BERBAKTI KEPADA ORANG TUA (KAJIAN ADAB 4)



Bismillâhirrohmânirrohîm.
Alhamdulillâhirobbil `Âlamîn.
Allohumma sholli `alâ Sayyidinâ Muhammadin an-Nabiyyil Ummiyyi, Imâmil Hudâ wa âlihi wa shohbihi wasallim. Ammâ ba’du.

Dalam hadits ke-1 dalam Kitab al-Adab, amal yang paling dicintai Alloh setelah ash-sholâtu `alâ waqtihâ adalah birrul wâlidain. Amal birrul wâlidain, didahulukan daripada al-jihâd fî sabîlillâh. Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan, “berbakti kepada orang tua diutamakan karena seseorang tidak dapat berjihad kecuali telah mendapat izin dari kedua orang tuanya, seperti yang akan dijelaskan nanti” (Fathul Bari, X: 401).

Dalam Kitab Nuzhatul Majâlis wa Muntakhobun Nafâ’is, yang dikarang al-Alim Abdurrahman ash-Shofuri asy-Syafi`i, disebutkan bahwa: “Karena birrul wâlidain itu fardhu ain, dan al-jihâd fî sabîlillâh itu fardhu kifayah, dan fardhu ain dalam hal ini didahulukan” (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1419/1998, I: 261).

Kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua, telah ditetapkan oleh Alloh dalam Al-Qur’an, dalam surat Luqman ayat 14 dan surat al-Ankbut ayat 8, seperti yang telah disebutkan di Ngaji Hadits Kitab al-Adab ke-2.

Dalam hadits ini, berbuat baik kepada orang tua mengggunakan kata al-birr. Kata al-birr iini digunakan Aleh al-Qur’an, untuk menyebut dua jenis, seperti disebutkan Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Kitab Jâmi`ul Ulûm wal Hikâm (Beirut: darul Jil,1417/1996, hlm. 394-395), disebutkan:

“Salah satunya bermakna berhubungan kepada makhluk ciptaan Alloh, dengan ihsan kepadanya, dan kadang-kadang ihsan kepada kedua orang tua, dan dari sini dikatakan birrul wâlidain, dan dalam banyak hal ihsan kepada ciptaan Alloh secara umum.” Beberapa hadits dan redaksi ayat Al-Qur’an menyebut soal ini, di antaranya dalam surat al-Mâ’idah ayat 2 menyebutkan: wa ta`âwanû `alâl birri wat taqwâ.

“Makna kedua dari kata al-birr, perbuatan yang dimaksudkan dengannya adalah, semua amal taat secara dhohir dan batin, seperti disebutkan dalam surat al-Baqoroh ayat 177, yang berbunyi: laisal birro an tuwallû wujûhakum qibalal masyriqi wal maghribi, sampai wa ulâ’ika humul muttaqûn.” Kata al-birr disini termasuk amal batin, seperti percaya kepada Alloh, malaikat, kitab-kitab dan Rasul-Rasul Alloh.

Kata al-birr, berdasarkan hadits-hadits Kanjeng Nabi Muhammad yang lain juga bermakna:  apa-apa yang menjadikan hati  dan nafs kita menjadi tenang; atau yang menjadikan di dalam dada kita lapang.

Sedangkan maksud dari kedua orang tua, al-wâlidain di dalam hadits di atas, bukan berarti al-birr di dalam keluarga, hanya kepada kedua orang tua. Akan tetapi penyebutan al-wâlidain, kedua orang tua menunjukkan urutan pertama sebagai wajib ain yang harus didahulukan dalam berhubungan baik dalam keluarga, yaitu ibu kandung dan ayah. Rumusan Asi`lah Bahtsul Masa’il V LBMNU Cab. Jombang pada 1 Desember 2013/27 Muharram 1435, dengan merujuk pada Kitab Faidul Qodîr Syarah al-Jâmi’ ash-Shoghîr (II: 404), ketika ditanya soal urut-urutan orang tua dan mertua, mana yang harus didahulukan dalam hal birrul wâlidain, jawabanya ini:

“Menurut para ulama Syafi`iyah, yang didahulukan dalam hal al-birr adalah ibu, ayah, anak-anak, kakek-nenek, saudara laki-laki perempuan, dan kerabat yang memiliki jalur dari orang tua; setelah itu kerabat dzawil arham (yang tidak bisa menerima warisan), kerabat ashobah (yang hanya menerima warisan, kalau ada sisa setelah dibagi-bagi), kemudian al-mushoharoh atau mertua.”

Pengutamaan orang tua dalam hadits di atas menunjukkan pentingnya kedudukan orang tua kandung bagi seorang anak; dan karenanya oleh hadits Kanjeng Nabi Muhammad yang lain, disebutkan ridho Alloh itu tergantung juga dari ridho orang tua; dan murka Alloh juga tergantung dari murka orang tua. Hadits yang menyebutkan ini di antaranya disebutkan dalam Kitab Bulûghul Marâm dan syarahnya dalam Kitab Subulus Salâm, diriwayatkan oleh Abdulloh bin Umar dan Ibnul Ash, dari Kanjeng Nabi Muhammad berkata: “Ridhollôhi fi ridhol wâlidaini wa sukhtillâhi fî sukhtil wâlidain”. Hadits ini juga dikeluarkan oleh Imam at-Tirmidzi, Imam Ibnu Hibban dan Imam al-Hakim menshahihkannya (Muhammad bin Isma`il al-Kahlani ash-Shon`ani, Subulus Salâm, IV: 164).

Kebalikan dari birrul walidain adalah durhaka kepada orang tua, yang disebut `uqûqul wâlidain, yang merupakan salah satu dosa besar, dalam Kitab al-Adab ini disebutkan ada di nomor hadits ke-6 (nomor keseluruhan dalam Shohîh al-Bukhôrî, No. 2654). Ada banyak kisah bagaimana seorang yang durhaka kepada orang tua mengalami nasib tragis di akhir hidupnya, sampai ia memperoleh ridhonya..

Bagi kaum sufi, berbakti kepada orang tua adalah jalan yang mempercepat pencapaian kualitas rohani, bukan semata dzikir dan wirid. Diriwayatkan dari cerita Imam Abu Yazid al-Busthomi dalam cerita panjang, dan di akhirnya disebutkan begini: “…dengan apa engkau sampai pada manzilah ini? Dia berkata: “dengan birrul wâlidain dan sabar dalam kondisi yang sangat, dan diriwayatkan dari Kanjeng Nabi: “al-`abdu muthî’ liwâlidaihi wal muthî’ lirobbil `âlamîn fî a’lâl `illiyyîn.” Hamba yang berbakti kepada orang tua dan taat kepada Rabbil Alamin, ada di dalam tempat yang paling tinggi” (Abdurrohman ash-Shofuri asy-Syafi`i, Nuzhatul Majâlis wa Muntakhobun Nafâ’is, I: 261).

Birrul wâlidain itu mencakup amal-amal  dalam berinteraksi dan melayani dengan baik, dalam perkataan, perbuatan, dan fikiran; dan amal  berkaitan dengan mendoakan kepada orang tua, tatkala hidup atau sudah meninggal. Ketika orang tua sudah meninggal dengan cara mendokan atau menghadiahkan pahala dari amal-amal perbuatan lahir atau kalimah-kalimah thayyibah kepada mereka; dan meneruskan warisan-warisan perjuangannya yang baik, memanfaatkan warisan-warisan harta yang ditinggalkan untuk kebaikan dan mengembangkannya.

Al-Qur’an menyebutkan kewajiban beradab kepada orang tua, di antara contohnya di tunjukkan dengan:

1. Jangan berkata “ah” dan berkatalah dengan qaulan kariman, seperti disebutkan dalam surat al-Isrâ’ ayat 23: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”

2. Rendahkanlah dirimu di hadapan kedua orang tuamu, sebagaimana dapat dipahami dari surat al-isra ayat 24: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil."

Dalam hal orang tua menyuruh berbuat maksiat atau perbuatan keji, sejenis syirik dan keluar dari agama Islam, berdasarkan Ngaji Hadits Kitab al-Adab ke-2 dalam penjelasan ayat wa washshoinal insana biwâlidahi husnâ, telah dijelaskan, tidak boleh ditaati, tetapi tetap dalam posisi berbuat baik dan tidak boleh memutus hubungan baik, bahkan ketika orang tua itu bukan muslim sekalipun. Sedangkan kalau di antara ayah dan ibu, dalam kondisi tertentu, mana yang harus didahulukan, akan dijelaskan di hadits-hadits berikutnya.

Arjû al-Musyaffa’, ya Rabbi sholli `ala Sayyidinâ Muhammad. Walhamdulillâhi Robbil `Âlamîn wal Musta`ân.

NUR KHALIK RIDWAN, pengasuh majelis shalawat dan pengajian

Comments