MILA MUZAKKAR: MANUSIA DENGAN AI VS MANUSIA TANPA AI


 

*Manusia dengan AI vs Manusia tanpa AI*


*Mila Muzakkar (Sekretaris KEAI Pusat/Training & Development Consultant)



"Tulisan dengan AI enggak menjamin tulisan lebih bermutu", kata seorang temen, saat aku mengirim tulisan hasil kolabs dengan AI, ke media yang dipimpinnya.


Dengan santai aku jawab, "Hehe... Tergantung bagaimana cara menggunakan AI-nya."


Hmm..., kayaknya ada yang keliru deh dengan cara memandang dan memperlakukan AI (Artificial Intelegence). Mari  kita bahas!



*Manusia adalah Kreator*


Pernah dengar orang bilang begini: "AI akan menggantikan dan menyingkirkan manusia. Banyak pekerjaan akan hilang karena AI"?


Pernyataan di atas sudah keliru sejak awal karena membandingkan antara manusia dengan AI, yang merupakan alat atau benda mati, yang diciptakan oleh manusia.  Enggak apple to apple dong ngebandingin pencipta dengan ciptaannya, ya enggak?


AI adalah alat canggih yang diciptakan oleh manusia yang dapat membantu berbagai altifitas manusia. Dengan AI, pekerjaan seperti menulis, mendesain, membuat video, melukis, mengajar, memfasilitasi training, sampai memasarkan bisnis, lebih mudah, cepat, inovatif, dan canggih. 


Logika simpelnya, kalau alat yang diciptakan itu canggih, berarti penciptanya lebih canggih dong!  Yang namanya alat, tentu harus ada yang menggerakkannya supaya berfungsi, ya kali alatnya jalan sendiri, syeremmm dong hihii...!


Dialah manusia. Manusia yang menggerakkan, memerintahkan, mengutak-atik, sampai menjadi hasil akhir yang bisa dilihat oleh orang lain.


Bagaimana hasil penggunaan alat itu? Tergantung bagaimana manusia menggerakkannya. Artinya, ada peran besar manusia di sini. Manusialah kreatornya. Kalau manusianya pintar, cerdas emosional, punya pengalaman banyak, punya empati, kreatif dan inovatif, maka modal itulah yang dia gunakan dalam memakai alat (AI) itu. 


Sebaliknya, kalau manusianya enggak berilmu, serakah, dan enggak tahu makna hidupnya, ya sudah deh, AI bakal dipakai di jalan yang salah, ugal-ugalan, bahkan merusak peradaban.


Jadi, simpelnya, fungsi AI sama kayak komputer yang diciptakan untuk membantu menulis, mendesain, menghitung keuangan, jadi enggak perlu pakai mesin ketik lagi. karena kemampuan mesin ketik terbatas, lebih capek dan lebih lama ngetiknya. 


Juga sama kayak mesin cuci, rice cooker, blender, yang bisa membantu manusia lebih cepat menyelesaikan pekerjaannya dan enggak capek banget. So, waktunya bisa dipake untuk mengerjakan hal lainnya.


Enggak beda juga dengan orang yang bikin jurnal atau skripsi, trus mengutip langsung pernyataan orang lain yang diambil di google. 



*Apalagi Fungsi Manusia?*


Setelah ada alat bernama AI, berarti tugas manusia cukup memerintahkan AI dengan kalimat, suara, atau gambar, lalu tinggal menikmati hasilnya, gitu?


Hello... Mohon maaf, enggak secetek itu bos! Justru dengan menggunakan AI, manusia ditantang untuk berpikir lebih dalam, kritis, kreatif, imajinatif, peka dengan lingkungan sosial, juga diperkaya dengan pengalaman hidup. Karena itu semualah yang menjadi modal untuk memberi instruksi ke AI (prompt).


Makin kaya dan spesifik instruksi yang diberikan ke AI, hasilnya pun makin mendekati keinginan si pemberi instruksi. Pun sebaliknya.


Apalagi yang perlu dilakukan? Manusia juga perlu memasukkan pengalaman personal ke dalam karya yang dibantu AI. Meski pun AI pintar banget, tapi dia enggak bisa masukin pengalaman personal manusia secara emosional dan mendalam. Karena AI tuh enggak punya motif atau kepentingan apa-apa. Dia hanya mesin, benda mati, yang akan bereaksi ketika ada yang menggerakkannya.  


Di sinilah fungsi utama manusia, memperdalam tulisan dengan pengalaman personal, memasukkan  karakter autentik, dan melakukan proses editing.


Well, sampai sini kita bisa menyimpulkan, manusia yang menggunakan AI akan lebih mudah dan cepat melakukan berbagai aktifitasnya, membuka akses belajar secara mandiri, memperbesar peluang kerja, bahkan menciptakan lapangan pekerjaan baru.


Sementara manusia yang belum atau anti menggunakan AI, yah kesempatan, akses, dan kemampuannya segitu-gitu aja, hidup kurang berwarna,  capeknya enggak berkurang, beban hidup makin meningkat, dan ujung-ujungnya bisa depresi.


Jadi, mau pilih mana: menjadi manusia tanpa AI atau manusia yang berkolaborasi dengan AI?



*Gambar ilustrasi dibantu oleh AI

Comments