CERITA PENDEK INUNG SETYAMI: SENJA DI LAGUNA





(SUMBER: WWW.123RF.COM)

          “Menatap wajahmu, kemaraupun serupa musim hujan. Kau selalu menyuka hujan dan aku selalu menyuka apapun yang selalu kau suka, Jati.”
Begitulah dulu kau pernah berkata  padaku. Kau memang penyair, jika kau terlalu banyak berkata, kata-katamu selalu membuatku terkesima. Kau selalu nyinyir berkata ini dan itu di depanku, membuatku selalu tersanjung. Kata-katamu cerdas dan licin, begitu saja tergelincir dari lidahmu tanpa perlu kau pikir, menyihirku untuk mempercayaimu. Seperti tukang sihir dalam dongeng anak-anak Hansel dan Gratel, yang membujuk anak-anak dengan rumah gula-gulanya. Menjebak dengan rasa manis yang pahit!
Mungkin kau telah lupa, berapa jumlah puisi yang kau cipta tak sengaja dan pernah kau ucapkan di hadapanku,  sebagai pembuktian cintamu padaku. Apa makna sederetan kata-kata yang kau rangkai menjadi puisi itu. Barangkali hanya untuk sekedar basa-basi atau satu-satunya caramu membuat aku jatuh cinta tak berkesudahan. Aku mendengarnya, aku merasakannya, aku menyimpannya walau kini tinggal kenangan yang mengendap serupa ampas kopi dalam cangkir yang mendingin. Tersisa dan tak ada yang ingin meneguknya. Pahit!
Entah, mengapa kau begitu mudah lupa, padahal kau tidak sedang mengidap amnesia. Satauku kau sangat cerdas dan menyuka hal-hal spontanitas. Dan spontanitasmu selalu membuatku merasa ingin selalu di dekatmu. Begitu cerdasnya engkau, hingga membuat aku tak pernah tahu bagaimana caranya aku mampu melupakanmu. Bagaimana cara mengakhiri rasaku padamu. Rasa yang seharusnya menjadi basi ini, mengapa aku masih saja menyimpannya lekat-lekat dalam ingatan. Rapat-rapat dalam perasaan. Aku selalu mencari cara, bagaimana menghabiskan cinta ini? Aku tak pernah lelah mencari cara, namun semakin kucari, cinta yang basi tentangmu kian mengental dalam ingatan. Sekental dan semanis creamer.
Aku akan terus mencari cara bagaimana menemukan rasa lelah mencintaimu? Lalu aku akan pergi tanpa sedikitpun kenangan tentangmu. Aku akan pergi tanpamu, seperti kau pergi tanpaku. Namun  tetap saja, kau mampu membuatku serupa seekor lalat yang terjerat tak berdaya  di jaring laba-laba.
Senja di cafe Laguna, tempat pertama kita berjumpa. Senja itu, kukira kau akan menyodorkan sederetan kata-kata yang telah kau sulap menjadi puisi. Tapi senja itu aku salah menerka! Senja di laguna, tak ada puisi, tak ada cengkerama. Kau hanya berkata-kata. Kata-kata yang tak kuduga sebelumnya. Kata-kata yang paling membuatku terkejut. Kejutan yang menusuk!
“Aku menyukai apa yang kau suka, Jati. Aku tahu kau suka berkata apa adanya, maka aku ingin berkata apa adanya padamu.” Ucapmu waktu itu. Ucapan yang terasa asing di pendengaranku. Tak biasa ia berkata dengan cara demikian. Cara yang kaku. Cara-cara lelaki yang tak suka basa-basi. Ia berkata tanpa menggengam dan meremas jemariku di atas meja. Juga tanpa menatapku. Ini sungguh cara yang tak biasa.
            Secangkir capucino di atas meja mulai dingin. Sedingin hatiku kali ini. Ada apa denganmu? Barangkali kau ingin berpuisi dengan cara yang tak biasa, pikirku. Tapi cara kali ini sungguh cara-cara biasa. Cara-cara pengungkapan perasaan yang sangat konvensional. Cara-cara yang membuat aku bertanya-tanya. Ada apa denganmu? Ataukah kau ingin mengatakan sekali lagi bahwa kau mencintaiku? Pikirku. Kurasa tidak. Aku sangat mengenalmu. Kau tak suka hal-hal yang selalu diulang. Ataukah kau ingin mengatakan sesuatu yang selalu kutunggu. Memintaku menjadi istrimu barangkali?
“Tentang apa?” Kataku. Menahan dingin dari serbuan angin senja. Juga menunggu apa yang akan kau katakan dengan perkataan yang menurutmu apa adanya itu.
“Tentang kita.” Katamu
“Kita?” Tanyaku, Dia hanya mengangguk tanpa ekspresi
“Aku mencintai perempuan lain. Seperti dulu aku pernah mencintaimu, Jati.” Katamu tanpa ragu.
Lalu aku tak bisa berkata-kata lagi. Aku tak bertanya-tanya lagi, bukankah perkataannya sudah sangat jelas, bahwa kini ia tak lagi mencintaiku. Aku merasa ada ombak yang bergulung menyesak dada. Menghantam karang keingintahuanku tentang siapa perempuan yang menjerat hatimu. Siapa perempuan yang membuatmu mampu mencintainya seperti dulu kau pernah mencintaiku, namun aku menepis keinginan konyol itu. Sudah cukup luka aku mendengar pengakuanmu. Aku tak ingin menambah luka lagi.
Kupandangi kau. Kau diam tak bergeming. Mataku terasa penuh oleh kepedihan, rasa pedih yang tak lama lagi akan tumpah, tapi aku menahannya. Aku tak ingin terlihat begitu lemah di hadapanmu. Bukankah dulu aku selalu meminta padamu, aku tak ingin ada yang ditutup-tutupi diantara kita berdua. Aku ingin kita saling mengerti, tentang apapun itu. dan kini aku harus mengerti apa yang kau ucapkan barusan.   
 “Maafkan aku Jati. Aku hanya ingin berkata apa adanya padamu.” Ia menatapku. Aku tak mampu membendung air mata. Tumpah sudah segala kepedihan. Air mataku senja ini, serupa air hujan tergenang di halaman.  Jika perempuan itu bukan aku, mungkin ia sudah menampar atau bahkan meludahimu. Tapi tidak dengan aku. Aku masih mencintaimu. Dan aku bisa menghargai kejujuranmu yang menyakitkan itu. tapi pernah kah kau tahu, Aku tak pernah berpura-pura dengan perasaanku padamu. Aku tak mampu berpura-pura seperti kau berpura-pura padaku dengan puisi-puisimu. Aku tetap mencintaimu.

*          *          *

            Di cafe laguna ini, kita pertama bertemu. Ditempat ini, kau akui kejujuranmu. Entah sampai kapan aku menemukan rasa bosan untuk duduk manis menikmati senja dan secangkir capucino seorang diri. Memutar ulang segala tentangmu. Di sini. Hanya sendiri!
Persis di meja itu, dulu kita pernah duduk berdua, bersama menikmati indahnya suasana, juga usapan angin yang bertiup manja.  Kini aku duduk di meja yang lain pada suasana yang lain pula. Tempat ini memang masih sama seperti dulu, hanya saja, kini tak ada kau di dekatku. Masih kulihat, segerumbul teratai menyuguhkan ranum bunga merah muda. Juga kolam dengan air yang jernih, dihiasi segerombol ikan warna-warni yang menari tak henti-henti. Barangkali kau telah lupa. “Kolam itu jernih serupa matamu. Aku ingin menjadi ikan yang selalu menghuni kolam itu.” ucapmu pada suatu senja. Senja yang dulu. Kini tak ada kau di hadapanku. Kursi kayu di depanku tampak beku. Capucino di depanku tak lagi mengundang selera. Akan kubiarkan ia mendingin dalam cangkir yang tak kusentuh.
Di meja itu, tempat kita sering duduk berdua, kini sudah ada yang menempati. Seorang lelaki dan perempuan. Entah mengapa, ekor mataku ingin selalu melirik sepasang kekasih itu. Mereka serupa siluet aku denganmu setahun yang lalu. Ya lelaki itu persis kau, tetapi perempuan itu bukan aku! Aku melihat perempuan itu terisak begitu keras di hadapan sang lelaki. Ia meronta-ronta. Ia memegang lengan kekasihnya kuat. Ia terlihat tak ingin sendirian ditinggalkan. Namun lelaki itu menepisnya dengan kasar. Perempuan itu menampar. Lelaki itu juga menampar. Lamat-lamat kudengar adu mulut, Ribut, diiringi alunan musik sendu. Suasana yang aneh. Aku semakin tak tertarik melihat dua pasang kekasih itu. Segera kutinggalkan tempat ini. Beberapa langkah aku berjalan, seseorang meraih tanganku. Menghentikan langkahku. Sungguh aku tak menduga, jika lelaki itu adalah kau. Tiba-tiba saja kau di hadapanku.
“Jati, maafkan aku, maukah kau kembali padaku. Aku menyadari, hanya kau satu-satunya perempuan yang sesungguhnya aku cinta. Maafkan aku Jati.” Ucapmu. Namun kali ini aku sungguh tak berselera mendengar kata-katamu. Kata-kata yang puisi atau kata-kata yang apa adanya itu. Tentu aku tak ingin kau meninggalkanku untuk yang kedua kalinya. Bukankah aku telah melihat tingkahmu, kau gemar bermain-main dengan cinta. Dan tidak hanya aku yang kau lukai, tetapi semua perempuan yang mencintaimu. Juga perempuan itu, perempuan yang dulu membuatmu mampu mengingkari janji setiamu padaku!   
Aku terus melangkah tanpa menggubrismu. Aku salah perhitungan menilaimu. Senja esok, aku tak akan kembali ke tempat ini. Aku sudah punya cara melupakanmu. Aku akan menghapus tentangmu dari lemari ingatanku, kututup rapat. Aku kunci. Dan kunci itu kubuang ke lautan. Lautan yang tak ada seorangpun yang mampu menyelaminya.  

* cerpen ini telah dirangkum dalam antologi cerpen Catatan Bulan Desember

Comments