PEMBAHARUAN PUISI DAN ESTETIKA-NYA (KASUS PUISI ESAI DENNY JA: CATATAN SASTRA TAHUN BARU 2018



Oleh Narudin


Menyambut tahun 2018, percakapan publik diwarnai pembaruan di aneka bidang. Di bidang ekonomi, misalnya, bisnis online semakin mewarnai cara baru transaksi.

Bagaimana dengan dunia sastra? Ketika di bidang lain, catatan akhir tahun atau awal tahun diberikan, sastra layak pula memiliki catatan. Dengan catatan itu, peminat sastra ataupun kalangan publik luas memiliki referensi untuk eksplorasi lanjut.

Dari aneka peristiwa, debat di sosial media dan berita soal sastra Indonesia, pro dan kontra puisi esai dan kiprah Denny JA dalam sastra tetap yang unik untuk di-review. Kiprah Denny JA itu bukan saja membawa sesuatu yang baru dalam menulis puisi. Ia juga memasukkan entrepreneurship, marketing, dan membawa puisi ke tengah gelanggang.

Tahun 2017, misalnya, diwarnai oleh event yang mungkin tak pernah terjadi dalam dunia puisi sebelumnya. Sebuah puisi dibacakan oleh panglima TNI dalam event politik besar, seperti Rapimnas Partai Golkar.

Peristiwa ini menjadi berita nasional dan talk show TV berhari-hari. Bukan saja tak biasa panglima TNI menjadikan puisi sebagai bagian public discourse-nya. Tetapi, isi puisi yang berupa kritik zaman ini, “Tapi Bukan Kami Punya” memancing perdebatan melampaui dunia sastra: apakah ekonomi kita sudah di jalan yang benar.

Wow! Sebuah puisi ikut memancing perdebatan sosial.

Catatan awal tahun soal sastra, ingin mengeksplorasi kiprah Denny JA dalam sastra itu.

Berbincang mengenai pembaharuan dan estetika puisi esai Denny JA—seperti telah diuraikan secara detail, sensitif, objektif, reaktif-intelektual dalam buku Membawa Puisi ke Tengah Gelanggang: Jejak dan Karya Denny JA (2017) karya saya, Narudin [1]—maka harus mulai dari kontribusi Denny JA dalam puisi Indonesia. Sesudah itu, barulah diperiksa secara sahih pencapaian estetika Denny JA dalam buku puisi esainya secara representatif.

Kontribusi Denny JA dalam Puisi Indonesia

Seorang pakar sastra Indonesia asal Belanda, Prof. A. Teeuw, sangat mahir membahas sejarah sastra Indonesia, termasuk menyangkut sejarah puisi Indonesia dan para penyair pentingnya. [2] Amir Hamzah dikatakan telah membawa zaman Melayu kepada penutupnya yang agung—bagi zaman Indonesia muda. Bahkan secara hiperbolis, Amir Hamzah, seru H.B. Jassin (1962), merupakan raja penyair Pujangga Baru. Saat mengomentari karya Amir Hamzah, Nyanyi Sunyi, Chairil Anwar pun memberikan pujiannya dengan kata-kata… selain oleh “kemerdekaan penyair” (poetic license) memberi gaya baru pada bahasa Indonesia, kalimat-kalimat yang padat dalam seruannya, tajam dalam kependekannya.

Susunan kata-kata Amir bisa dikatakan destructive (merusak) terhadap bahasa lama, tetapi sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru. [3]

Para penyair Pujangga Baru yang digawangi oleh orang yang berdedikasi tinggi, yaitu Sutan Takdir Alisjahbana, dengan konsep estetika-nya tetap saja belum dapat menghapus ciri tradisional atau bayang-bayang semangat pantun dan syair dalam puisi-puisi para penyair Pujangga Baru.

Baru pada saat kehadiran Chairil Anwar yang revolusioner-lah dialek Melayu ditentang habis-habisan—ya, Chairil Anwar anti-dialek Melayu pada hakikatnya—merupakan terobosan baru bagi perkembangan bahasa Indonesia yang lebih mapan kendatipun kekakuan-kekakuan atau pemadatan-pemadatan sintaksis masih pula ditemukan dalam beberapa puisi awal Chairil Anwar.

Bahasa Chairil Anwar tidak berbunga-bunga lagi ala kaum romantikus Pujangga Baru. Bahasa Chairil Anwar ialah bahasa komunikasi sehari-hari yang disiasati dengan tenaga kata—fungsi puitik yang cenderung canggih pada waktu itu sedemikian rupa sehingga puisi-puisi Chairil Anwar sampai detik ini masih terus-menerus dibicarakan oleh pelbagai tokoh sastra.

Kemudian, muncullah sosok “penyair ganjil”, Sutardji Calzoum Bachri, yang bermimpi hendak mengembalikan kata kepada mantra. Kata-kata harus dibebaskan dari segala penjajahan tata bahasa, begitulah kredo manja Sutardji kurang lebih.

Perjalanan sejarah perkembangan puisi sejak Pujangga Baru hingga Sutardji Calzoum Bachri merupakan ketegangan antara konvensi (aturan baku) dan inovasi (aturan maju). A. Teeuw dalam salah satu catatannya mengimbuhkan bahwa inovasi jangan terlampau berlebihan karena akan membuat sebuah karya sastra sukar dipahami—artinya, gagallah karya sastra semacam itu.

Dan patut disimak pula kehadiran puisi-puisi Sapardi Djoko Damono yang cenderung simbolis, seperti perpuisian Barat sejak akhir abad ke-19. Maka, apa hendak dikata, simbolisme, tamsil, vinyet, imagogram, semua istilah itu dilekatkan untuk menafsirkan puisi-puisi dinamis Sapardi Djoko Damono tersebut.


Lalu, sekali lagi, apa kontribusi Denny JA dalam sejarah puisi Indonesia? Sebagai pemikir posmodern, Denny menciptakan genre sastra baru, yakni puisi esai. Istilah ini selayang pandang tampak kacau (khaotik) karena memadukan puisi dan esai yang punya kamar sah masing-masing.

Begitu menggemparkan panggung sastra Indonesia di zaman kontemporer ini. Padahal, puisi esai merupakan puisi yang bercitarasa esai, puisi yang memuisikan fiksi. Bagaikan cerpen/drama yang dipuisikan dengan catatan kaki yang bersifat utama sebagai landasan fakta sosial-nya.

Ringkas kata, fiksi (puisi) dan fakta (esai) dikawinkan oleh Denny JA secara posmodern, dengan isu-isu sosial yang berwatak kontroversial, merekam gaung kenyataan suka-duka zaman, apa yang tengah berlangsung dan dirasakan masyarakat/komunitas pada saat ini secara realistis.

Puisi dan kehidupan sosial menjadi intim sifatnya, tak terpisahkan. Tidak seperti “nasib nahas” puisi-puisi individual ala Chairil Anwar, puisi-puisi binal ala Sutardji Calzoum Bachri, dan puisi-puisi amsal ala Sapardi Djoko Damono.

Bahkan secara ekstrem butuh disampaikan segera bahwa puisi esai Denny JA bukan seperti puisi naratif ala Rendra, Taufiq Ismail, bukan seperti puisi epik ala Ajip Rosidi, bukan seperti syair Melayu, dan bukan seperti prosa lirik Linus Suryadi AG—sebab dalam puisi esai semua hal yang bersifat fiksional dalam tubuh puisi harus memiliki latar belakang fakta sosial-nya dalam catatan kaki sehingga perpaduan hal yang bersifat subjektif, dan yang bersifat objektif terjalin erat dalam satu wadah, yaitu puisi esai. [4]

Karena puisi esai ialah cerpen/drama yang dipuisikan sekaligus puisi yang bercitarasa esai, maka secara sederhana, kontribusi yang diberikan Denny JA terhadap perkembangan sejarah puisi Indonesia ialah Denny telah berhasil memberikan ke-leluasa-an bagi siapa pun agar dapat menulis puisi, fiksi, dan esai sekaligus dalam satu medium: “puisi esai”.

Penyair akan kian mahir, prosais akan kian necis, dan esais akan kian sistematis. Singkat kata, siapa pun boleh ambil bagian menulis puisi esai.


Estetika Alternatif Puisi Esai Denny JA

Bertutur secara spesifik perihal estetika puisi esai Denny JA tentu saja dapat dilihat secara representatif dalam karya fenomenal-nya, yakni berjudul Atas Nama Cinta (2012).

Di dalam buku hasil riset saya, Membawa Puisi ke Tengah Gelanggang: Jejak dan Karya Denny JA (2017), khususnya halaman 5-58, di sana diuraikanlah secara terperinci, ilmiah, dan panjang lebar ihwal pokok bahasan “Buku Puisi Atas Nama Cinta: Awal Genre Puisi Esai”—baik secara estetik maupun secara tematik.

Dari segi pencapaian estetik, secara umum, ditinjau dari segi ilmu bahasa (Linguistik), Denny telah mengerahkan kemampuan alat bahasanya (linguistic competence), seperti  penggunaan huruf miring, huruf tegak, segala tanda baca, pembagian bait, rima, irama, asonansi, aliterasi.

Termasuk di dalamnya, sarana retorika retisens, kata-kata nonsens sebagai elipis (pengganti petikan yang dihilangkan), penciptaan arti dari bagian mikro-teks (pengulangan suku kata akhir) sebagai efek humoris, hingga susunan kata dari bagian makro-teks (pola kalimat inversi) hingga satu puisi esai utuh yang berikhtiar keras memadukan puisi (fiksi) dan esai (fakta) sekaligus merupakan tantangan sekaligus penawaran suatu pengucapan baru dalam perkembangan puisi kontemporer dewasa ini—yakni puisi [yang bercitarasa] esai atau puisi [yang memuisikan fiksi] esai. Singkat kata, sebutlah “puisi esai”.

Dengan menulis puisi esai, penyair atau non-penyair sekalipun akan secara tak langsung terlatih menulis puisi, prosa, dan esai sekaligus. Dan tentu saja, ini bermanfaat—agar penyair berbahasa cair, agar prosais berbahasa padat, dan agar esais berbahasa apik.

Selanjutnya, silakan bacalah buku Membawa Puisi ke Tengah Gelanggang: Jejak dan Karya Denny JA (2017) secara khidmat, teliti, dan tenang bertalian dengan pokok bahasan yang lebih detail perkara “Kehadiran Denny JA dalam Puisi Indonesia”, “Evoluisi Puisi Denny JA”, serta “Pemikiran Denny JA dalam Puisinya”, berikut sekian sub-bab-nya.

Ditinjau dari segi ilmu sosial, Denny telah menyuguhkan sekian isu sosial yang kontroversial kepada pihak pembaca agar sadar realitas sosial, agar lebih menghayati problem-problem sosial yang faktual sebagai bagian dari kehidupan manusia seluruhnya.

Tambahan lagi, Denny sesungguhnya secara tak langsung tengah memberikan ruang-ruang percik permenungan kepada pihak pembaca agar turut memecahkan masalah sosial yang disajikannya tersebut dalam serangkai puisi-puisi esainya di atas.

Secara ideologis, pada taraf tertentu, kita dapat sepakat dengan Denny JA atau, pada derajat tertentu lainnya, kita dapat saja bertengkar gagasan dengan Denny JA! Namun, tetap saja, baik sepakat maupun bertengkar harus secara intelektual pula, yakni berupa tulisan-tulisan atau kajian-kajian ilmiah tandingan yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademis.

Demikian.

Selamat tahun baru 2018 bagi yang ingin baru dan diperbarui!

***
Dawpilar, 1 Januari 2018


CATATAN KAKI:

[1] Bacalah secara tuntas buku hasil riset/penelitian Narudin, berjudul Membawa Puisi ke Tengah Gelanggang: Jejak dan Karya Denny JA (2017), Jakarta: Inspirasi.co Book Project, 2017, 239 halaman.

[2]  Baca buku karya Prof. A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia 1, Ende-Flores: Penerbit Nusa Indah, 1980, terutama sub-bab tentang Amir Hamzah, dan Chairil Anwar. Kemudian baca pula buku masih karya Prof. A. Teeuw, Sastra Indonesia Modern II, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989, terutama sub-bab tentang Sutardji Calzoum Bachri, dan Sapardi Djoko Damono.
[3]   Baca buku H.B. Jassin, Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45, Jakarta, 1956, hal. 118.
[4] Baca kembali esai Agus R. Sarjono, “Puisi Esai: Fakta dan Fiksi tanpa Diskriminasi” dalam buku Puisi Esai: Kemungkinan Baru Puisi Indonesia yang dieditori oleh Acep Zamzam Noor, Depok: PT Jurnal Sajak Indonesia, terutama hal. 338-339.



 (ilustrasi scribd)

Comments