KILIMANJARO



“Kilimanjaro adalah gunung bersalju yang terletak pada ketinggian 6008 meter dari permukaan laut dan dijuluki gunung tertinggi di benua Afrika. Puncaknya di sebelah barat dinamakan “Ngaje Ngai", dalam bahasa Masai, yang artinya “Rumah Tuhan". Di dekat puncak itu tergolek bangkai seekor macan tutul yang telah kering dan membeku. Tak seorangpun dapat menjelaskan apa yang dicari sang macan tutul di ketinggian seperti itu.”

Begitulah Ernest Hemingway, penulis Amerika yang masyhur itu membuka cerpennya, Salju Kilimanjaro.

Dan sayup-sayup ambisi yang terpendam jauh di lubuk hati, memanggil kembali. Dengan halus ia menyelinap di relung kalbu. Menyalakan api.

Adalah beberapa waktu lalu, saya mengetahui seorang kawan lama, mengabarkan sudah menginjakkan kakinya di Himalaya. Dia seorang perempuan. Bukan pendaki gunung, backpackeran dan nekat. Dia berangkat sendiri, bermodal tiket promo.

Katanya di Annapurna, dia menjadi merasa lebih religius. Ada sesuatu tentang tempat itu yang menembus jiwanya. Sesuatu yang bukan agama. Tumpukan-tumpukan batu, jalur trekking yang diselimuti dingin, bendera-bendera kecil warna-warni yang berderak-derak dihembuskan angin. Bendera doa itu, katanya seperti memanggil dirinya. Ada kedamaian yang universal, hadir dan tak mampu dijelaskannya. Dan itu, baginya teramat sakral.

Ia cerita hanya sampai di camp ABC, di kaki gunung. Memandang Sagarmatha di kejauhan, Sagarmatha sang kepala langit. Atap dunia. Orang-orang Tibet menyebutnya Qomolangma (ibu suci semesta).

Katanya ia sempat diterpa salju, biarpun dingin. Butiran salju itu lembut, selembut tepung roti. Sleeping bag ia bawa kurang tebal, jadi harus menyewa lagi. Sebab menurutnya, surganya itu menjadi teramat dingin.

“Kamu gak bakal nyesel deh kalau sampai di sini, ” katanya dari Kathmandu, setelah dapat internet. Kathmandu yang di tahun 70 an merupakan wilayah Himalaya yang masih terisolasi dari dunia,  sekarang dari sana dia mengabari. Ratusan ribu kilometer jauhnya, dari kampungku.

Maka saya teringat Kilimanjaro, pernah ada di relung batin saya. Sesuatu yang pernah ingin saya capai, dan nyaris terlupakan. Saya mengikat diri pada rutinitas kehidupan desa yang saya nikmati saat ini, di Kota Bangun. Saya memendamnya begitu lama. Saya merindukan perjalanan.

Bahwa aku ingin merasakan lagi kelelahan di jalur menanjak, ingin merasakan kerak-kerak es tipis mencair menyelinap di antara rambutku. Menggigil semenggigilnya, dengan tulang dan gigi yang gemeretak. Tak mandi beberapa hari, hidung yang menghitam dan daki yang menumpuk. Tersengat matahari, angin dan hujan di gunung. Aku ingin lagi merasakan panggilan religius itu juga. Ini sejenis cemburu.

Demi Tuhannya Bawakaraeng, jika bisa, sekali saja aku ingin disempatkan dalam hidup ini. Aku  ingin berhaji di Kilimanjaro. Di Kilimanjaro, bukan yang lain.

 Labaik Allahumma labaik~

CHAI SISWANDI, budayawan muda kutai

Comments