ANTARA IMAN DAN IMIN



Terima kasih terbesar hidupku kepada bapakku adalah karena beliau mengenalkanku pada dunia pesantren.

Sejak lulus MI tahun 1995 aku tak lagi tinggal dengan orang tua. Sejak saat itu aku tinggal di Pondok Pesantren Azzahro' Pegandon Kendal dan sekolah formal di MTs Sunan Abinawa yang letaknya sekira 600 meter dari pondok. Ada beberapa judul kisah yang telah aku tulis karena tinggal tiga tahun di sana.

Lulus dari Kendal pada tahun 1998 kemudian aku melanjutkan untuk tinggal di Pesantren Roudlotuth Tholibin Rembang, sebuah pesantren yang dulunya ayahku juga pernah nyantri di sana. Santri putranya sekira 300-an, jumlah yang tak kunjung berubah dari tahun ke tahun, bahkan kata ayahku dulu waktu jaman mbah Bisri (KH. Bisri Mustofa) pun jumlahnya sekitar itu. Sudah beberapa judul kisah yang aku tulis kala tinggal di Rembang. Kali ini memoriku teringat pada sesorang bernama Imin.

Pesantren Roudlotuth Tholibin, yang umumnya sering disebut Pondok TPI (Taman Pelajar Islam) ini diasuh oleh kiai yang sangat sayang kepada para santrinya. Bahkan, Gus Tutut, Ketum GP. Ansor, putra ke empat KH. Kholil Bisri mengatakan bahwa rasa sayang abahnya  pada santri-santrinya melebihi rasa sayangnya pada putra-putrinya sendiri. Pada saat jam belajar santri, yaitu pukul 21.00-23.00, Kiai Kholil mengelilingi arena belajar para santri untuk memastikan apakah para santri benar-benar belajar atau sedang tidur. Pun demikian di waktu subuh, sang Kiai akan membangunkan para santri untuk menunaikan sholat subuh yang kemudian dilanjutkan ngaji Kitab Tafsir Jalalain dengan model bandongan. Jika kiai tidak bisa melakukan kontrol belajar para santri, maka santri senior yang akan mewakilinya. Termasuk juga yang mengelilingi santri dalam mengontrol adalah para gus.

Kebanyakan gus suka bertindak mbeling. Pernah suatu ketika salah seorang kawan kakinya di-lem dengan lem merk "Alteko" saat tidur pada jam belajar santri di Aula pesantren. Lem yang daya rekatnya ngudubillah mindalik itu membuatnya ndongkol, mangkel dan aneka perasaan amarah bergejolak dalam batinnya karena jari dan jempol kakinya rumangket dan tak kunjung bisa dilepas. Namun apa daya jika yang melakukan itu adalah gus, santri itu tak berdaya untuk melawannya. Takut kuwalat dan khawatir kelak ilmunya tak manfaat. Mungkin karena mencoba untuk ikhlas diperlakukan seperti itulah yang kini berbuah manis baginya. Ilmunya bermanfaat dengan menjadi seorang Guru Agama di sebuah SMA Negeri di Rembang.

Subuh adalah waktu utama bagi semua santri untuk bangun dan bergegas sholat. Karena di situlah keimanan terasah. Maka santri sudah ada yang bangun tanpa harus dibangunkan. Namun tidak sedikit yang harus beberapa kali diopyak-opyakk.

Saat membangunkan para santri di waktu subuh, santri senior juga akan berkeliling ke semua kamar dari lima komplek yang ada. Ada yang membawa sajadah atau sarung untuk nyabet yang tak kunjung bangun. Ada juga yang membawa air untuk dicipratkan pada yang tak bangun-bangun.

Suatu ketika giliran piket membangunkan para santri adalah Kang Sugiharto yang sering dipangil mbah Harto. Beberapa santri dipanggil "mbah" itu memang lumrah. Bukan karena sudah sepuh, tetapi lebih karena adanya karakteristik atau kebiasaan tertentu, misalnya suka wiridan yang lebih lama dari umumnya santri, suka tirakat puasa, sholat malam dan lain sebagainya.

Setelah lalu lalang dan bolak balik berulang membangunkan santri namun tak kunjung bangun maka mbah Harto menyirami para santri "mbalelo" itu dengan mencipratkan air yang dibawanya dengan botol air mineral besar. Santri yuniorpun akan lekas bangun dan bergegas menuju jeding untuk berwudlu. Karena stok air habis dan menyaksikan si Imin yang tadinya sudah pura-pura bangun namun kembali tudur pulas, maka mbah Hartopun menjadi emosi. Apalagi melihat si Imin yang kebetulan "iminnya" menjulang bak tugu monas berdiri tegak meskipun tertutup sarung karena efek pagi. Botol yang tak lagi bersisa air dipukulkanlah pada "iminnya" si Imin.
"Prooookkk !" begitulah suara botol kosong memukul miniatur tugu monas.
"Ayyyyoooh kono... dah dibagunin udah empat kali kok yang bangun cuma konoanmu saja!" bentak mbah Harto.
Sontak Imin langsung bangun. Imin merasa kesakitan bercampur nggonduk, namun tak kuasa untuk melawannya.

Ia berfikir keras untuk pada saatnya membalas dendam. Maka di suatu tengah malam, Imin mencari tempat mbah Harto tidur. Dengan berbekal korek api gas, ditemukanlah mbah Harto sedang nyenyak tidur dalam kegelapan lampu yang padam sejak pukul 00.00 tadi plus dalam keadaan "tugu monasnya" berdiri tegak. Imin pun berbekal yang sama dengan mbah Harto saat membangunkannya di waktu subuh tempo hari. Hanya saja ini bukan botol air mineral, tapi botol Sprite kosong.

"Prok !!!!!" suara pukulan botol sprite pada tugu yang menjulang di dalam sarung.

"Kake'aneee!!! sopo, ki...!!!!!" teriak mbah Harto sambil merasakan sakit.
Imin pun bergegas lari menuju tempat yang aman. Diapun diuntungkan dengan keadaan mbah Harto yang berkacamata tebal yang kala itu sedang tak berkacamata, terlebih lampupun dalam keadaan padam.

Maksud hati Mbah Harto mau mengejar santri mbeling itu. Tapi tidak jadi. Diapun menyadari,
"mungkin ini ulah santri Imin yang tempo hari aku perlakukan demikian," fikirnya.

Iminpun selamat dari kejaran Mbah Harto yang tidak jadi. Imin merasa puas dan lega. Sesekali ia masih cekikikan dalam persembunyiannya dalam gulita.


ABDUL LATIF, PRAKTISI PERBANKAN, TINGGAL DI SLEMAN




(ambau.id/ yuk lanjut ke bagian bawah blog dan klik iklannya untuk setiap informasi berharga dan mencerahkan)

Comments