa nanti malam aku akan pergi kencan dengannya, pria yang bernama
panggilan sama denganmu.Rey.
ooOoo
++++++++++
Bahwa menulis adalah simbol kekuatan dan eksistensi. Saya
percaya, tulisan akan mengekalkan kenangan. Desi Umi Nurany, begitulah nama ini
tersemat di dokumen-dokumen penting. Pada dunia maya, saya gunakan nama Dy
Zhisastra, lantas akrab disapa Zizi. Saya lahir di Gunung Batin Provinsi
Lampung pada 12 Desember 1992, dengan latar belakang keluarga sederhana. Hobi
menulis, berpetualang, mendengarkan dan bersahabat. Golongan darah B dan sangat
menggilai sayur bunga pepaya. Selebihnya, silakan bisa menjalin persahabatan
via fb, twitter, dan ig di Dy Zhisastra, email dyzhisastra12@gmail.compasti saya akan menyambut
baik. Haturnuhun.
Comments
Post a Comment