MUHAMMAD THOBRONI | PENULIS, KOMUNITAS PENULIS DAN ADVOKASI PENULIS | KOLOM | AMBAU.ID | ZONA LITERASI



Oleh Muhammad Thobroni

(Penjaga Kandang Kelinci dan Pecinta Kebun)


Sejarah penulis dan kepenulisan ialah sejarah bahaya. Penuh ancaman. Penuh tentangan. Intimidasi. Bahkan kurungan. Juga pancungan. Seringkali menulis dianggap subversif.


Ada penulis menciptakan karya yang melawan. Bahkan memberontak penguasa. Biasanya dirasakan sang penguasa telah menjajah rakyat yang lemah. Penulis turun tangan. Bukan hanya melalui tulisan lawan. Tapi juga terjun langsung ke medan pertarungan. Angkat "tangan kiri" dan nyanyikan "lagu darah juang". Ada juga yang lebih mantap dengan tambahan "lagu pembebasan".


Di banyak negara, ada penulis yang macam itu. Sejak zaman kemerdekaan bangsa dan negaranya. Atau sekadar menghadapi rezim otoriter dan fasis. Di antara penulis itu ada yang ditangkap. Lantas diinterogasi. Kemudian dipulangkan kembali selepas diintimidasi. Ditakut-takuti dan diminta tandatangan di atas "kertas bermaterai". 


Ada pula di antara penulis itu yang lebih beruntung. Mereka ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Atau sekadar dikurung dalam ruangan pengap di luar negara. Sebagian lagi malah dibawa ke tiang gantungan. Dipancung. Atau dihukum mati dengan cara diberondong tembakan tanpa diadili. Di antara mereka ada yang sastrawan, wartawan, atau penulis sembarang. 


Tidak semua penulis nasibnya mengenaskan di tangan negara. Atau tangan besi dan ujung peluru. Ada yang lebih beruntung: diambil paksa dari kosnya. Lantas hilang kabarnya. Berhari-hari berminggu, berbulan bahkan bertahun lamanya. Kuburan tak jelas di mana. Terlebih nisannya. Andai tidak ada warisan karya yang ditulisnya, mungkin penulis golongan ini bakal menjadi bagian dari khazanah kebudayaan lisan semata. Lama-lama jadi bahan mendongeng para juru cerita. 


Ada lagi penulis yang pilih menghabisi dan mengakhiri hidupnya di tengah kesunyian. Menepi dan menyepi. Ke pinggir hutan. Ke atas gunung. Ke ujung pantai jauh. Yang menurutnya dapat membuatnya jaga jarak dengan kemunafikan zaman. Mereka muak dengan kebobrokan. Juga kebusukan di sekelilingnya. Dari karya-karya yang ditulisnya dapat diketahui mereka resah jiwa dengan kerusakan struktural massif dan terencana. 


Penulis macam itu juga masih lumayan beruntung, ada tulisan yang diwariskan nya. Sehingga generasi berikutnya dapat menjadikannya inspirasi. Ibrah dan hikmah. Plus menjadikannya idola. Patron intelektual yang luar biasa. 


Tapi, di sini kita melihat dua sisi. Penulis ilaah mereka yang dipilih sebagai kaum pemberani. Namun sekaligus ringkih. Rentan. Rentan. 


Kerapuhan dan kerentanan itu bisa dipicu dari luar dirinya. Bisa pula bersumber dari dalam jiwanya. Atas kedua hal tersebut, sungguh penting seorang penulis memiliki komunitas. Entah komunitas yang diciptakan sendiri. Beranggotakan diri sendiri dan kekasihnya. Atau komunitas ciptaan orang lain. Penulis bisa berafiliasi dengan segala kurang lebihnya. 


Komunitas penulis dapat menjadi ruang dan jalan advokasi.  Sebab peluang ancaman terhadap penulis bisa datang darimana saja. 


Di jalur politik, penulis jelas berhadapan dengan negara. Meski dia pilih berkolaborasi dsebagai penulis istana. Penulis berhadapan dengan para politisi. Yang cara berpikir dan bertindaknya sering tidak perlu berpikir lama. Beda dengan penulis. Yang kadang bilang butuh merenung. Bahkan refleksi mendalam. Di jalur ini, penulis bisa saja berlawanan. Bisa bergabung total. Ataupun berkolaborasi saling menguntungkan. Tapi, para penulis tetap butuh komunitas sebagai ruang dan jalan advokasi. 


Di jalur ekonomi, para penulis rentan menghadapi beragam masalah. Berhadapan dengan penerbit, distributor dan pasar buku. Juga budaya penggandaan buku tanpa izin. Ditambah masyarakat yang pingin buku murah semurahnya. Bahkan digratiskan saja. Belum lagi faktor ekonomi lain yang harus dihadapi. Perkembangan teknologi digital misalnya. 


Di bidang sosial budaya, para penulis tidak aman dari ancaman. Ada somasi atas tulisan yang dianggap tidak sesuai. Tidak memuaskan pihak tertentu. Atau melanggar norma. Ancaman bisa saja datang dari tokoh sosial, tokoh publik, tokoh berbasis SARA. Dan sebagainya. Banyak sekali norma yang harus dihadapi penulis. Lebih sulit menghadapi norma yang berkembang di masyarakat daripada mencari ide dan membangun kerangka tulisan. 


Bahkan, ancaman penulis juga dapat muncul dari teman dan kolega sendiri. Sesama penulis. Atau komunitas menulis yang berbeda. Bisa beda pendapat. Atau beda pendapatan. Seribu alasan bisa dicari. Juga bisa diciptakan. Terlebih di tengah masyarakat yang masih komunal. Bahkan cenderung primordial dan taklid buta. Yang ada harga mati. Tak ada harga tawar menawar. Alias negosiasi dan kompromi. 


Tak jarang ancaman terhadap penulis juga hadir dari orang terdekat macam kekasih, pasangan resmi atau pasangan "tidak resmi". Sumber masalahnya bisa macam-macam. Kadang hasilnya cuma keretakan hubungan. Atau paling apes perceraian. Tapi tak sedikit yang berujung gugatan dan pengadilan. 


Komunitas penulis dan advokasi penulis bisa saja penting dan dibutuhkan. Untuk menghadapi potensi teror dari luar dunia penulis. Atau antisipasi kemungkinan masalah sepele di sekitar penulis. 


Siapa bisa menduga dan mengira penulis bisa ambruk hanya sebab urusan asmara cinta? Siapa bisa menjamin penulis selalu tangguh menghadapi biaya spp anaknya yang menunggak berbulan-bulan? Bahkan kebutuhan pribadi diri dan istrinya? 


Memang pena lebih tajam dari senjata. Memang tulisan lebih kuat pengaruhnya timbang mimbar dan pengeras suara. Lebih dahsyat dari saldo rekening. Dan juga deretan kuasa lainnya. 


Namun, dengan komunitas menulis, dan hadirnya advokasi penulis, ada tambahan harapan penulis punya waktu lebih lama untuk berkarya. Juga harapan mereka punya kesempatan lebih luas menghasilkan karya berkualitas. Dus harapan mereka lebih berani ambil bagian dalam mewarnai perkembangan peradaban dan kebudayaan. Syukur-syukur peradaban dan kebudayaan luas bukan hanya di sekitar kampungnya. Tapi juga dunia. 


Terlalu sayang, banyak perubahan dan perkembangan dunia yang harus dilewati para penulis. Padahal perubahan dan perkembangan itu layak diwariskan ke generasi mendatang. 


Mungkinkah dapat diwujudkan? 


Weleri, 31 Mei 2022

Comments