PUISI-PUISI KARYA MUNAWIR SAZALI, TUBAN: CERITA SENJA



PUISI-PUISI KARYA MUNAWIR SAZALI, TUBAN: CERITA SENJA





CERITA SENJA



Cahaya....
Mendekatlah, aku ingin bercerita
Hanya teruntuk dikau saja
Sebuah kisah tentang Putri Senja

Dari penjuru mana pun orang-orang mengenalnya
Begitu teduh sapa salam darinya
Pernah ada yang bercerita dengan ku tentangnya
Seketika itu pula aku terbakar rasa

Taukah mengapa?
Senja itu “Jingga”
Selalu ramah begimanapun mata memandangnya
Dia selalu menawarkan cerita yang berbeda
Pada kelopak mata yang terpana

Wahai Cahaya, Senja tak pernah memerah marah
Seperti merah bibirmu karena gincu
Sekalipun pada akhirnya
Berujung gelap dan gulita

Tuban, 05 Januari 2017


Embun Mengerti



Yang pernah rindu kini mulai melupakan
Yang pernah peduli kini mulai mengabaikan
Yang pernah mengasihi kini lantas melalaikan

Siang tak pernah pataah arang menurutimu
Mengikuti isi rasa yang bergairah dan susah
Malam tak pernah lupa menyelimutimu
Dalam ketenangan pula kebisingan
Mereka selalu menawarkan rasa yang tak sama dalam satu makna

Embun tidak pernah tertarik dengan terik matahari
Namun dia senantiasa lebur bersama kenangan rerumputan
Berpisah, mengangkasa, dan kembali
Bukan pada lembar daun yang sama

Adakan dia cemburu dengan embun yang lain?
Tidak!
Karena embun mengerti dia hanya bersemayam sementara
Dan bukan pengendali utama

06 Januari 2017



KERANJANG DEBU



Aku rindu akan bening mata air
Karena disetiap sudut kehidupanku
Telah keruh akan ketidaksanggupan diri
Menjadi manusia utuh kembali

Dunia adalah satu sumber lumbung perangainya
Dan tak pernah usai menjadi alas pemuas raga
dari masa terutusnya Adam Hawa
Hingga kini dan mungkin sampai nanti mereka andil bangkit kembali

Sejatinya yang kita pijaki dan  naungi
Tak lain adalah keranjang debu
Yang tak  memungkinan kita suci
Dari karat noda yang membelenggu
Namun harus diingat pula
Dunia juga cara
Menelusuri setapak jalan mencari cahaya
Merangkak meraba menuju ke hadirat-Nya

Baureno, 11 Januari 2017



KOPIKU TAK CUKUP PAHIT



Aku bersenandung
Karena aku tak pernah lelap ketika malam
Terlalu banyak waktu yang ku buang
Jika hanya merekat selaput mata yang ku utamakan

Kata selalu berderet manis menari-manari mengajakku
Mengajariku lagu rindu
Tentang hal yang basi untuk dibicarakan
Atau sekedar untuk dikenang

Aku suka bersenandung
Karena kopi tak cukup pahit dari malam-malamku yang lain
Aku tak pernah menyeduhnya
Ku telan begitu saja
Karena aku kawatir ampasnya ku buang sia-sia

Aku tak ingin sari dan ampas berpisah
Hanya karena egoku, harus memisah persahabatan atau bahkan mungkin perkawinan
Diriku  memilih bersenandung
Karena  aku mengerti kopi ku tak cukup pahit dari malam-malamku yang lain

2 Januari 2017
Makam Agung Kingking Tuban



MENGERING SEBELUM SAMPAI



Jauh langkah telahku tempuh
Jalan rumit pernah terurai
Kisah kasih liku cerita
Tertanam dalam, tak terlupa

Basah rindu berkaca-kaca
Kering keluh menanti asa
Ruang menyempit bersama hari
Tak kunjung usai, tak sampai sampai

Hujan menetes jatuh tak basah
Ia mengering sebelum sampai
Angin menepis berita
Jangan sampai bumi mendengar
Semua akan terhenti kala terbaca
Binar matamu oleh air mata

Baureno, 11 Januari 2017



* Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Kini aktif menjadi anggota Kostra Unirow Tuban.

Comments