OASE: HADIAH UNTUK PEGAWAI

OASE: HADIAH UNTUK PEGAWAI


(SUMBER: WWW.123RF.COM)

 

Sudah puluhan tahun Yan mengabdi kepada sebuah perusahaan kontraktor bangunan. Ia meniti karir sejak masih belia hingga sekarang, telah berkepala lima. Ya, usia 53 adalah saat yang tepat untuk mengakhiri karir. Yan selalu sadar, bahwa berhenti di saat puncak bahagia lebih baik daripada berhenti di saat terpuruk. Betapa menyakitkan! Betapa menyedihkan nasib seseorang yang berhenti pada saat terpuruk! Dan Yan tak ingin mengalami nasib seperti itu.
Ia pernah menjadi seorang buruh biasa, mandor, manajer pelaksana, manajer pegawai, manajer perencanaan, dan sebagainya. Sejak ia menjadi pegawai, bahkan sekarang ia telah mampu membina pegawai muda di kantornya. Betapa banyak hutang jasa perusahaan kepadanya. Tapi, Yan yakin bahwa berhenti pada saat puncak bahagia lebih baik daripada berhenti pada saat terpuruk. Ya, inilah saat ia sedang berada di puncak karir. 
Tapi ia sedang mengalami kejenuhan. Kelelahan batin yang hanya ia sendiri rasakan. Apa yang dicarinya dalam hidup ini? Pekerjaan? Ia telah mendapatkannya, bahkan sudah tiba hingga puncak tertanggi yang dapat dicapainya. Istri? Istrinya kurang cantik seperti siapa lagi? Ya, bahkan pekerjaan ini pula yang memberinya istri tercantik yang dibanggakannya. Istrinya adalah teman kerja yang juga pegawai muda yang dibinanya. Setelah menjadi istri, ia memutuskan berhenti dan menjadi ibu rumah tangga. "Aku ingin total menyambutmu di depan pintu. Tersenyum dan bersujud di kakimu setiap kamu pulang kerja. Aku ingin mengelap basah keringatmu. Dan mencium keningmu untuk setiap kepercayaan yang telah engkau juga." Begitulah ucapan istrinya ketika memutuskan berhenti bekerja.
Dan apalagi yang dicari Yan dalam hidup ini? Tapi kejenuhan ternyata tidak mengenal masa. Kelelahan yang mendera jiwa ternyata datang kepada siapa saja. Inilah saat yang tepat untuk pamit. Undur diri dari pekerjaan yang telah memberinya segala hal. 
"Saya memutuskan berhenti dari pekerjaan ini, dan ingin menikmati sisa hidup saya dengan tenang bersama istri saya." ujarnya kepada bosnya.
"Apakah gaji Pak Yan kurang besar?" tegur bosnya tersenyum.
"Tidak, Pak. Justeru berlebih. Bahkan, saya bingung untuk apa uang yang terus masuk ke dalam rekening saya. Kami tidak memiliki siapapun, hanya saya dan istri berdua di rumah. Makanan selalu kecukupan. Kami hanya ingin bersiap menyambut kematian. Syukur bila kami berdua dipanggil bersamaan."
"Lantas apa masalah Pak Yan? Ada pegawai yang nakal dan bikin tidak enak hati?"
"Pegawai semuanya baik kepada saya, Pak. Bahkan sangat baik. Ramah. Murah senyum. Dan peduli dengan persoalan bersama perusahaan kita. Seperti yang selalu kita tanamkan dan budayakan di perusahaan ini, baik kepada sesama pegawai maupun kepada konsumen."
"Lalu apa?"
"Ini hanya soal kejenuhan. Kelelahan. Apakah setiap kejenuhan dan kelelahan selalu butuh alasan,Pak?" tutur Yan sembari menangis. 
Bosnya terdiam dalam haru. Kedua tangan bos memegang pinggir meja. Ia menundukkan kepala menahan air mata. 
"Baiklah. Sebelum, engkau berhenti dan pensiun, tolong buatkan sebuah rumah terakhir untuk perusahaan ini. Aku ingin memberikan rumah itu sebagai hadiah kepada orang yang kucintai!"
Yan jengkel setengah mati. Hatinya meradang. Apa maksud bosnya ini? Bukankah ia telah mengabdi begitu lama di perusahaan ini? Inikah balasan bagi seorang pegawai terbaik? Yan segera ingat bahwa pegawai tetaplah pegawai, meski ia telah mencapai puncak karir tertinggi. Ia tidak akan pernah menjadi bos di perusahaan yang bukan miliknya sendiri. Ia segera sadar bahwa beginilah nasib seorang pegawai di ujung karirnya. Mencapai puncak, dan lantas dibuang ke jurang terdalam. Ia seperti limbung. Resah. Kejenuhan dan kelelahan bercampur kejengkelan.
Ia pun pamit dan menyanggupi tugas bosnya. Tapi, ia merasa tidak nyaman dengan beban pekerjaan yang harus dilakukan terakhir kali ini. Ia mengerjakan bangunan rumah tanpa perencanaan. Ukuran, bentuk, bahan dan pengerjaan dilaksanakan sembarang. Yang penting tuntas. Selesai. Beres. Dan ia segera dapat berhenti dari pekerjaan ini. Ia butuh istirahat. Tanpa butuh waktu lama, selesailah bangunan rumah itu. Dengan ukuran, bentuk, dan bahan seadanya. Yan segera melaporkan pekerjaan kepada bosnya dan menyerahkan kunci rumah.
Si Bos tersenyum kepada Yan. Memandang tajam pegawai terbaiknya itu.
"Pak Yan, kami berterima kasih banyak atas dedikasi bapak selama ini. Tidak ada hadiah terbaik yang pantas dan dapat kami berikan. Ambil saja kunci rumah itu. Tinggallah di rumah tersebut. Rumah tersebut kami hadiahkan kepada bapak. Bapak tidak dapat menolaknya. Kami akan kecewa dan sedih." ucap Bos.
Yan berdiri di atas kaki yang bergetar. Air matanya menetes. Tubuhnya serasa remuk dihantam badai. Inikah akhir dari perjalanan karirnya yang melelahkan?
(Diceritakan ulang oleh Hendy Masrukin)

Comments