PEMBURU KEPALA: CERITA PENDEK RENDY SIPIN

PEMBURU KEPALA
Ilustrasi : Rendy Sipin
“Berburu kepala bukanlah kepuasan perut, tetapi kepuasan batin.”

Begitulah pesan dari orang tua Sumboy dan Kanday yang didapat melalui kakek mereka. Dari kakek, pesan itu diperoleh melalui orang tua mereka juga. Hingga sampailah kepada buyut mereka. Ibarat rantai, pesan itu sambung menyambung. Sebuah pesan turun-temurun yang disampaikan agar anak-cucu tetap melestarikan kebiasaan orang-orang rimba yakni berburu kepala. Meski saat sekarang ini, hanya sedikit yang masih meneruskan tradisi tersebut.

Dua pemburu itu sedang berada dalam hutan. Sejak tadi pagi  mereka meninggalkan rumahnya dalam keadaan terkunci. Tak ada orang. Kecuali kepala-kepala sisa tulang itu menggantung menghiasi teras, bergoyang-goyang ditiup angin dari sebelah barat. Rumah itu milik Sumboy, dihuni juga oleh Kanday. Masih ada lagi dalam ruangan. Kata orang-orang yang pernah berkunjung ke tempat itu, memang banyak kepala terpajang di dinding-dinding. Mereka berdua itu suka mengoleksi kepala-kepala. Oleh sebab itu mereka dijuluki si Pemburu Kepala.  

Mereka sedang berburu kepala. Seperti biasa, mereka masuk membawa sebilah parang, sepucuk senapan, sumpit, air minum, makanan ringan dan tas kecil yang talinya mengikat kencang di pinggang. Mereka mengambil jalan secara terpisah. Pada ujungnya mereka akan bertemu pada satu tempat. Kemudian berhenti lalu mengeluarkan senjata untuk siap melumpuhkan sasaran.

“Pelan-pelan. Jangan sampai ketahuan.”

Begitu suara mereka sebelum berpencar, memburu mangsa yang sedang berkeliaran. Langkah kaki yang penuh kewaspadaan melintasi tanah yang basah, jalan-jalan penuh rumput liar dan juga becek. Tatapan mereka senantiasa memancar ke segala arah, berupaya membaca tanda-tanda. Mereka sudah tahu menggunakan senjata. Berburu dari jauh cukup menggunakan sumpit atau senapan angin. Berburu tanpa berhadapan dengan mangsa cukup memasang perangkap. Jika terpaksa berhadapan dengan mangsa, digunakanlah sebilah parang.

Mereka mengikuti jejak-jejak mangsa yang tertinggal, membekas menjadi penanda, “mangsa tidak jauh dari sini,” batin mereka. Maka lebih berhati-hati kaki mereka melangkah.

***
Sejak tadi pagi rumah milik Sumboy sudah didatangi orang-orang. Mereka yang datang tak berhasil menemuinya. Menunggu lama bikin jenuh. Mereka akhirnya pulang. Tidak lama, datanglah orang berikutnya. Dua orang sedang di depan pintu. Mereka datang atas petunjuk penduduk sekitarnya. Mereka melihat tulang-tulang kepala bergantungan. Sepertinya tulang kepala binatang. Kepala Monyet, kepala Kancil, kepala Buaya juga sisa-sisa tanduk Payau yang mengering. Benda-benda mati itu bergoyang-goyang, saling bertabrakan sampai menimbulkan bunyi akibat tertiup angin. Lantas, mereka memeriksa bagian jendela tanpa gorden. Hanya kaca. Sehingga mereka mencoba mengintip, barangkali penghuninya sedang di dalam. Ternyata ruangan itu dipenuhi tempayan. Dari kecil hingga besar. Ditambah kepala-kepala tinggal tulang. Kepala Biawak, kepala Beruang Madu, dan kepala Burung Enggang. Dipajang di dinding. Bahkan mereka tercengang melihat tengkorak kepala manusia tersusun rapi di sebuah lemari. Begitu melihatnya, mereka langsung merinding.

Kedatangan orang-orang itu diketahui juga oleh tetangga di sebelah rumah Kepala. Maka mereka menjelaskan maksud kedatangan mereka. Yakni, ingin menemui Sumboy dan Kanday.

“Oh Pemburu Kepala. Mereka sedang di dalam hutan. Mungkin sebentar sore mereka akan sampai.” Kata salah satu tetangga.

Dua orang  itu mecoba menyembunyikan rasa takut namun tetap saja merinding.

“Di zaman sekarang ini harusnya mengumpulkan uang. Bukan mengumpulkan kepala.” Gumam salah seorang diantara mereka.

Akhirnya mereka memutuskan menunggu lantaran tetangga sedang berupaya mencari orang untuk mengantar mereka ke dalam hutan.

Mereka dipenuhi rasa takut. Ingin sekali pamit dan kembali di lain waktu, tetapi karena merasa sangat membutuhkan Pemburu kepala dan kesediaan tetangga membantu, maka mereka akhirnya bertahan. Sembari menunggu seseorang yang siap membawa mereka masuk.

Tetangga yang ramah itu kemudian mengajak mereka berbincang. Dengan ditemani segelas kopi dan umbi-umbi hangat. Susana kian akrab. Saking akrabnya, timbulah pembahasan mengenai Rumah Kepala.

“Pasti kau ambil kepala-kepalanya saja. Sisanya, biar kami yang urus,” tetangga itu mulai berkisah, “itulah yang selalu kami katakan jika Sumboy dan Kanday membawa hasil buruan. Kami sudah mengenal pasti bahwa mereka  itu hanya mau kepalanya saja. Sementara tangan, kaki, dan badan itu cukup dibagi-bagikan kepada kami. Kami inilah yang mengurusnya. Oleh karenanya, kami menyebutnya Pemburu Kepala. Seperti yang kalian lihat. Kami sudah mempersiapkan bahan-bahan dari cabe, sayuran, dan kunyit, terasi, kecap, daun kencur, kemiri semua itu diolah jadi bumbu masakan untuk daging pemberian pemburu kepala. Sumboy dan Kanday  memang tumpuan  bagi kami. Mereka yang selalu di tunggu-tunggu saat pulang dari hutan dengan membawa hasil buruan. Kami semua mau apa saja yang mereka buru. Selama itu bukan manusia. Namun saat sekarang ini di mana binatang-binatang perlu dilindungi, maka kami mulai berhati-hati terhadap buruan. Burung Enggang, Monyet Bekantan, dan binatang-binatang langka sudah tidak lagi jadi sasaran. Padahal kami bisa menjualnya. Tapi meskipun dilarang, kami tetap saja melanjutkan tradisi berburu. Paling rajin diantara penduduk kami adalah Sumboy dan Kanday.  Jika mereka tiba, segeralah hawa panas dari tungku kami  menyambut mereka yang sedang mengarak Babi maupun Payau. Segeralah arakan itu diserahkan untuk dijadikan santapan, dengan pengecualian bahwa kepala buruan itu menjadi milik pemburu. Sebab kepala-kepala itu akan dijadikan hiasan di tubuh dan rumah. Tidak mengherankan jika mereka sangat senang mengumpulkan kepala.”

Dua orang itu asyik mendengar sambil meneguk kopi buatan tetangga. Kopi itu terasa sangat hitam pekat dan beraroma kayu bakar.

“Lalu bagaimana dengan tengkorak kepala manusia-manusia itu?” Tangan salah seorang tamu menujuk ke rumah kepala.

Tetangga itu tersenyum.

“Dulu nenek moyang kami rajin berburu. Hanya dengan beburu orang-orang dapat bertahan hidup. Kami di sini awalnya juga merintis supaya bisa menetap. Sebab hutan banyak menyimpan sumber makanan. Kami sangat bergantung padanya. Maka dari itulah kami menggarap lahan, membuat rumah-rumah. Lama-lama itulah yang menjadi wilayah kami. Itulah tempat tinggal kami. Akan tetapi, selalu saja ada orang tak dikenal mengusik wilayah kami. Apakah itu masalah perkelahian, pemukulan, atau perebutan wilayah. Demi keamanan, kami pun tak segan-segan memburu mereka, manusia-manusia itu. terjadilah perang diantara kami. Kami  berupaya mempertahankan kampung ini dari serangan musuh. Supaya wilayah kami tidak direbut, lelaki-lelaki pemberani harus turun untuk ikut berperang. Sumboy dan Kanday itu juga berasal dari kelompok yang berbeda. Nenek moyang mereka juga punya tradisi berburu kepala. Kepala-kepala itulah menjadi tanda kehormatan harga diri si pemburu atas kemenangannya pada wilayah itu. Pokoknya itu terjadi kalau wilayahnya merasa ada gangguan. Entah dari orang asing atau bukan. Bila bermasalah, kepala melayang.”

Dua orang itu mengangguk sambil menelan liurnya melihat si tetangga menggesek lehernya.  Cerita kembali dilanjutkan.

“Tetapi itu kehidupan zaman dulu. Sejak nenek moyang kami diperkenalkan ajaran-ajaran baru, barulah mereka berhenti berburu kepala, kecuali berburu binatang. Hanya saja seperti yang baru kuceritakan tadi, binatang-binatang dilindungi tidak boleh diburu. Sudah banyak orang yang protes, katanya binatang itu sangat langka. Kasihan nanti kalau punah. Tidak ada lagi, binatang khas di negeri ini. Makanya, kami cuma berburu yang jumlahnya masih banyak dan bisa dimakan. Apa lagi, seperti yang kalian lihat di pinggir jalan beraspal itu. Banyak bangunan-bangunan gaya baru. Ada rumah pribadi, sekolah, kantor, pasar, tempat berobat. Ada juga alat canggih, kalau tidak salah namanya Hape. Kalau pakai itu, kita bisa pesan segala yang bisa dibeli, dimakan, diminum maupun dipakai. Sangking mudahnya, tidak banyak lagi yang mau capek-capek berburu. Bahkan anak saya saja waktu saya ajak ke hutan ketika melihat babi kena tusuk atau didor kepalanya pakai senapan angin langsung menutup mata. Muka anak saya itu seperti orang yang ketakutan. Dia tidak mau lagi ikut ke hutan. Barangkali perburuan memang dianggap sadis. Tapi daging itu tetap saja dimakannya dan saya rasa bukan anak saya saja, anak-anak muda lain pun agak menjauh dengan hutan. Mereka lebih suka bekerja di kantor-kantor mau itu lulusan sekolah atas maupun sekolah dasar. Katanya, gajinya pasti. Tiap bulan pasti diberi, ditambah jaminan kesehatan. Beda dengan berburu yang hasilnya tidak pasti dan tak ada jaminan keselamatan. Kalau sudah begitu, mending pilih yang mudah tapi hasilnya jelas, begitu katanya. Jadilah, hutan kami kini di isi perusahaan-perusahaan kayu dan tambang. Banyak anak-anak muda kami kerja di tempat itu. Tapi kemarin, banyak orang yang protes, karena tanggulnya jebol bikin rusak sungai. Mereka menuntut perusahaan itu ganti rugi kalau tidak, akan ditutup. Jadilah ganti rugi, itu saja mereka masih  tidak puas, katanya, tidak sesuai dengan kemauan. Mereka ingin menuntut lagi. Namun, kasihan juga dengan perusahaan itu, sebab ada  anak dan keluarga mereka bekerja di dalamnya. Kalau sudah tutup mau lari ke mana nasib mereka?  Berburu? Mereka sudah tidak mau karena kebutuhan hidup semakin mahal. Maksud saya, bukannya tidak mau. Hanya selingan saja.”

Tetangga yang juga ketua Rukun Warga itu kembali meneguk kopi miliknya. Sementara dua tamu mengangguk sambil menguap dan terciumlah bau asap dari kayu bakar tak jauh dari rumah itu.  Lantas mereka menoleh ke kiri dan ke kanan menunggu kedatangan orang yang bersedia mengantar mereka.

Dua tamu ditawari rokok. Tetangga itu menyalakan api dan seketika wajahnya yang penuh guratan keriput dipenuhi asap mengepul di udara. Hampir satu menit tak ada suara. Maka tetangga itu melanjutkan ceritanya.

“Kalau itu, kami tak masalah. Tetapi kami ini kadang dibuat resah karena tidak sedikit pemuda-pemudi di kampung kami, kerjanya bikin masalah. Kadang mabuk-mabukan, teriak-teriak tengah malam. Ketok pintu di saat orang tidur. Bahkan mencuri. Setiap malam, ada saja laporan. Kehilangan ternak, kehilangan sepeda motor, kehilangan Hape, kehilangan baju di jemuran, bahkan lampu jalanan. Saya mendengarnya saja bikin jengkel? Saya mau marah, sayangnya tidak tahu mau marah kepada siapa. Saya mau lapor supaya bisa ditangkap.  Sayangnya yang dilapor justru kerabat keluarga. Masih muda, kasihan bila dipenjara, mau kerja apa, dan bagaimana nanti nasib keluarganya. Serba kasihanlah.   Mau tidak mau, diselesaikan saja secara kekeluargaan.

 Tetapi  kami masih punya harapan. Bahwa di kampung kami, masih ada pemuda  yang bisa diandalkan. Beruntung kami punya Sumboy dan Kanday yang masih meneruskan tradisi berburu. Rajin di antara pemuda lainnya. Kami merasa terbantukan. Padahal mereka itu bukan anak sekolahan dan kami cukup bangga, bahkan dua anak itu tidak mau menjual daging-daging itu kepada kami. Malah, kebutuhan masak merekalah yang tanggung. Mereka tidak pernah meminta-minta kepada kami kecuali menyisakan kepala hasil buruan.” Asap rokok kembali mengepul di wajahnya yang terlihat menua.

Kopi telah menyisakan ampas. Percakapan usai karena kedatangan seorang yang ditunggu-tunggu. Ia siap mengantar kedua orang itu masuk ke dalam hutan.

“Semoga kalian berjumpa. Semoga membawa buruan yang banyak.” Cetus tetangga dari kejauhan memandang dua tamu asing yang berjaket hitam dan satu warga yang mengantar mereka.
Mereka bertiga pun masuk ke hutan.

***
Sinar matahari memecah di rimbun pepohonan. Sebentar lagi sore menjelang.  Di dalam hutan Sumboy dan Kanday berjalan mengarak hasil perburuan. Babi dan Payau berhasil diikat pada sebilah tongkat panjang. Kepulan asap rokok terbang ke udara. Sebuah tas kecil di pinggang dibuka.

 “Masih ada sisa, nikmatilah. Ini hutan, kita bebas.” Kata Sumboy.  Kanday lalu memasukkan tangannya ke dalam tas itu, mencoba meraih isi yang dimaksud.

Tiba-tiba tas itu ada getaran. Tangan beralih meraba sebuah gawai yang berbunyi. Mereka telah sampai di atas bukit. Pohon-pohon yang besar dan lebat itu terlihat rendah. Sinyal telah masuk.

“Bagaimana?”

“Ada yang sedang kemari.”

“Segera sembunyikan, jangan sampai ketahuan.”

“Tenanglah. Ini hutan.”

“Masalahnya apakah dia pemburu atau bukan?”

“Aku belum tahu. Tapi yang jelas, di hutan hanya ada dua, pemburu dan diburu.”

Dalam batin penuh rasa waspada itu mereka tetap tertawa, menciptakan keriuhan burung di udara.

Zaman memang berubah dan perburuan tetap saja berlaku.

Benarlah. Berburu memang kepuasaan batin.***





Rendy Sipin, pemuda Kalimantan Utara kelahiran 1992 mulai menyukai menulis sejak tahun 2016. Pernah menulis Essay, Naskah Teater, Puisi, dan Cerpen. Sejumlah karya-karyanya lahir di antaranya Empati Solutiflah Kan (Radar Tarakan), Mahasiswa di Hari H Pemilu Kampus (Radar Tarakan), Journey To The West-Myanmar (Radar Tarakan), Senudon-Senudon (Ambau.id) Moyang (Naskah Monolog), Alat Bukti Berdemonstrasi (Qureta.com). Pernah mengikuti pertemuan penulis Se-Kalimantan dan merupakan kordinator sastrawan sembilan kota untuk Kota Tarakan. Penulis sekarang aktif dalam kegiatan sastra dan literasi khususnya di Forum Penulis Kalimantan Utara dan Forum Taman Bacaan Masyarakat Kalimantan Utara.

Comments