BAYANG-BAYANG DI TENGAH REVOLUSI
Puisi Esai Muhammad Thobroni
Peristiwa 1965 dipercayai sebagai salah satu sekuel sejarah nasional Indonesia paling epik. Sekaligus paling ironis dan tragis. Soekarno, Presiden yang menjabat saat peristiwa terjadi, harus menghadapi pro-kontra terkait posisinya dalam peristiwa tersebut. Sebagian menganalisa dia punya peran penting di dalamnya. 1)
+++
Indonesia,
Langit menyala pada
Malam 1965.
Di Istana Merdeka,
Senja berwarna merah.
Bata jatuh
Di kaca jendela yang lebar.
Soekarno berdiri
Menghadap langit gelap.
Di hadapannya,
Deretan buku-buku
Tentang revolusi dan
Pidato-pidato yang mengobarkan.
Semangat kemerdekaan
Berbaris rapi di rak.
Ia tak sepenuhnya fokus.
Pikiran terombang-ambing:
Kecintaan pada rakyat,
Rencana-rencana politik,
Semakin hari semakin kusut.
Soekarno bukanlah partai.
Namun,
Ia tahu betul,
Kekuatan politik butuh sandaran.
Akhir 1950-an,
PKI semakin kuat.
Soekarno,
Kecerdasan politik yang licin,
Manfaat keseimbangan kekuasaan.
Bagi dia,
PKI hanya alat
Yang bisa ia kendalikan
Mencegah kekuatan militer
Dan pihak-pihak lain menantang.
Namun,
Ada satu hal
Yang tak mampu
Ia kendalikan—dunia
Di balik tembok Istana,
Rumah tangganya sendiri.
Fatmawati, istrinya,
Telah lama mencium aroma busuk
Hubungan Soekarno dengan PKI.
Setiap kali
Ia mendengar nama Aidit,
Disebut percakapan politik,
Rasa muak tumbuh.
Suatu malam,
saat mereka berada
Di ruang tamu Istana,
Fatmawati memulai bicara,
Sulit dihindari lagi.
"Apa yang sebenarnya
Kau inginkan dari PKI itu,
Bung?" tanyanya
Dengan suara pelan
Namun tegas.
Soekarno tak menjawab
Seketika. Ia menyulut
Rokok kretek dan
Menatap jauh ke luar
Jendela. "Ini bukan soal
Aku, Fat. Ini soal bangsa."
"Bangsamu, atau
Egomu?" Fatmawati
Membalas tajam.
Soekarno menghela
Napas. Ia tahu argumen
Ini akan datang,
Dan ia pun
Telah menyiapkan jawaban.
"Mereka mau bantu revolusi
PKI punya massa
Bisa gunakan mereka."
"Tapi kau bukan komunis,"
Desak Fatmawati,
Suara gemetar
Kemarahan coba ia redam.
"Kenapa kau bersekutu
Dengan mereka? Lihat
Bagaimana rakyat mulai
Ketakutan dengan pengaruh mereka."
"Mereka alat, Fat,"
Jawab Soekarno
Dengan nada datar.
"Alat menjaga keseimbangan.
Aku butuh mereka."
Dalam keluarga,
Ketegangan tak hanya
Ada antara Soekarno
Dan Fatmawati.
Anak-anak mereka,
Terutama Guntur,
Mulai merasakan perpecahan.
Guntur, yang tumbuh
Di tengah hiruk-pikuk revolusi,
Mulai mempertanyakan sikap ayahnya.
Ia melihat ibu
Sering menangis dalam diam,
Kecewa pada Soekarno
Dianggapnya mulai
Menjual idealisme demi kekuasaan.
Suatu malam,
Guntur memberanikan diri
Menemui ayahnya.
Di ruang kerja yang megah,
Soekarno duduk
Dengan tumpukan kertas di meja.
Guntur berdiri di depan pintu, ragu.
"Ada apa, Guntur?"
Tanya Soekarno,
Tanpa mengangkat pandangan.
"Kenapa kau
Begitu dekat dengan PKI,
Ayah?"
Guntur akhirnya
Bertanya, suaranya tenang
Tapi jelas mengandung amarah.
Soekarno mendongak,
Terkejut dengan
Pertanyaan anaknya.
Ia menggeleng pelan.
"Kau tak akan mengerti, Nak.
Ini urusan politik."
"Politik atau prinsip?"
Guntur menantang.
"Bukankah kau
Yang selalu mengajarku
Tentang kedaulatan bangsa,
Tentang jangan tunduk
Pada kekuatan asing,
Tapi kenapa,
Sekarang kau justru
Bermain dengan mereka
Yang menakutkan rakyat?"
"Kau terlalu muda untuk mengerti,"
Soekarno mendengus,
Merasa terganggu.
"Atau mungkin,
Ayah yang terlalu tua
Untuk melihat
Apa yang sebenarnya terjadi."
Soekarno terdiam.
Dalam hati,
Ia sadar
Bahwa putranya menyentuh kebenaran,
Namun,
Ia tak bisa mengakui itu.
Tidak sekarang.
Tidak di tengah situasi yang
Begitu rumit.
Di luar,
Tekanan global semakin kuat.
Amerika dan Uni Soviet
Mempermainkan Indonesia
Seperti pion
Di papan catur Perang Dingin.
Soekarno,
Selalu bangga Gerakan Non-Blok,
Mulai merasa terpojok.
Ketika Amerika
Memotong bantuan,
Soekarno beralih ke Soviet.
Ketika tekanan
Dari dunia internasional makin terasa,
Dalam negeri pun bergolak.
Demonstrasi terhadap PKI dan
Soekarno marak terjadi
Ketegangan politik,
Tekanan agama,
Perpecahan keluarga,
Cinta yang terjerat perbedaan,
Mencapai puncak tahun 1965.
Malam itu,
Pertemuan rahasia di Istana,
Soekarno menerima
Laporan rencana kudeta.
Di luar sana,
Sejarah tengah bergulir,
Dan setiap keputusan,
Akan mengubah nasib bangsa.
Saat terakhir,
Soekarno menyadari satu hal:
Di antara semua
Kekuasaan, ideologi,
Dan politik,
Ia telah kehilangan
Satu hal paling berharga
—kepercayaan orang-orang terdekat.
Dialog antara dia dan Fatmawati,
Antara dia dan Guntur,
Antara dia dan tokoh agama,
Semua menggaung di pikiran,
Meninggalkan bayang-bayang
Yang tak terhapuskan.
Sebuah senja,
Di tahun 1965,
Istana kembali sunyi.
Fatmawati menatap
Langit dari kejauhan.
Sementara,
Soekarno duduk sendiri
Di ruang kerjanya,
Menulis surat
Yang tak pernah akan sampai.
Bayang-bayang revolusi
Tak hanya mengguncang bangsa,
Tapi juga,
Menghancurkan hati
Mereka yang berada
Di tengah pusaran kekuasaan.
Dengan penuh pengharapan,
Soekarno menatap kertas
Di depannya,
Namun,
Kata-kata tak pernah cukup
Untuk mengungkapkan
Semua yang hilang
Di tengah permainan kekuasaan.
2024
Footnote:
1) https://fahum.umsu.ac.id/peran-soekarno-dalam-peristiwa-g30s-pki-30-september/
Comments
Post a Comment