AYAT-AYAT CINTA DAN PARA PEREMPUAN YANG MEMBUTUHKAN PERTOLINGAN



Dalam acara-acara gosip di televisi, saya mendengar, Ayat-ayat Cinta (AAC) merupakan sebuah usaha Hanung Bramantyo—yang dipungut dari Kang Abik—menunjukkan bahwa Islam adalah agama kasih sayang dan sangat menghormati perempuan.

Begitu menonton, saya segera menemukan apa yang banyak disebut itu. Pertama, ketika Fahri, mahasiswa S-2 al-Azhar, anak penjual tape dari Indonesia itu, dengan tulus menolong Noura yang terjatuh bersama keranjang buahnya. Adegan kedua, saat dengan gigih dan penuh dalil, Fahri membela perempuan bercadar—yang kemudian ketahuan sangat cantik—yang memberikan tempat duduknya kepada dua “kafir” amerika. Adegan lain, kali ini dalam bentuk dialog verbal, yaitu ketika Fahri menerangkan kepada wartawan Amerika bahwa Islam  sangat menghormati perempuan. Dari tiga sken itu, saya rasa, Kang Abik maupun Hanung sudah cukup untuk bisa mendada bahwa AAC memang sarat dengan pesan bahwa perempuan amat dibela dalam Islam.

Tapi benarkah demikian?

Saya menemukan hal yang berbeda. Apa yang bisa Anda lihat saat penjahat berwajah dan bernama India memukuIi, dan belakangan diketahui memperkosa, anak angkatnya yang Sunda itu? Apa yang Anda lihat saat menemukan laki-laki kasar bercambang di KRL yang mencaci maki perempuan dan bisa melayangkan pukulan sambil mengucap shalawat nabi? Saya sangat dihantui dua adegan itu.

Ia malah mengingatkan saya kepada film-film “B” (B-movie) Hollywood yang dipenuhi tokoh-tokoh teroris yang bercambang, bernama Arab, sekaligus bodoh. Film ini, AAC, dengan demikian, justru mengingatkan, dan tampaknya malah mengekalkan apa yang hendak dilawannya: stereotip bahwa Islam itu kasar, membenci perempuan, agresif, dan bodoh! Memang ada Fahri yang tampan, santun, dan penuh cinta di sepanjang film ini. Namun ia jadi tawar takberasa karena ditimbun oleh kebengisan Bahadur, kekasaran penumpang brewok di KRL, dan kebodohan ayah kandung Noura. Bahadur dan tokoh-tokoh sejenisnya—jika dihitung dalam durasi film—ini memang bagai titik-titik nila saja bagi sebelanga susu yang ditawarkan Fahri. Namun, titik-titik nila ini, bagi jamaah di luar jamaah pengagum AAC, bisa dianggap mewakili samudera nilai di belakang sana. (Apa asyiknya berdakwah kepada orang-orang yang sudah kuat iman? Bukankah hanya akan mengulang-ulang?)

AAC justru sukses menunjukkan bahwa Islam, dalam banyak bagiannya, masih mengalami problem dengan dunia patriarkhi.  Sejauh yang saya cermati, AAC dengan sangat gamblang mempertontonkan bahwa Islam (atau tepatnya, laki-laki Islam) membela perempuan bukan karena perempuan memang berhak dibela—sebagaimana manusia, apapun jenis kelaminnya, berhak dibela. Perempuan dibela, dalam hal ini, lebih didasarkan pada rasa kasihan. AAC menunjukkan pada kita, perempuan patut dibela karena mereka mahluk yang lebih lemah dari laki-laki.

Para penonton AAC harus jujur, film ini dipenuhi tokoh-tokoh perempuan lemah lagi rapuh yang patut dikasihani. Ada Maria Kirgis yang bahenol tapi penyakitan. Ada Noura yang tak berdaya. Ada juga Nurul yang tidak memiliki cita-cita hidup lain selain dikawini Fahri. Mereka ini tidak lebih dari, meminjam lirik Sheila On 7, “hamba yang bersinar bila disentuh” Fahri. Maka, saksikanlah betapa mereka bergelimpangan begitu mendengar Fahri mengawini Aisha. Maria langsung berdarah-darah. Nurul langsung menjerit dan membanting jilbabnya dan, kata Pak De-nya, “kehilangan cahaya hidupnya”. Noura lebih parah lagi: ia kini tidak hanya tidak berdaya, tapi juga tidak berhati dan tidak bernalar—dengan melancarkan fitnah pada Fahri.

Memang ada tokoh Aisha yang harus dikecualikan. Bukan karena ia perempuan dengan karakter baja, namun karena ia terlihat seperti bidadari yang diturunkan Allah dari surga untuk Fahri saja. Ia lebih dari sempurna. Dalam beberapa hal, Aisha yang ini lebih sempurna dari Aisya binti Abu Bakar, istri tercinta Rasulullah. Ia cantik sekali, kaya, dan dengan kemauan sendiri, meminta dimadu. (Dua hal terakhir yang dimiliki Aisha istri Fahri tidak dimiliki oleh Aisya istri Muhammad. Aisya tidak kaya dan, seperti disebutkan dalam banyak sumber, hampir selalu bermasalah dengan permaduan Rasulullah. Aisya selalu nyinyir kepada Nabi jika mendengar ada perempuan baru yang dipinang Rasulullah, apalagi kalau perempuan itu sangat cantik. Satu-satunya madu yang dekat dengannya adalah Hafsyah binti Umar, yang, selain karena sebaya dan sama-sama cerdas, tidak lebih cantik dari Aisya).

Makanya, ketika mengetahu bahwa Aisha yang sangat cantik itu ternyata juga kaya—karena bisa menyewa flat mewah--teman menonton saya, yang saat itu sedang bermasalah dengan percintaannya, lansung keluar, membanting pintu, sambil mengumpat, “Ah, kayal!” Saya sepakat dengan teman saya itu. Jika tidak “kayal”, Kang Abik dan Hanung harus rapat-rapat merahasiakan keberadaan Aisha (atau perempuan sejenis Aisha). Sebab, saya yakin, semua laki-laki pasti sedang memburunya.

Ya, salah satu masalah terbesar dari AAC ada pada tokoh-tokohnya. Mereka tidak dipungut dari dunia nyata, namun diambil dari kepala dan cita-cita penciptanya. Perempuan-perempuan dalam AAC, seperti juga Fahri, adalah tokoh-tokoh ide. Tokoh-tokoh yang diracik dari angan-angan dan bukan dari kenyataan. Mereka diciptakan untuk memenuhi tujuan-tujuan ideal tertentu. Mereka ini biasanya dibebani misi untuk mendidik, mengajar, atau memberi contoh. Konsekuensi logis dari tokoh-tokoh seperti ini biasanya rata seperti meja setrika. Flat, tanpa geronjalan. Ia tidak punya sisi lain. Kalau baik, baiknya gak ketulungan. Kalau jahat, jahatnya melebihi setan. Ia tidak punya warna abu-abu. Ia harus putih sekalian, atau hitam legam sekalian. Ia tidak memberi ruang untuk beda persepsi. Ia tidak boleh salah dimengerti. 

Dan demikianlah para perempuan di AAC. Alih-alih menunjukkan bahwa Islam sangat menghormati perempuan, Aisha dan rekan-rekannya justru mengindikasikan bahwa perempuan (Islam) sangat tergantung dengan lelaki (Islam). Tak terbayangkan hidup mereka jika tanpa Fahri bin Abdullah. Mereka pasti berantakan tak karuan. Lihat saja Maria yang terkapar berbulan-bulan. Saksikan Noura yang menjelma jadi putri yang tak kenal balas budi.

Hm...., para perempuan yang malang. Mereka memang pantas dilindungi dan dikasihani.


MAHFUDZ IKHWAN, PENULIS NOVEL LARIS DAWUK

Comments