"Ludruk dan Kontekstualisasi Dongeng”.





“Ludruk” dan “Ketoprak Mataram” satu sama lain memiliki persinggungan yang intim. Keduanya teater tradisional. Keduanya dimainkan tanpa teks, namun bukannya zonder cerita. Dialog-dialognya mempesona, kontekstual dan tajam. Ungkapan-ungkapannya bergelimang karakter dan kelakar segar.
Bintang di dalamnya sungguhlah bintang profesional kendati tampilan kesehariannya amat bersahaja. Di atas panggung mereka bolehlah kinclong-gemerlap. Namun, sesudah lakon berakhir, mereka undur ke dunia nyata, dunia keseharian rakyat biasa — bandingkan dengan artis ibukota, apalagi Hollywood.
Kita tahu ludruk bermain dengan dongeng-dongeng atau cerita rakyat, gambaran dari kehidupan di lapis bawah masyarakat, Ketoprak Mataram justru sebaliknya. Kesenian ini lebih sering — dan selalu lebih bagus — menampilkan kehidupan keraton, representasi dari kehidupan kaum bangsawan luhur. Kalau ketoprak memainkan dongeng atau cerita rakyat, acapkali para bintangnya kehilangan pesona. Tapi tidak bagi ludruk. Disitulah memang letak kompetensinya. Ludruk itu wakil rakyat, dan para bintangnya pun rakyat. Apa yang bikin kaget pemain dongeng dan cerita rakyat, yang manakala di panggung mereka pethakilan secara bersahaja, dan lantas bersahaja lagi ketika sudah di luar panggung?
Teater Jawa Timuran ini dalam arti tertentu pada hakikatnya lebih merupakan bagian dari rakyat. Sedangkan teater Jawa Tengahan ini menempatkan apa boleh buat rakyat biasa dalam posisi raja, permaisuri, pangeran, patih, adipati, hingga panglima. Di sana para pelakonnya, dalam semalam, merambahi mobilitas vertikal yang tajam. Dalam mobilitas itu mereka menempati peran-peran yang mustahil diraih dalam kehidupan di keesokan paginya, yakni tatkala mereka kembali ke dalam realitas ke-rakyat-an yang kontras — laksana bumi dengan langit — dibandingkan lakon-lakon yang diperankan.
Kedua jenis kesenian ini menuntut kreativitas yang lumayan tinggi. Dan ludruk, tampaknya, menuntut lebih tinggi lagi. Ludruk dituntut untuk mampu memancarkan daya tarik lebih memukau bila sebuah lakon selalu dinterpretasi-ulang sesuai konteks zaman. “Tukang” yang menciptakan tafsiran baru ini sudah barang tentu harus kaya akan sumber-sumber cerita, kaya bacaan, luas pergaulan, dan selalu — tanpa henti — menyerap local wisdom yang berkembang di masyarakat.
Kisah “Sarip Tambakoso” yang dipentaskan sekarang ini adalah contohnya. Dari zaman ke zaman tafsiran dibikin, diperbaharui, disesuaikan dengan konteks kekinian kehidupan. Dengan demikian, sang bintang dan lakonnya tetap merupakan cerminan kondisi rakyat yang dekat dengan kita. Dan sang Sarip pun, tak boleh kehilangan jiwa dan elan vital utamanya sebagai rakyat, yang gigih mewakili kepentingan zaman tadi.
Pada zaman Belanda doeloe, Sarip adalah tokoh yang melawan penjajah Belanda. Orde lama, Orde Baru, maupun Orde Reformasi, masin-masing menampilkan sarip sesuai kepentingan besar zamannya. Ini semua sah adanya. Tanpa kekeliruan. Tanpa cela. kali ini Sarip tampil dari segi yang tidak terlampau ideologis. Lakon ini ditetapkan sebagai lakon: apa adanya, sesuai kodratnya.
Lantas, apa kodrat lakon di atas panggung? Lucu, segar, menghibur. Dan jika mungkin atau jika perlu memberi barang sepercik dua renungan hidup.
Itu sudah cukup. Tak ada yang perlu ditanyakan. Tak ada yang dianggap kurang. Lantaran, ya memang hanya untuk kepentingan itulah cerita didesain.
Ada catatan yang mungkin patut menjadi pertimbangan tim kreatif pementasan ludruk ini kali. Pada era bergejolak akibat runtuhnya moralitas bangsa semacam ini, apa salahnya jika Sarip, yang orang biasa itu, misalnya ditampilkan sebagai tokoh antikorupsi tingkat kecamatan? Sarip yang ini, adalah Sarip yang gigih dan istiqomah dalam menunaikan panggilan hatinya sebagai musuh para pencuri yang membikin bangsa mendekati titik nadir kebangkrutan ekonomi, menyusul bangkrutnya moral yang kian susah tertolong lagi itu?
Undanglah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi agar bisa belajar sedikit tentang strategis yang lebih sahih, lebih akurat, dalam menangani kasus sensitif yang menjadi pertaruhan segenap bangsa ini. Sangat boleh dan kesempatan terbuka lapang bila lakon diperkaya dengan konten yang kuat dalam memperjuangkan semangat toleransi, supaya agama bisa kita kembalikan ke dalam jiwanya yang luhur dan penuh rasa adil-manusiawi. Perlunya, agar menjadi alternatif dari keadaan yang membikin darah beku karena agama, suara Tuhan, kok tampil di bumi mewakili Mak Lampir dan Duryudono.
Bolehlah sesekali Sarip mewakili wong cilik yang rindu akan makna agama, dan Tuhan, yang jika nama-Nya saja disebut sudah mengguyurkan rasa tenteram. Olehnya, tanpa mengubah urusan ekonomi yang ruwet, rakyar bisa merasakan betapa jenjem, ayem, tenteram, dan damai “full” hatinya ketika nama Tuahan disebut, sembari mengamalkan ayat yang berbau perintah dan menjahui larangan. Rakyat biasa separti Sarip, walhasil bisa menikmati ketenteraman hidup meski berbekal sedikit ilmu agama, kerjenihan iman, dan cinta kepada Tuhan.
Untuk menyumbang ala kadarnya usaha bersama untuk membangun jiwa dan watak bangsa, serta ndandani kebudayaan yang sudah doyong, ludruk boleh membikin Sarip jungkir-balik sebagai tokoh pluralis. Dia akomodatif, tolerans, dan terbuka dalam menerima aspirasi pihak lain. Sarip bisa digambarkan sebagai umat Tuhan nan saleh yang hormat setulus-tulusnya pada agama dan pemeluk agama lain, karena mereka toh sama-sama warga negara yang berhak beroleh penghargaan sederajat pula.
Lakon demi lakon yang menampilkan Sarip boleh dan memang harus — selalu dinamis, tapi senantiasa harus menyodorkan kejernihan kaca benggala bagi kita semua. Karena, di dalam ludruk, Sarip adalah si pembawa suara hati zaman tak terkecuali Sarip dalam lakon ini kali, tentunya.



MOHAMAD SOBARY, Budayawan.









(ambau.id/ilustrasi "Pertunjukan Teater Tradisional Turki" by www.123rf.com)

Comments