LELAKI MISTERIUS DI JEMBATAN SUNGAI DAMA: CERITA PENDEK ENDRY SULSTYO, SAMARINDA



Matahari menyengat angkuh antara pasar hingga Jembatan Sungai Dama. Pun orang-orang masih terlihat sibuk dengan langkahnya masing-masing. Aspal mengelupas mencipta fatamurgana seperti genangan telaga. Penjual masih saja teriak sibuk menjajakan dagangan. Pemandangan lazim. Transaksi tergelar di sepanjang trotoar jalan. Para calo sibuk mengobral jasa laksana pahlawan. Di sudut yang lain, beberapa orang sibuk memungut remah dunia yang tercecer. Opera jalanan di sepanjang jembatan hingga Pasar Sungai Dama. Ratusan bahkan ribuan orang saban hari melintas jembatan. Berangkat atau pulang kerja dari dan ke kota Samarinda. Keriuhan para pedagang yang memadati jalan kian ramai jika malam menjelang.
Dalam dunia siang itu rasanya waktu benar-benar berharga. Time is money. Jembatan Sungai Dama menjadi saksi riuhnya perempatan jalan di sepanjang jalan pasar. Orang-orang bergegas saling mendahului yang lainnya. Bila perlu simpan tegur sapa agar waktu tak segera dihabiskan siang. Transaksi dan negosiasi dikerjakan dengan selugas dan secepat mungkin di pasar. Jembatan Sungai Dama, Samarinda merupakan penghubung antara jalan Pulau Banda dengan Jl Oto Iskandar Dinata. Pun jalan dan jembatan ini merupakan lalu lintas terpadat karena jalur menuju Sambutan, Pulau Atas, dan Anggana hanya melalui jalur ini. Orang pun maklum bila kemacetaan ini terkadang diperparah oleh pedagang kaki lima yang menjamur di sepanjangan Jl Otto Iskandar Dinata.
Konon, Pasar Sungai Dama yang berada di Jalan Otto Iskandardinata dahulunya berdiri di bantaran Sungai Karang Mumus jalan Jelawat Kecamatan Samarind Ilir. Sejak direlokasi ke tempat baru, awalnya  kondisi pasar ini terlihat teratur. Yah, ibarat anak yang dapat mainan baru. Awalnya  si anak akan begitu menyayangi dan merawat mainan itu. Bahkan jika selesai bermain, niscaya mainan itu akan dirapikan kembali ke tempatnya. Segala sesuatu yang baru pasti masih serba terawat oleh sang empunya. Tetapi seiring berjalannya waktu orang pun akan abai akan hal itu. Pasar mulai beraktivitas dari dini hari hingga malam. Bermacam pedagang menjual kebutuhan sandang dan pangan, mulai sayuran, pakaian, berbagai ikan, telur, daging, kue tradisional, buah-buahan, ada pula pedagang emas dan mainan anak.
Namun di pinggir Samarinda ini justru aku menemukan kegetiran. Siang di kota ini panasnya sudah dimaklumi setara dengan di ibukota. Kota yang berada di equator bumi ini adalah salah satu kota di pulau Kalimantan yang dilalui khatulistiwa. Panasnya Kalimantan yang kian garang karena hutannya kian jarang. Namun teriknya matahari siang itu tak cukup untuk sekedar menghentikan laju orang-orang yang tergesa. Langkah-langkah yang lebih deras dari aliran Sungai Dama menuju Sungai Mahakam yang perkasa. Deru lalu lalang kendaraan, teriakan pada pedagang pasar, sesekali bercampur mesin perahu yang hilir mudik menjadi simponi tanpa notasi. Mungkin Mozart atau Kitaro sekalipun mustahil mencipta musik kehidupan yang bangsat namun indah ini.
Ini bukanlah Jakarta di mana panasnya bisa diredam dengan nyala AC, kipas angin, atau krim pelembab. Beruntung beberapa kios atau toko di pasar memasang AC atau kipas angin sebagai penghela panas. Namun seringkali AC dan kipas angin menjadi tak berguna tatkala listrik padam. Masyarakat sudah maklum, bahwa di sini mati listrik adalah keniscayaan. Meskipun menyandang status sebagai ibukota provinsi Kalimantan Timur, Samarinda dan sekitarnya harus terima bila listrik mati dadakan. Bukan mati selama hitungan menit, bisa berjam-jam bahkan. Alibi yang paling mungkin untuk meredam gusar masyarakat adalah alasan perbaikan gardu jaringan. Sudahlah, nikmati saja hidup. Toh kehidupan di sini sekarang bukan lagi rimbunan hutan meski ganasnya kehidupan pelan-pelan lebih kejam dari belantara. 
Aku sangat maklum jika kegetiran ini terjadi di Jakarta. Di Jakarta orang terbiasa bergegas mengejar waktu. Terjebak kemacetan dan hingar-bingar dunia metropolitan. Berangkat gelap pulang pun sudah gelap. Alasan sederhana yang mungkin diimpikan bagi sebagian orang. Kepindahan dari kantor Jakarta ke Samarinda 6 bulan yang lalu kuterima karena selain uang yang lebih banyak ditawarkan, aku pun ingin lepas dari kehidupan Jakarta yang kian sesak.
“Selamat, Wir atas promosi dan naik jabatannya. Selamat bekerja di kantor yang baru ya”, ucapan Tyo rekan kerjaku di Jakarta waktu itu.
“Kamu yakin akan kepindahanku ke Kalimantan, Yo?”, tanyaku ragu. 
“Lha mau bagimana lagi. Ini kan konsekuensi dan tuntutan pekerjaan dari kenaikan jabatan yang kamu dapatkan?”
“Tapi aku belum tahu keadaan di Kalimantan nih?” Bagaimana dengan akses dan fasilitasnya?”, kataku ragu.
“Tawaran dari Bos sungguh menarik. Dengan gaji lebih besar dari di Jakarta, kamu pun punya peluang karier lebih besar di sana.”
“Kamu yakin aku bisa, Yo?”, ucapku mencoba meyakinkan diri sendiri.
 Dan keputusan yang kuambil tidak bisa ditarik ulang. Berangkatlah aku dari Jakarta ke Samarinda. Kantor cabang yang kutempati berada di kawasan Citra Niaga Samarinda. Kala itu Si Bos di Jakarta pun turut meyakinkanku dengan menyatakan bahwa Citra Niaga adalah pusat kemajuan kota Samarinda. Pusat bisnis kelas dunia katanya.
“Citra Niaga tak jauh berbeda dengan Jakarta, kok”, ujar Si Bos meyakinkan.
“Benarkah? Kenapa bisa begitu, Pak?, tanyaku penasaran.
“Kamu jangan salah kira dengan kantor cabang kita di Samarinda. Kantor di sana berada di pusat kota. Kawasan Citra Niaga Samarinda pernah menyabet penghargaan bergengsi di tingkat internasional. Pusat perbelanjaan itu terpilih sebagai satu dari 11 bangunan dunia yang meraih Aga Khan Award for Architecture putaran keempat pada 1989. Walikota Waris Husain kala itu menerima penghargaan tersebut di Kairo”, ucapnya meyakinkan.
Wow! Ini jelas tawaran yang sungguh menarik dan menjanjikan. Tetapi apa nyana. Kenyataan yang kutemukan sungguh berbeda. Kawasan Citra Niaga yang kutemukan adalah pusat bisnis yang mulai tenggelam kejayaannya. Dari mulut orang-orang, kejayaan Citra Niaga sudah surut sejak awal tahun 2000-an. Pamor Citra Niaga mulai luntur dikalahkan oleh mal-mal baru yang lebih modern di penjuru Samarinda. Kini yang kutemukan hanyalah kawasan dagang di mana banyak pusat pertokoan dan hiburannya mulai lengang. Beberapa gedung malah tampak kusam. Bila malam kawasan Citra Niaga justru menjelma menjadi kawasan yang remang.
Menyesal rasanya sudah terlambat. Namun kecewa yang dalam justru kurasakan ketika ada rahasia di balik kepindahanku dari Jakarta ke Samarinda mulai terbongkar. Ini adalah muslihat yang direncanakan. Tyo ternyata yang memasang perangkap. Ia justru yang paling awal merekomendasikan kepada Si Bos agar aku dipindahtugaskan ke Samarinda. Dia rupanya telah lama mengicar posisiku di kantor Jakarta. Uang dan jabatan seringkali menjadi pengerat tali persahabatan.  Benar kata orang, musuh paling berbahaya adalah kawan seiring sejalan. Tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Toh sekarang aku sudah berada di kota ini. Nikmati sajalah.
Hari-hari kulalui layaknya perahu ketinting yang hilir mudik di Sungai Dama dengan pasang surutnya. Semuanya mengalir begitu saja. Namun entah datangnya dari mana, beberapa bulan ini ada yang menarik perhatianku. Ada pemandangan yang berbeda di atas Jembatan Sungai Dama. Saban siang muncul sesosok lelaki yang duduk bersila di pinggir Jembatan Sungai Dama. Seorang lelaki yang duduk acuh dengan sekelilingnya. Entah sejak kapan lelaki tua itu gemar duduk di atas Jembatan Sungai Dama. Tak ada yang bisa menjelaskan. Toh bagi kebanyakan orang, tak ada perlunya untuk tahu. Orang-orang bahkan menganggapnya lelaki gila yang kurang kerjaan. Mana ada orang waras yang duduk seharian dan baru beranjak ketika malam menjelang.
Tak peduli. Saban hari dihabiskannya waktu dengan duduk di tengah jembatan yang seolah menjadi saksi penghubung dunia kota dan pedesaan. Antara gegap Samarinda dan Sambutan. Orang-orang tak peduli. Sibuk lalu lalang. Lelaki tua dengan rompi dan penutup kepala masih terpekur dalam dunia sendirinya bahkan hingga malam tiba. Ia seolah menunggu sesuatu. Tak ditengoknya kedalaman Sungai Dama yang tak lagi menyimpan cerita akan ikan pesut kebanggaan budaya leluhur. Ia seolah sadar, bahwa pesut-pesut itu telah lama menjelma patung atau hiasan lampu-lampu kota.
Aku awalnya tak terlalu peduli dengan lelaki yang setia duduk di Jembatan Sungai Dama ini. Pagiku tak pernah terganggu. Jam 06.00 aku sudah berangkat ke kota Samarinda. Selepas Pasar Dama, sebelum jembatan, aku sudah membelokkan motor ke arah selatan sehingga tak melintas ke arah jembatan yang memang terdapat rambu larangan bagi kendaraan dari timur untuk melintasi jembatan ke arah barat. Awalnya soreku juga biasa saja. Lazim seperti orang lainnya yang bergegas pulang kerja menuju Sambutan melintasi Jembatan Sungai Dama. Sore hari Jembatan Sungai Dama selalu sesak dengan kemacetan. Volume kendaraan yang melintas bergegas terhambat oleh sesak penghuni pasar di ujung timur jembatan. Kondisi inilah yang membuatku tanpa sengaja jadi memperhatikan lelaki tua yang duduk bersila, khusuk dengan dirinya sendiri di atas Jembatan Sungai Dama.
Orang lain sudah menganggap keberadaan lelaki di Jembatan Sungai Dama itu sebagai orang gila. Awalnya banyak orang yang menganggap lelaki itu adalah pengemis yang sengaja mangkal di jembatan. Beberapa orang bahkan pernah melemparkan uang sebagai derma di tengah kemacetan.
“Aku bukan pengemis. Aku tak butuh uang kalian!”, teriak lelaki itu sambil melemparkan kembali uang kepada si pemberi.
Orang-orang pun gusar bercampur marah melihat kelakuannya. Semenjak itu orang pun enggan memberi uang kepadanya. Orang-orang sudah menganggap lelaki itu adalah gila. Percuma berurusan dengan orang gila. Semenjak itu pula tak ada warga yang peduli. Dibiarkan saja lelaki itu berbuat semaunya. Toh, lelaki itu tak menggangu para pelintas jalan. Keberadaannya sudah dianggap semisal debu yang nyempil di pelupuk mata. Hanya sekedar mengganggu pemandangan.
Seiring berjalannya waktu, keberadaan lelaki itu mulai mengusik pikiranku. Pernah suatu kali, di Jumat siang, di jam istirahat kerja selepas salat, sengaja aku berniat menuntaskan penasaran. Akan kusambangi lelaki yang berada di Jembatan Sungai Dama. Sebelum tiba di Jembatan Sungai Dama, sengaja aku mampir ke salah satu warung penjual nasi kuning. Selesai makan. aku memesan 1 bungkus nasi dan teh tawar hangat. Ini adalah strategi yang sengaja kusiapkan untuk bisa berbincang dengan lelaki itu. Dari kantor di kawasan Citra Niaga kupacu motor menuju Jembatan Sungai Dama.
Motor kuparkirkan di depan sebuah toko obat dekat simpangan karena tidak mungkin motor kuparkir di atas jembatan. Dari jauh kulihat lelaki itu tengah duduk bersila sambil memejamkan mata. Sesekali mulutnya bergerak seolah merapal mantra meredam terik siang Samarinda.
  “Selamat siang, Pak,” sapaku sambil tangan menutup mata menghalangi silau matahari dan debu yang berhamburan.
Lelaki itu bergeming. Tak ada suara. Matanya masih saja terpejam. Hanya telingannya yang sedikit bergerak ketika sapaanku memasuki gendang telinganya.
“Maaf, kalau mengganggu. Saya kemari hanya ingin memberikan ini untuk Bapak.”
Kusodorkan bungkusan nasi dan teh hangat yang tadi kubeli.
Lelaki itu masih saja bergeming.
“Ini hanya sekedar nasi bungkus dan teh untuk makan siang, Bapak”, ujarku sesabar mungkin.
Kutunggu beberapa saat. Hasilnya sama saja.  Tak ada reaksi seperti yang kuharapkan. Lelaki itu tetap bergeming. “Bangsat!, rutukku dalam hati. Ubun-ubun kepalaku kian panas oleh sengat matahari dan sikap lelaki itu. Sebelum kemarahanku semakin menjadi, kutaruh bungkus nasi dan teh itu di sampingnya.
“Terima kasih”, kudengar sayup-sayup suara keluar dari mulut lelaki itu ditimpa deru truk yang melintasi jembatan membawa kayu ulin. Aku pun beranjak menuju tempat parkir  motor. Bersegera kembali ke kantor.
Sial. Kegilaan yang lebih besar justru melanda diriku. Saban hari pikiranku tak pernah lepas memikirkan lelaki itu. Mengapa dia duduk di Jembatan Sungai Dama? Mengapa ia mau bertahan di jembatan di tengah sengatan terik matahari dan desingan kemacetan bercampur debu? Mengapa tak ada orang yang atas keberadaannya? Sudahkah orang-orang abai atas diri orang lain karena terlalu sibuk dengan aktivitasnya? Mengapa pula aku yang justru risau atas keberadaannya? Bahkan kegilaanku semakin tak terbendung. Meski selalu saja diacuhkan, aku tetap saja memberikan makan dan minum di setiap hari Jumat. Yah, itung-itung beramal pikirku.
Entah sudah berapa kali Jumat kulalui dengan memberinya nasi bungkus. Ini Jumat terakhir di bulan Desember. Bulan di penghujung pergantian tahun. Sama seperti Jumat yang lalu-lalu, siang ini aku berniat menyambangi lelaki yang duduk di atas Jembatan Sungai Dama. Jumat ini juga hari terakhir kantor beraktivitas. Semua karyawan mendapatkan cuti akhir tahun selama seminggu. Hanya secutity yang tidak libur. Mereka bergantian shift untuk menjaga kantor. Jumat di akhir tahun ini kuputuskan menjadi kunjungan terakhir ke lelaki di Jembatan Sunga Dama. Meski telah berulangkali menyambangi dan memberinya makan, aku masih mendapatkan informasi apapun darinya. Sekedar nama pun tak kudapatkan. Lelaki itu masih saja diam tak pernah membuka pembicaraan. Aku pun tak lagi peduli dengan ucapan terima kasihnya yang terlontar setiap kali nasi kuberikan. Jika ia tak hendak bicara, untuk apa pula aku harus memaksa.
Selepas salat Jumat kupacu motor menuju jembatan Sungai Dama. Seperti biasanya motor kuparkirkan di depan sebuah toko obat dekat simpangan. Aku pun lantas berjalan ke arah jembatan. Dari jauh tak kulihat lelaki yang biasanya duduk bersila di sisi jembatan. Sambil berjalan ke arah jembatan, mataku tak lepas menyisir semua sudut jalan dan jembatan untuk mencari keberadaannya. Sesampainya di tempat lelaki itu biasa duduk, tak kujumpai apapun. Potongan kardus yang biasa dipakainya sebagai alas duduk tak kujumpai. Aku seperti orang linglung di atas jembatan. Pandangan kuedarkan ke segala arah sejauh mungkin. Kutengoh ke bawah Jembatan Sunga Dama di kedua sisinya. Sama saja hasilnya. Lelaki itu tetap tak ada. Lenyap tanpa bekas.
Orang-orang yang melintas, mulai memperhatikan tingkah lakuku yang terlihat lingung. Beberapa pengendara sengaja melambatkan laju kelandaraannya hanya untuk melihatku yang kebingungan. Beberapa pedagang yang sering melihatku memberi makan lelaki itu, tampak hanya menggeleng-gelengkan kepala di kejauhan. Putus asa mencari keberadaannya, nelangsa kupandangi riap Sungai Dama yang surut airnya, mengalir pelan menuju hilir Mahakam.
“Mas, ada titipan nih”, suara seorang lelaki disertai tepukan halus di pundakku.
Kubalikkan badan memandang orang yang berdiri tepat di belakangku. Wajahnya tak asing. Ya, dia adalah tukang parkir di depan toko obat yang sering kutitipi motor saat menemui lelaki misterius di Jembatan Sunga Dama.
“Lha kok malah bengong. Ini ada titipan untuk, Mas”, ujarnya sambil menyodorkan sebuah topi dan sebuah bungkusan koran.
“Dari siapa ini, Pak?, tanyaku penasaran.
“Dari orang yang sering kamu temui setiap Jumat di Jembatan Sungai Dama.
“Lantas, di mana lelaki itu sekarang, Pak?”
“Entahlah. Pagi tadi ia datang ke parkiran lalu titip barang ini. Pesannya, seraung dan bungkusan ini harus disampaikan kepadamu”, katanya sambil menyodorkan sebuah topi yang sering kulihat dipakai lelaki itu.
Kuterima topi itu dengan rasa penasaran hebat. Aku baru tahu ternyata tutup kepala yang selama ini dipakai lelaki itu namanya seraung.
“Terima kasih, Pak. Lantas, apa yang dikatakan lelaki itu?”
“Tidak ada. Dia tidak berucap apapun kecuali hanya berpesan agar aku menyampaikan seraung dan bungkusan ini kepadamu. Dia berucap pamit tak akan lagi ada di Jembatan Sungai Dama. Sudah ya, Mas. Aku harus kembali ke parkiran lagi. Jam segini, parkiran sedang ramai-ramainya”, lanjut tukang parkir itu sambil berlalu menuju ke depan toko obat  tempat biasa ia mangkal. 
Aku masih tidak mengerti mengapa lelaki itu memberikan seraung yang selama ini ia pakai. Lantas apakah isi bungkusan ini? Segera kubuka bungkusan koran itu. Sebuah pahatan patung dari kayu ulin berwujud burung enggang. Di bawah burung tersebut tampak sebuah tulisan Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata.
Aku masih berdiri di Jembatan Sungai Dama mengeja peristiwa yang terjadi siang ini. Mengingat kembali semua pertemuan dengan lelaki misterius di Jembatan Sungai Dama. Tak kupedulikan sekitar. Orang-orang melintas dengan tergesa. Beberapa kali kuseka keringat yang mengalir deras menganak sungai di seluruh tubuh. Kulihat ke langit, terlihat matahari begitu dekat dari Jembatan Sungai Dama. Siang itu, di musim penghujan bulan Desember aku merasa Jembatan Sungai Dama lebih terik dari biasanya. 

Sambutan, akhir 2018



BIODATA PENULIS


Penulis adalah penyintas sastra. Alumni Sastra Indonesia Universitas Neger Yogyakarta. Aktif di berbagai komunitas di Yogyakarta. Hijrah ke Jakarta pada tahun 2005. Mendirikan sekaligus menjadi pegiat di Komunitas SahabatSimpul Jakarta hingga sekarang.
Baru hijrah ke Samarinda Kalimantan Timur dan bergabung dengan Jaring Penulis Kaltim (JPK) sebagai anggota baru.






Sumner gambar: dreams time

Comments

  1. Ke sambutan sama anggana bisa lewat jembatan mahkota

    ReplyDelete
  2. Terima kasih atas masukannya. Tabik..

    ReplyDelete

Post a Comment