(SUMBER: 123RF.COM)
Masa yang selalu berganti, hingga
gelap terang dunia
Kau tetap merasakan hal yang
sama Ayah...
Meski dunia ini begitu gelap
untukmu,
Namun kau selalu ikhlas
menjalani hidupmu meski tanpa cahaya
Tapi aku yakin hatimu seterang
lentera.
Tujuh tahun silam, sebelum kemalangan itu menimpa
Ayahku.Sebelum kecelakaan itu menimpa ayahku, dia adalah orang yang normal sama
seperti orang lain. Dia adalah sosok pekerja keras, periang dan juga sabar.
Kami hanya sebuah keluarga sederhana yang jauh dari kata mewah tapi kamu selalu
bersyukur atas nikmatNYA.
Di usianya yang sudah senja ayahku tetap mencari nafkah
untuk anak-anaknya. Jam kerja ayah tidak seperti yang lain. Disaat yang lain
tengah tertidur pulas, ayahku berangkat bekerja tengah malam dengan sepeda tua
yang setia menemaninya. Ya, ayahku seorang Cleaning
Servicedisebuah terminal ibukota. Setiap tengah malam sebelum bus-bus akan
diberangkatkan, ayahku mencuci bus-bus itu hingga bersih. Setiap malam ayahku
hampir membersihkan puluhan bus, dengan upah yang sangat kecil, ya hanya 10
ribu rupiah saja per bus. Sungguh harga yang tak pantas untuk sebuah pekerjaan
yang cukup keras. Namun ayahku ikhlas menjalani profesi itu demi seorang istri
dan dua anaknya.
Hatiku selalu menangis jika melihat ayah sedang bekerja,
badannya yang sudah tua renta harus mengerjakan semua itu dengan tenaganya yang
sudah rapuh. “Maafkan aku ayah, anakmu ini belum bisa membantumu dan
membahagiakanmu di saat umurmu yang semakin senja” hanya itu yang mampu ku
ucapkan untuk ayahku. Aku hanya bisa berdoa semoga kelak aku bisa
membahagiakanmu dan semoga segalanya belum terlambat untuk kau rasakan.
Sehabis pulang kerja aku selalu melihat ayah
memijit-mijit kakinya, aku tahu dia sangat kelelahan tapi dia tak pernah
mengeluh. Dia adalah sosok pahlawan dalam hidupku.
Malam itu Ayahku berangkat kerja seperti biasanya. Namun
naasnya dalam perjalanan menuju tempat kerjanya ayahku di tabrak sebuah mobil
yang melaju kencang. Ayahku terpental hingga tubuhnya terhempas ke tanah dengan
kerasnya. Namun mobil itu tetap melaju meninggalkan ayahku yang terkapar di
tanah.Darah mulai bercucuran yang keluar dari tubuhnya, ia masih sadar dan
meronta kesakitan sambil meminta pertolongan dan untung saja, ada beberapa
orang yang melihat kejadian itu lekas menolong Ayahku dan membawanya ke rumah
sakit terdekat.
Aku dan ibu yang diberi tahu pihak rumah sakit tentang
kejadian itu sangat terkejut. Ibu menangis histeris dan dengan segera aku, ibu
bersama adikku meluncur ke rumah sakit. Begitu kami tiba di rumah sakit, satu
diagnosa dokter yang membuat hatiku hancur ketika dia mengatakan bahwa ayahku
buta. Ya kata-kata itu membuat duniaku terasa gelap dan hancur, batinku
teriris. Ibu yang tak mampu menerima kenyataan itu akhirnya pergi meninggalkan
kami berdua.
Ayah hanya pasrah dan tak berbuat apa-apa. Dia rela ibu
pergi meninggalkan kami karena ia tak ingin menjadi beban hidup untuk kami.
Ayah juga menyuruhku pergi bersama ibu tapi aku menolak dengan keras, aku tak
mungkin tega meninggalkan ayahku sendiri yang kini tengah membutuhkan kami di
sampingnya.
Aku tahu ayah hanya berpura-pura tegar, aku selalu
mendengar ayah menangis di setiap malam. Dunia baru untuk ayahku begitu gelap.
“Ya Tuhan mengapa engkau begitu tega pada keluarga kami” kata itu yang selalu
saja ada di benakku. Ayah belum bisa melakukan apa-apa sendiri karena dunianya
yang menjadi gelap. Air mataku selalu bercucuran saat melihat ayah jatuh ketika
menabrak sesuatu yang ada di depannya, namun dia terus tersenyum dan mengatakan
bahwa dia baik-baik saja. “Tuhan kuatkan ayahku beri dia hati yang ikhlas”.
Kini waktu terus bergulir hingga tujuh tahun lamanya
ayahku masih saja bersama dengan dunianya yang gelap. Tapi kini, dia sudah
mulai terbiasa dan dapat melakukan segalanya sendiri tanpa bantuanku. Ayah tak
pernah berubah meski dengan dunianya yang gelap ia tetaplah sosok yang sabar
bahkan kini ia adalah sosok yang menjadi inspirasiku. Betapa tidak, dialah
orang yang menyadarkanku bahwa gelap tak selamanya menjadi buruk. Karena di
dalam hati kita ada cahaya yang akan menjadi pelita dan gelap bukanlah akhir
dari segalanya.
Ayahku memiliki seorang teman bernama Wisnu. Dia sangat
baik bahkan dia selalu membantu aku dan ayah. Dia menjadi sahabat ayahku dan
aku menganggap ia sebagai seorang paman.
Suatu malam yang gelap gulita, ayahku berpamitan pulang
dari rumah sahabatnya itu. Namun sang sahabat membekalinya dengan sebuah
lentera. Ayah menolak untuk menerimanya dan berkata “ Untuk apa aku membawa
lentera itu? Bukankah sama saja buatku! Tidak ada yang berubah semuanya tetap
gelap. Tak perlu, letakkan saja aku tetap bisa pulang!”.
Dengan lembut sahabatnya menjawab “Ini agar orang lain
bisa melihatmu, biar mereka tidak menabrakmu”. Akhirnya ayah setuju untuk
membawa lentera itu bersamanya.
Tak berapa lama dalam perjalanan, seorang pejalan kaki
menabrak ayahku. Ayahku terkejut, ia mengomel “Hei, kamu kan punya mata! Beri
jalan untuk orang buta” tanpa berbalas sapa, mereka pun saling berlalu.
Tak lama lagi setelah itu seorang pejalan lainnya
menabrak ayahku. Kali ini ayahku bertambah marah, “Apa kamu buta? Tidak bisa
lihat ya? Aku bawa lentera ini agar kamu bisa lihat!”
Pejalan itu menukas, “Kamu yang buta! Apa kamu tidak
lihat lenteramu padam!” ayah tertegun. Menyadari situasi itu, pejalan itu
meminta maaf, “Oh, maaf. Sayalah yang ‘buta’, saya tidak melihat bahwa Anda
adalah orang buta.” Ayah tersipu menjawab, “Tidak apa-apa, maafkan saya juga
atas kata-kata kasar saya” dengan tulus si pejalan membantu menyalakan kembali
lentera yang di bawa ayah. Mereka pun melanjutkan perjalanan mereka
masing-masing.
Sesampainya ayah di rumah dia menceritakan hal itu
padaku. aku menangis lalu kudekap erat ayahku. Aku bertanya padanya “Yah, tidak
kah ayah merindukan dunia yang terang?”. Dengan sabar dan tersenyum ayah
menjawab, “Rindu, kata itu terdengar indah sayang. Bahkan ayah sendiri hampir
lupa bagaimana bentuk dunia yang terang itu”. Jawaban ayah membuat air mataku
tumpah bagai derasnya hujan di tengah malam.
Ayah memelukku dan mengelus rambutku, ia bertanya “Mengapa
kau menangis sayang? Apa kau malu memiliki ayah yang buta?”.
“Aku hanya sedih ya. Mengapa Tuhan begitu tega pada ayah,
dan mengapa aku mesti malu jika aku memiliki ayah yang buta. Aku seharusnya
berbangga diri karena memiliki seorang ayah yang begitu bijaksana dan sabar,
belum tentu mereka bisa seperti ayah”
ujarku sambil menangis.
“Kau tak boleh menyalahkan Tuhan sayang, ini adalah
kehendaknya dan ayah yakin ini yang terbaik buat ayah yang Ia berikan. Kita
harus mensyukuri segala nikmat bukan?” kata ayah sambil tersenyum.
Kutatap wajah ayahku yang semakin renta dimakan usianya.
Satu penyesalanku aku belum bisa membuatnya bahagia di usianya yang semakin
senja. Tapi, Tuhan akan selalu ada untuk orang-orang yang ikhlas dan sabar.
Tarakan,
1 Juni 2017
Comments
Post a Comment