SASTRA DAN POLITIK




SASTRA DAN POLITIK| saya coba melihat hubungan sastra dan politik dalam kacamata awam. dalam kaitan ini, sangat mungkin pelihatan ini menjadi tampak sederhana, atau malah klise.

sastra adalah dunia suci. Dan politik adalah dunia kotor. Sastra sebaiknya tak disusupi politik, apalagi menjadi ajang rebut kepentingan dan alat propaganda politik. Sastra yang ditunggangi politik tak ubahnya pamflet, banner, brosur dan mimbar kampanye politik. sastra, dan karya sastra menjadi keruh. Kehilangan elan vitalnya sebagai penjaga jargon suci yang berbunyi "bila politik bengkok, sastra akan meluruskannya."
sastra menolak diri dari kooptasi politik dalam makna dan maksud apapun. segala yang berbau politik sebaiknya tak menyusup sembunyi-sembunyi atau mencengkeram terang-terangan terhadap sastra yang jiwanya lembut dan halus.

politik adalah dunia unik. Keras, berwibawa dan terhormat. Sebaiknya sastra tidak masuk wilayah politik. Sastra hanya akan merusak marwah politik. Terlebih sastra dan karya sastra digunakan dalam politik. Digunakam untuk meramal, merumuskan atau bahkan dikutip dalam proses perumusan beragam kebijakan politik. politik is politik. Dan sastra is sastra. politik adalah tugas kebangsaan dan kenegaraan. Sedangkan sastra adalah peran khayali. Politisi berkumpul merumuskan nasib bangsa ke depan. Sedangkan sastra dan para sastrawan hanya mengajak bangsa terjebak dalam imajinasi tak berkesudahan.


Sastra bisa saja masuk ke ranah politik. Sastra bisa menjadi bacaan penting bagi para perumus kebijakan, baik sebagai bahan material atau bacaan di kala senggang daripada ngantuk saat sidang. Sastra dapat membantu para politisi memahami banyak persoalan. Terkhusus suara hati masyarakat yang tak terekam dan tak tersuarakan. Politisi bisa memahami bahwa bila jurnalisme dibungkam, sastra akan bersuara.
Sastra dapat digunakan sebagai cara mendidik masyarakat. Menanamkan nilai-nilai kebangsaan, cinta tanah air dan bahkan meramal nasib masa depan. sastra juga dapat dibacakan oleh para politisi di hadapan jamaah politik masing-masing, dengan tujuan politik. Sastra mendekatkan politisi dengan konstituen. Sastra menjadi agen oposisi yang efektif. Sastra menjadi mimbar propaganda yang menggetarkan. Lisan maupun tulisan.
Sastra menjadi vitamin penambah daya dobrak dan daya gerak politik lebih berwibawa, lebih elegan dan lebih menarik dinikmati sebagai hiburan.
Sastra yang suci mewarnai politik yang dianggap kotor. Sastra sebagai warna baik masuk wilayah politik yang dianggap berdebu. Sastra masuk politik dan menyapu sampah politik. Sastra masuk politik dan menyeka debu politik. Hingga kaca politik menjadi bening. Ruang politik menjadi lebih mewangi.

Politik masuk sastra dengan semangat rendah hati. Sebab sastra disentuh dengan cara keras ia akan patah. Disentuh dengan cara halus ia bisa sensitif. politik memberi warna sastra agar menjadi lebih berisi, lebih bervariasi, lebih memberi sentuhan "faktual". Sebab meski fiksi, sastra harus "faktual". Sastra tak bisa hanya berisi lamunan semata. Khayalan belaka. Orang mules jiwanya, lalu minum tuak dan mendadak memuntahkan kata-kata. Politik akan mendorong sastra lebih mampu menelisik, menyusup, subversif, melawan, memberontak, dan sastra tak berada di awang-awang langit ketujuh entah di mana. bahasa indah, metafor, kiasan, bungabunga menjadi berpijak di bumi, bukan indah dalam lukisan-lukisan kalender.
Para politisi menyapa penyair lahir dan batinnya. Politik menyediakan ruang yang cukup bagi sastra untuk menentukan arah bangsa. Politik sedia pasang badan bagi sastra yang rentan. Yang perjalanannya kerap disandera rasa sakit dan kesunyian. Politik menjadi amunisi, logistik dan sekaligus suaka bagi sastra.

Bisa juga, sastra tidak perlu ada, demikian juga politik tak perlu menjadi dewa. Mungkin saja keduanya hanyalah cara manusia sekadar merekareka, bahwa kehidupan akan segera punah, musnah atau malah kiamat bila manusia tak kenal sastra dan politik.

kita tak harus menerima sepenuhnya pandangan tersebut, meski tak harus pula sepenuhnya menolak sebagian atau keseluruhannya, bukan?


MUHAMMAD THOBRONI, tinggal di Tarakan. Menulis buku puisi "Sei Kayan" (2017) dan Buku Cerpen "Ustadz Misterius" (2018)




(gambar tak ada hubungannya secara langsung dengan isi coretan :D)

Comments