NATSIR, PUISI ESAI DI BALIK JERUJI BESI
Muhammad Thobroni
Peristiwa 1965 menjadi puncak gunung es perseteruan konflik ideologi politik banyak kelompok di Indonesia. Sejak zaman pergolakan dan pergolakan, beragam faksi politik bertengkar hebat tarik-ulur arah bangsa ini hendak dibawa ke mana. Sekian tahun sebelum 1965, sebuah partai dibubarkan dan salah satu dedengkotnya dijebloskan ke penjara. Natsir, sosok yang mewarnai banyak lanskap canvas lukisan sejarah negeri, mendekam di balik jeruji besi sembari menyimak ketegangan di luar penjara. 1) Apa yang dirasakannya? Apa yang direnungkannya?
+++
Malam itu,
Di dalam sel dingin,
Sebuah puisi esai dituliskan.
Natsir,
Pelukis sejarah yang
Jejak gerakan kuasnya
Mewarnai canvas lukisan
Dengan sketsa dan lanskap juang:
Berat negeri ini!
Dia bergumam sendiri
Di dalam sel yang dingin.
Lantai penjara yang lembab,
Pikiran yang keruh,
Dan jiwa yang rusuh
Tubuh merapat ke dinding batu
Kaki terlipat duduk bersila
Pandangan mata kosong
Tanpa rokok, tanpa kopi hitam.
Sebuah langkah berbunyi:
Penjaga mendekat
Coba meredam kecamuk
Dan gemuruh pikiran
Sekian purnama belakangan
Mereka memang bedebah,
Mereka sungguh bangsat!
Masyumi dipaksa bubar,
PRRI disebut makar,
Dan kini tanah ini
Bakal kembali terguncang:
Berat memang negeri ini!
Dia menyimak dari dalam,
Dunia luar sedang bergolak:
Ada rancangan pemberontakan,
Ada rencana penggulingan,
Dan entah propaganda apalagi.
Teringat kelakuan Soekarno,
Juga kroco-kroconya,
Dia mendesah tahan amarah.
Dia tersenyum lebar,
Ya, seharusnya demikian,
Mengenang semua kekejaman
Dan penindasan tiada kira
Tapi,
Dia juga selalu teringat,
Dengan darah dan airmata,
Anak-anak bangsa tak berdosa:
Berat negeri ini!
Dia mengepalkan tangan
Mengutuk jiwanya yang rapuh
Tak tega memandang derita
Harusnya dia bahagia,
Gembira 30/S 1965 meledak
Dalam hitungan detik ke depan!
Harusnya!
Tapi tidak!
Kenapa?
Sebuah surat kabar lusuh
Menyelusup dari bawah jeruji:
Berita dan kabar panas
Politik kisruh
Ekonomi anjlok
Hukum ambruk
Dan rakyat bagaikan
Anak ayam kehilangan induk!
Matahari sedang terik panas
Di tengah kota Jakarta!
Ada yang menyalakan api
Ada yang merebus air
Ada slang air bersiap
Ada es batu bertumpuk!
Dan dia terjebak dalam
Kecamuk resah gelisah jiwa:
Berat negeri ini!
Tak lama lagi
Musuhnya kalah perang
Perahunya karam dan
Tenggelam di dasar lautan
Harusnya dia gembira.
Tapi,
Yang muncul terbayang
Tubuh rakyat bergelimpangan
Darah di sepanjang jalan
Menggenang hitam arang
Campur aduk hatinya,
Dia terkenang kembali kekasih tercinta:
"Kau terlalu banyak berpikir!
Terlebih urusan orang lain!"
Ada pandangan tajam
Ada ucapan menghunjam
Ada cinta yang lekang:
Perempuan selalu benar!
"Apa guna kau peduli rakyat!
Bahkan tidak tahu siapa dirimu?
Mereka juga egois,
Mereka hanya berpikir perut sendiri!
Dan Soekarno?
Kau tahu dia pantas jatuh!
Kau sudah berikan segala,
Kau sudah berjuang.
Pikirkan nasibmu sendiri!
Jangan biarkan belas kasihan merusakmu!"
Kata-kata itu terus terngiang,
Dan perempuan selalu benar!
Dia menunduk
Teringat kata yang menusuk
Menyayat jiwa yang rapuh
Dia kembali bergumam,
Kepada diri sendiri,
Di dalam sel yang sunyi:
"Aku tidak bisa!
Melihat rakyat menderita lag!
Bukan ini kumau!
Bukan ini kita berjuang!"
Kekasihnya kembali muncul,
Dia selalu benar,
Datang dengan tatapan jalang:
"Kau selalu begitu!
Selalu berpikir orang lain!
Tentang bangsa ini!
Tentang idealisme!
Dan lihat!
Di mana semua menempatkanmu?
Di sini.
Di penjara.
Kau tak bisa selamatkan semua!"
"Kau terlalu naif!
Mereka punya ego, Natsir!
Sama seperti kau!
Sama seperti Soekarno!
Lihat di mana idealisme membawamu!
Kau terperangkap dalam penjara!
Sementara mereka!
Di luar tak peduli sama sekali!"
Dia mendesah
Menghela nafas panjang
Serupa kekasihnya yang meradang
Dia berbaring
Bertarung dengan pikiran luar
Benarkah dia harus menyerah?
Benarkah dia harus mengalah?
Membiarkan seluruh idealisme luruh?
Tidak.
Hidup bukanlah tentang
Keselamatan diri sendiri.
Di balik jeruji penjara,
Dia tahu jawabannya,
Meski, sebagaimana hidup,
Tidak pernah sederhana.
2024
Footnote:
1) https://regional.kompas.com/read/2022/02/06/113956978/biografi-mohammad-natsir-pahlawan-nasional-asal-solok-yang-pernah-jadi
Comments
Post a Comment