PUISI ESAI: CATATAN UNTUK CATATAN EIMOND ESYA



Saya tertarik membaca dan mengomentari catatan Eimond Esya tentang puisi esai.  Saya sejatinya tidak datang dalam posisi membela dan menolak dalam kasus kehadiran puisi esai  di collogeum sastra kita. Puisi esai buat saya adalah  genre baru dalam dunia sastra terutama di Indonesia.

 Saya menganggap bahwa sastra itu sama dengan disiplin ilmu sosial lainnya yang karakternya dinamis, tidak final, tidak statis, dan berorganisme sebagaimana makhluk hidup. Apa yang ditawarkan oleh Denny J.A adalah sebuah keniscayaan dimana  kita para penikmat dan pelaku sastra tidak dapat menolaknya.

Puisi esai adalah realitas yang  sebenarnya tidak baru tapi sudah lama ada di lingkungan sastra tapi kita tidak merasakan kehadirannya.

Kehadiran puisi esai buat saya mirip seperti petani desa di era Soeharto terkait dengan program penyebaran pupuk kimia urea yang pada tahun 80an awal  belum dikenal di dalam masyarakat tani tradisional Indonesia. Awalnya para petani menolak mati-matian pupuk kimia dari pemerintah tersebut, karena mereka pada saat itu telah terbiasa dengan pupuk kandang atau kompos. Penolakan itu juga karena tersebar berita bahwa  pupuk itu adalah racun dan berbahaya bagi kesehatan, walaupun apa yang  dipikirkan petani itu benar namun penyebaran pupuk oleh pemerintah itu punya alasan dan cita-cita kuat  yaitu untuk menggenjot pertanian dalam  mengejar program swasembada beras.

Setelah melalui proses bertahun tahun  petani akhirnya menyerah dan terpaksa menggunakan pupuk itu, uniknya setelah para petani  menggunakan pupuk tersebut justru ada kecanduan di kalangan petani untuk menggunakan pupuk secara terus menerus karena dianggap praktis   praktis tersebut sebagaimana  saat menggunakan pupuk kandang. Keasyikan petani menggunakan  pupuk kimia akhirnya melupakan pupuk kandang.

Demikian halnya kehadiran puisi esai di gelanggang sastrawan Indonesia ini saya pikir plotnya sama namun tema cerita yang berbeda. Mungkin saja pada saat sekarang kita menolak kehadiran puisi esai  mentah-mentah atau bahkan berdarah darah tapi suatu saat nanti puisi esai akan diterima bahkan mungkin melupakan puisi-puisi lama yang dianggap tidak lagi praktis baik dalam proses penciptaannya maupun dalam penafsiran maknanya.

Intinya bahwa kehadiran puisi  adalah sebuah realitas dan keniscayaan.

Imam Qalyubi/Daun Lontar Yogyakarta


(ilustrasi education seattle PI/ yuk ke bagian bawah blog dan klik iklannya untuk setiap informasi berharga dan mencerahkan)

Comments