WRITING CULTURE & SATUPENA
oleh ReO Fiksiwan
„Manusia adalah hewan yang tergantung dalam jaring makna yang telah ia buat sendiri.“ —Clifford Geertz(1920-2006).
Sekitar 2020, sebelum pandemi Covid mulai menular masif pada bulan Maret, saya mengunjungi Perpusnas berbekal kartu anggota dan untuk beberapa menikmati bacaan melulu terkait kebudayaaan.
Salah satu buku yang mengutip di awal kritikus sastra Roland Barthes dengan pernyataan: „Pekerjaan interdisipliner, yang banyak dibicarakan akhir-akhir ini — termasuk sebagai penulis(red.) — bukanlah tentang mengkonfrontasi disiplin ilmu yang sudah terbentuk (yang sebenarnya tidak ada satu pun yang mau melepaskan diri). Untuk melakukan sesuatu secara terdisipliner, tidak cukup hanya memilih sebuah "subjek" (tema) dan menyatukan dua atau tiga ilmu di sekitarnya. Interdisipliner terdiri dari penciptaan objek baru yang bukan milik siapa pun.“
Buku ini, „Writing Culture: The Poetics and Politics of Ethnography“(1986) disyunting
James Clifford & George E. Marcus, menjadi salah satu buku yang sepenuhnya plototi akibat gagal menemukan buku dengan judul serupa(Writing Culture) yang ditulis kalau tak salah oleh peraih Nobel Ekonomi asal India, Amartys Sen(90).
Menyorot kesulitan epistemik dan politik yang melekat dalam representasi etnografi, buku ini
menjadi eponim untuk kontroversi yang lebih luas selama akhir 1980-an dan awal 1990-an.
Perdebatan „Writing Culture“(lanjut: menulis budaya) ini menyangkut bentuk-bentuk penulisan etnografi yang memadai, refleksivitas,objektivitas, dan konsep budaya, serta otoritas etnografi dalam dunia yang semakin terfragmentasi, mengglobal, dan (pasca)kolonial.
Menandai perubahan penting dalam antropologi, yang secara beragam digambarkan sebagai topik "sastra," "reflektif," "postmodern," "dekonstruktif," atau "pascastruktural," terdapat publikasi pendamping sejenis seperti „Antropologi sebagai Kritik Budaya“ oleh Marcus dan Fischer 1986 yang dikutip dari „Perdebatan Budaya Penulisan: Budaya Penulisan dan Teks-teks yang Berkaitan“, ikut menyulut dan sangat memecah belah komunitas antropologi pada saat itu.
Upaya perayaan kanonisasi budaya penulisan sebagai kritik (pasca)modernis yang telah lama tertunda karena disiplin antropologi sangat kontras dengan menjelek-jelekkan penolakan pada ikhtiar menulis budaya sebagai sesuatu yang mengancam disiplin profesional dalam tradisi karir menulis dan penulisan.
Sepanjang tahun 1990-an, perdebatan seputar apa yang disebut "krisis representasi" yang dipelopori „Budaya Penulisan“ perlahan makin reda dan membuka jalan bagi tanggapan yang lebih bernuansa dan termediasi dalam bidang-bidang terkait. Hal seperti itu tampak pula, meski dalam kadar dan tensi lebih adem, tapi agak bergelora, yang berlaku dalam gerakan Satupena dengan „Writing Retreat“ pada akhir dan awal, Agustus-September 2024 silam.
Dalam pengertian ini, dampak „Menulis Budaya“ lebih jauh dapat ditelusuri dalam definisi ulang penting disiplin antropologi mengenai isu-isu seperti siapa yang harus melakukan kerja lapangan untuk menggali berbagai tema-tema kebudayaan yang berkelindan di berbagai wilayah Indonesia. Entah dengan genre reportasi, jurnalis investigasi, menulis ulang naskah(kuno), kritik, esai, etnografi hingga puisi esai?
Meski melalui Satupena yang telah terbentuk di berbagai daerah, upaya melakukan kolaborasi dan
menelusuri translokal di berbagai lokasi dengan macam topik yang harus didalami, misalnya, epistemik antropologi dan pengetahuan dari pengaruh deras sains Barat melawan „pribumisasi sastra“(literary indegenous), sastra nusantara maupun isu poskolonial atau „clearing a space“ menurut Keith Foulcher dan Tony Day(2001).
Secara metodologis, meski sulit dan dapat diperdebatkan, menghubungkan problem interes publik dan kesetaraan sistematis dalam perkembangan kontemporer budaya menulis, khusus untuk gerakan Satupena, masih membutuhkan dukungan luas agar memperjuangkan sekedar genre dan stilistika penulisan patut dikuatkan oleh modalitas berbagai sumber daya maupun „stock in trade“ tiap-tiap penulis.
Dengan lain kata, budaya menulis
merupakan warisan dan pusaka dari apa yang disebut „reinventing knowledge yang mengarah pada refleksi tentang kapasitas buku-buku yang berkelanjutan untuk menangkap imajinasi antropologi di masa mendatang.
Namun, untuk saat ini tampaknya
jelas bahwa Budaya Menulis memang telah menjadi titik referensi standar dalam, dan deskripsi singkat utama untuk mendiskusikan postmodernisme, representasi etnografi dan poskolonialisme dalam
antropologi sebagai momen kanonik dalam sejarah disiplin ilmu tersebut.
Meskipun Writing Culture memunculkan perdebatan multifaset tentang refleksivitas, objektivitas, epistemologi, budaya, etnografi sistem dunia, dan politik representasi, teks-teks berkelindan, terutama membahas tentang puisi etnografi, yang sebagian besar mengesampingkan masalah politik dan epistemologis. Bahkan gerakan puisi esai sendiri terus berupaya sekuat mungkin agar tidak terperosok pada problem teknis dan metodologi dalam historisisme Popperian.
Dalam upaya tekstualitas dan kontekstualitas budaya menulis dalam menantang cara penulisan genre etnografi konvensional serta di luar pengaruh Clifford Geerzt sejak „Agama Jawa“ hingga „Teater Negara(Bali), Ignas Kleden(1946-2024) lewat „Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan“(1986) hingga „Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopi“(2001) telah meletakkan rambu-rambu menyelematkan menulis budaya melalui kritik Geerzt sendiri di bawah ini:
„Cultural analysis is intrinsically incomplete. And, worse than that, the more deeply it goes the less complete it is(Analisis budaya pada dasarnya tidak lengkap. Dan, lebih buruk dari itu, semakin dalam analisis tersebut, semakin kurang lengkap pula analisis tersebut).
Comments
Post a Comment