LANGIT MASIH MENDUNG: CERITA PENDEK MUHAMMAD THOBRONI



Seorang lelaki muda meletakkan pantatnya di bangku kayu. Di sepanjang pantai itu memang dipasang beberapa bangku kayu. Lumayan panjang. Sebagian hanya mampu menampung sepasang pantat. Dan sebagian lain dapat memuat lebih banyak lagi.
Tentu saja,  bangku dengan yang mampu memuat dua pantat disediakan untuk pasangan kekasih. Sedangkan bangku lebih panjang digunakan untuk para keluarga bersama anak,  pasangan,  bahkan kakek nenek mereka. Bangku kayu itu terasa nyaman sebab dilengkapi sandaran sehingga mereka yang duduk dapat menikmati indahnya laut.
Di sebuah bangku kayu yang lumayan panjang,  mungkin dapat memuat 12 pantat manusia,  lelaki muda itu duduk dan selonjor kaki. Ia membuka jaket lusuhnya dan meletakkan tas kain gandumnya yang sungguh kumal. Mungkin sudah puluhan tahun tak pernah dicucinya. Tangannya membuka tas dan mengeluarkan buku yang telah tampak rusak. Beberapa bagiannya robek,  sampulnya berlubang-lubang entah digerogoti makhluk jenis apa. Lelaki muda itu segera membuka buku yang bercerita tentang keindahan-keindahan dalam hidup di dunia dan akhirat. Ia sengaja ingin membaca buku itu dipantai dan membandingkannya dengan kehidupan di tepi laut itu. Dari tempatnya bersandar,  ia dapat memandang laut yang sungguh luas. Tak berbatas ujungnya. Ia melihat langit menempel erat air laut. Matahari yang terik menciptakan siang yang cerah dan indah.
Hari itu memang tampak indah. Orang-orang datang ke pantai seperti berbondong-bondong merindukan surga. Tak heran, di pintu masuk tadi orang-orang rela antri seperti mereka berbaris menunggu giliran hisab di akhirat. Satu demi satu mereka masuk dengan tiket. Ada yang masuk ke arah kiri,  ada pula yang belok ke arah kanan.
Anak-anak seperti hidup bebas. Merdeka dengan diri mereka. Ini hari libur. Mereka seperti menemukan dunia baru. Kehidupan baru. Teriakan lepas membahana. Tawa kanak-kanak memancar dari wajah ceria. Kaki-kaki mereka yang masih lucu berkejaran. Meninggalkan jejak kanak-kanak yang segera hilang dirampas ketuaan dan kematian.
Para orang tua memilih duduk dan berdiri di pinggiran.  Suami istri berpelukan. Ini adalah kesempatan langka. Tidak mungkin ditemukan di tempat kerja sebab yang ada hanyalah istri atau suami orang lain. Di tepi laut ini,  pasangan suami istri seperti menemukan kehidupan cinta yang sejati.
Para penjual mainan dan jajanan juga sangat bahagia. Ini kehidupan surga. Di dunia yang begitu indahnya. Semua orang boleh berbahagia. Sesuatu yang mungkin diperjuangkannya selama ini. Saat inilah para penjual mendapat serupiah demi serupiah. Penjual balon, telur puyuh dan kacang rebus beroleh berkah dari kebahagiaan semesta.
Lelaki muda yang duduk di bangku kayu tampak tersenyum. Tangannya mengepal. Mulutnya bergunam, "Subhanalloh. Nikmat Tuhan mana lagi yang kita dustai? " di matanya cahaya-cahaya berbinar. Wajahnya serupa cermin yang memantulkan terang. Lelaki muda itu menemukan kenyataan indah itu ada dalam buku bacaan yang dipegangnya.
Mendadak kehidupan tepi laut bungkam. Kesunyian muncul dimana-mana. Daun kelapa seperti layu. Matahari redup. Gelombang hilang suara. Anak-anak berlari menuju pelukan orang tua. Para orang tua panik melihat semesta berubah tiba-tiba.
Entah darimana muncul,  beberapa orang muncul. Bercadar wajahnya. Berteriak-teriak membabi-buta.
"Usir! Usir!  Usir! "
"Tangkap! Tangkap!  Tangkap! "
"Tahan! Tahan! Tahan! "
Dari arah lain muncul juga beberapa orang berhambur. Dengan penutup topeng. Sembari mendatangi orang-orang banyak yang terdiam seperti melihat serigala muncul tiba-tiba.
"Sikat! Sikat! Sikat"
"Habisi! Habisi! Habisi! "
"Ganyang!  Ganyang! Ganyang!"
Orang-orang terdiam dalam ketakutan. Mereka bersembunyi dalam liang. Surga di tepi laut berubah menjadi neraka. Panas membakar semua. Angin mendadak pergi entah keman a. Udara mendadak pengap.
Di ujung sana, langit kembali mendung. Langit masih mendung. Semesta terdiam memandang angkara bertebaran.
Lelaki muda di bangku kayu itu tertunduk. Ia tak mengerti harus berbuat apa selain melipat buku keindahan yang dibacanya.  Ia berpikir,  kemana lagi mencari surga?  Setiap surga yang disinggahinya dirusak orang yang datang tiba-tiba. Lelaki muda itu memandang laut yang luas. Langit menempel pada tubuh laut. Semua menjadi terasa asin sekarang ini. Lelaki muda itu memandang ke atas. Langit masih mendung. Orang-orang itu masih berteriak kesetanan. Topeng dan cadarnya mulai terbuka.

Comments