HUTAN: PUISI SANTINED, PURWOKERTO



Baiklah,  siang  ini  kuceritakan  tentang perjalananku  yang panjang
dalam gulita rimba
: di rundung berpetak-petak duka rasa, luka lumpuh, mati dalam hidup maka kuturut kemana langkah kaki.
Berdiam sesekali , lalu kembali membilang pohon demi pohon, menyibak gerumbul, membelah hutan demi hutan. Menebang kesunyian.
Tak ada bunga di sana.
Semua perdu berwarna ungu.
Berkilau-kilau ditimpa cahaya.
Ceceran daun bertumpuk membentuk satu bukit: disitulah pembaringanku. 
Buah dan lumut, sari pohon dan serangga barangkali semacam prasmanan di meja paling panjang.
Hujan adalah mata keran dari tuhan.
Dari sela julang pepohonan, matahari selalu memberiku kekuatan untuk terus berjalan.
Terus berjalan. Bila malam datang dan kudengar lolong serigala, aum singa, dan koak burung malam , hanya doa yang kupunya.
Sering kudengar tangis , dari kepak kupu-kupu.
Sering kudengar jerit erang , dari bilah-bilah bambu.
Saban purnama, tangis itu makin nyaring,makin menyayat.
Tak ada yang dapat meredakannya , tarian ilalang maupun kecupan mesra bayu.
Tangisan itu terus menerus menggema sepanjang langkah, dari pucuk ke pucuk dahan dan ranting. Tangis yang berasal dari dadaku. Lubang di dadaku.
Pada senja yang lembab usai hujan, dawai sampek bergetar perlahan.
Hanya ini  satu-satunya benda yang ikut kelanaku.
Dengan jari yang kuncup, kulagukan kenangan : tanah gembur kampungku.
Padi menguning dan tundun-tundun pisang, ketela, onggokan cempedak dan lai. O, kenangan yang tertimbun batubara, aspal dan asap pabrik.

Kuingat, bagaimana kami terusir dari kampung nenek moyang.
Satu persatu tiang rumah roboh dimakan api.
Biaya ganti rugi tak sepadan. Lagipula mau bikin apa kami di kota?
Kami macam tarzan berbaju.  Caci maki, hinaan, todong sana-tusuk sini. Uang tak lagi berarti.
Kami perlu tanah, kami ingin ladang .
Hidup begitu membingungkan. Gelap dan basah.
Belum lagi ingatan tentangmu yang pergi. 
 Pehe kia angat aku je metuh ingganan ikau te.
 Sakit dan perih mendalam

Saat pekat malam, akhirnya aku bersijingkat. Membawa tekad.
Hutan menampungku diam-diam
Disana aku belajar menata rasa.
Di alam terbuka,aku menyusuri nikmat
Doa serupa alur nafas, teratur dan tak mungkin tertinggal
Dan bayangmu menyatu di perkasa batang-batang mahoni
: kupeluk dan kucumbu
Saban rindu memuncak

*Pehe kia angat aku je metuh ingganan kau te = sakit juga kau tinggalkan

Bantarsoka,22 jan 2018


(ilustrasi scince/ yuk ke bagian bawah blog dan klik iklannya untuk setiap informasi berharga dan mencerahkan)

Comments