SURVEI LSI: PEMBACA SASTRA CENDERUNG LEBIH BEREMPATI



Denny JA

Kurikulum sekolah sebaiknya lebih banyak mendorong siswa membaca sastra. Anak anak diajak membaca sastra sejak usia dini.

Itulah kesimpulan yang muncul di benak saya ketika membaca survei LSI (Lingkaran Survei Indonesia, Akhir Tahun Desember 2017). Ini survei kedua yang dilakukan LSI untuk semua populasi indonesia, dari Aceh hingga Papua (34 wilayah), yang diselipkan pertanyaan soal sastra.

Survei dilakukan untuk 1200 responden. Populasi adalah publik dewasa (di atas 17 tahun), yang dipilih berdasarkan metode multi stage random sampling. Eksplorasi responden melalui wawancara tatap muka. Survei dikerjakan di seluruh wilayah, 34 provinsi, dari Aceh hingga Papua, dari Sabang hingga Marauke. Margin of error riset sebesar plus minus 2,8 persen.

Akurasi data survei cukup tinggi. Metode survei sama yang dilakukan LSI, misalnya, berhasil memprediksi SBY menang satu putaran saja (dipublikasi sebulan sebelum pilpres 2009). Metode yang sama juga, survei LSI berhasil memprediksi Ahok akan kalah di pilkada DKI 2017 (dipublikasi seminggu sebelum pilkada DKI 2017).

Data menunjukkan, mereka yang membaca sastra cenderung lebih ingin terlibat dalam kegiatan sosial dibanding yang tak membaca sastra (65,7 persen versus 48,5 persen). Mereka yang membaca sastra lebih cenderung ingin berderma untuk lingkungannya (86.5 persen versus 67.7 persen).

-000-

Temuan LSI ini sejalan dengan riset yang dilakukan banyak lembaga internasional. New School of New York City misalnya di tahun 2013 menghasilkan kesimpulan sejenis. Mereka yang membaca sasta cenderung lebih bisa berempati merasakan pikiran dan perasaan orang lain.

Psikolog Sosial, Emanuele Castano bersama David Kidd melakukan lima riset wawancara mendalam dan eksperimen. Responden mereka beragam antara 86- 356. Riset mereka bahkan lebih detail dan menyimpulkan aneka jenis bacaan yang ternyata menghasilkan efek empati yang berbeda.

Untuk sastra yang mendalam, mengkisahkan konflik psikologi tokoh utama  dan renungan, apalagi yang berhasil menggugah emosi dan kesadaran baru pembaca, memberikan efek signifikan pada kemampuan empati. Tapi untuk bacaan popular dan dangkal saja, walau kisahnya menarik, efeknya pada empati pembaca cenderung tidak signifikan.

Dalam riset itu, peneliti menggunakan novel the Round House karya Louise Erdrich mewakili genre sastra yang menggali kedalam psikogi. Satu lagi novel the Sins of the Mother karya Daniel Steele yang merupakan novel pop biasa.

Riset dari Castano dan Kidd memberi informasi tambahan. Yang membedakan efek pada empati pembaca tak hanya kegiatan membaca versus tak membaca. Perbedaan efek pada empati ditentukan juga oleh mutu kedalam batin bacaan itu.

Karya bernilai sastra acapkali dilabelkan kepada bacaan yang berhasil menggali kedalaman karakter tokoh dibandingkan bacaan populer biasa.

-000-

Temuan kedua yang penting dari LSI desember 2017 mengkonfirmasi temuan riset LSI sebelumnya (Okt/Nov 2017). Penduduk Indonesia yang membaca sastra hanya 6,2 persen saja. Dari yang mengklaim membaca sastra itu, ketika ditest lebih jauh nama pengarang atau judul buku yang dibaca, ternyata hanya 46,8 persen yang ingat.

Jika digabung dua data itu, pembaca sastra Indonesia yang ingat judul buku yang dibaca atau nama penulisnya, hanya 46,8 persen dikali 6,2 persen, sekitar 3 persen saja.

Marilah buka mata. Inilah realitas Indonesia. Dari Aceh hingga Papua, yang membaca satra dan ingat pengarang atau judul buku hanya 3 persen saja. Bunyi pertanyaan riset: apakah ibu/bapak dalam setahun terakhir ini membaca setidaknya satu buku sastra (novel, puisi, cerpen, drama)? Apakah ibu/bapak ingat judul buku dan/atau pengarang buku sastra yang dibaca?

Angka 6,2 persen itu prosentase rata rata populasi nasional. Jika data itu dibreakdown kita mendapatkan gambaran lebih detail lagi.

Mereka yang pendidikannya universitas ke atas, ternyata 21, 1 persen pernah membaca sastra. Satu dari lima populasi yang pernah kuliah  membaca sastra. Tapi total populasi Indonesia yang pernah merasakan bangku universitas/akademi hanya 7,1 persen saja.

Mereka yang pendidikan tertingginya SMA/SMU, 10,2 persen pernah membaca sastra. Satu dari sepuluh yang pernah mengecap pendidikan SMA/SMU sebagai pendidikan tertinggi pernah membaca sastra. Segmen ini sebanyak 27,4 persen dari penduduk Indonesia.

Mereka yang pendidikan tertingginya SMP, 4,7 persen pernah membaca sastra. Artinya yang 1 dari 20 warga Indonesia yang pendidikan tertingginya itu hanya SMP pernah membaca sastra. Jumlah segmen ini, yang pendidikan tertingginya SMP, hanya  21,5 persen dari populasi Indonesia.

Mayoritas populasi Indonesia mereka yang pendidikan tertingginya hanya SD belaka. Total segmen ini sebanyak 44 persen dari populasi Indonesia. Mereka yang hanya tamat SD, sebanyak hanya 2 persen saja yang pernah membaca sastra. Artinya hanya 1 dari 50 warga yang pendidikan tertingginya hanya SD pernah membaca sastra.

Dari data itu, tingkat pendidikan sangat menentukan pernah atau tak pernah membaca sastra. Yang pendidikan tertingginya mahasiswa sampai SD, klaim pernah membaca sastra berbeda signifikan dari angka 21, 1 persen hingga 2 persen saja.

Variabel lain yang signifikan adalah tingkat pendapatan. Mereka yang penghasilannya di atas 2 juta rupiah sebulan, 8,2 persen membaca sastra. Yang penghasilannya di atas 1 juta per bulan, 7 persen membaca sastra. Tapi yang penghasilannya hanya di bawah 1 juta sebulan, hanya 3,3 persen yang membaca sastra. Lebih besar penghasilan seseorang, cenderung ia lebih leluasa untuk membaca sastra.

Di luar variabel pendidikan dan penghasilan, variabel lain tidak signifikan menentukan apakah warga membaca sastra. Tidak variabel gender (laki, perempuan), agama, etnik. Tidak pula variabel teritori/ pulau (sumatra hingga Papua).

Jika di prosentase populasi di Papua lebih sedikit membaca sastra dibandingkan yang tinggal di Jakarta, itu bukan karena Papuanya. Tapi di pulau itu, jumlah warga yang pendidikan tertingginya universitas dan penghasilannya di atas 2 juta sebulan, juga lebih sedikit dibanding populasi Jakarta.

-000-

Riset menunjukkan mereka yang membaca sastra cenderung lebih bisa berempati, lebih ingin terlibat kegiatan sosial. Membaca sastra adalah sesuatu yang signifikan dalam membangun karakter manusia,  komunitas dan peradaban.

Sayangnya hanya 6, 2 persen warga Indonesia membaca sastra. Di Amerika Serikat sebagai perbandingan, di atas 43 persen warga membaca sastra.

Bagaimana cara menggalakan warga membaca sastra? Tak lain dan tak bukan, yang paling efektif melalui kurikulum sekolah. Saatnya dibangkitkan gerakan literasi nasional. Dalam gerakan itu murid diberi semangat dan tugas untuk membaca sastra.

Ujar C.S Lewis: Sastra tak hanya menggambarkan realitas, tapi ia memperkaya. Ibarat realita itu padang pasir, sastra menghadirkan aliran air di sekitarnya.

Riset LSI membenarkan kutipan C.S Lewis itu. Dalam padang pasir jiwa manusia, sastra memberinya sungai.****


Jan 2018


Link: https://t.co/Nivc6c7y9T



(ilustrasi EOSTUDENTS BLOGGER/ yuk ke bagian bawah blog dan klik iklannya untuk setiap informasi berharga dan mencerahkan)

Comments