(SUMBER: WWW.123RF.COM)
Ini adalah untuk kesekian kalinya
Minah menghela napas. Masygul. Mungkin bukan karena uangnya habis sehingga
kebutuhan sehari-harinya menjadi agak terhambat. Bukan. Bukan itu penyebabnya.
Baru saja Imam, orang yang sejak sebulan silam dikenalkan kepadanya sebagai
ustadz, menyampaikan sebuah keputusan mengejutkan.
Barangkali bukan sebuah keputusan.
Tapi, ralat atas sebuah keputusan, yang untuk kesekian kali diterimanya.
“Mas takut, Dik.” Demikian alasan
Imam.
“Apa yang membuat Mas takut?” tanya
Minah pelan. Takut menambah kalut perasaan Imam.
“Tidak mampu memberimu kebahagiaan.”
“Aku siap menerima segalanya, Mas.”
“Engkau rendah hati, Dik”
Lalu telpon itu seperti terputus.
Tapi, bukanlah telpon itu rusak atau kabelnya terputus. Suara keduanya hanya
terhenti. Keduanya asyik menikmati perasaan yang saling berkecamuk di pikiran
dan hati masing-masing.
Minah sebenarnya sudah agak bosan
mendengar ucapan Imam tersebut. Tapi sungguh ia sudah terbiasa. Sejak pertama
kali dulu ia mendengar suara Imam.
“Sudahlah, Dik. Kita shalat istikharah
dulu. Seminggu lagi aku akan menelpon. Mudah-mudahan aku sudah mendapatkan
kemantapan. Kuharap engkau juga ikut istikharah sehingga Tuhan semakin
memantapkan hati kita.”
Lalu telpon benar-benar ditutup.
Tidak ada lagi suara yang terdengar di telinga Minah. Minah masih duduk di
kursi dekat meja telpon. Bunga di atas meja belum juga mekar. Padahal sudah
sebulan yang lalu ditaruh di atas meja itu, persis saat-saat pertama harapan
itu disampaikan Imam kepadanya. Imam telah memohon kepadanya untuk sedia
menjadi istri.
Mula-mula keduanya memang tak bersua
secara langsung. Adalah Mbak Reni, kakak Imam yang mengenalkan keduanya.
“Dik Minah sudah ada yang nyambung?”
Minah belum paham.
“Sudah punya pacar? Calon suami?”
Minah tersipu. Inilah yang membuat
banyak lelaki sebenarnya jatuh hati kepadanya. Bila tersipu, tampaklah rona
merah di wajahnya.
“Dik Minah kan sudah wisuda.
Saatnya mendapatkan jodoh yang sejoli,” ujar Mbak Reni. Mbak Reni, selain
senior Minah di kampus, juga kakak kostnya sejak mula kuliah. Dari Mbak
Reni-lah Minah banyak belajar; tentang segala hal. Sehingga, saat wisuda yang
lalu, Minah terpilih sebagai wisudawan terbaik, cumlaude. Karena itulah, Minah sudah menganggap Mbak Reni seperti
kakak kandungnya sendiri.
“Kalau engkau berkenan, Mbak punya
adik laki-laki. Imam, namanya. Ia sudah bekerja jadi dosen. Sampai sekarang
masih lajang. Maklum, ia termasuk pria bertipe pemalu. Mau kukenalkan
dengannya?” terus Mbak Reni.
Dan selanjutnya, terjadilah
peristiwa itu. Sambil membawa beberapa oleh-oleh, Mbak Reni mengenalkan Imam kepada Minah. Minah lebih banyak diam.
Demikian halnya dengan Imam.Jadilah pertemuan itu tanpa suara. Mbak Reni yang
sudah berada di dalam rumah, dan tidak mendengar sepatah katapun dari ruang
tamu segera keluar lagi.
“Mam, Minah itu pintar, lho!
Cantik lagi. Jangan tanya tentang perilakunya, secantik wajahnya!” ujar Mbak
Reni sambil tersenyum.
Dari sinilah Imam dan Minah mulai
berani saling bertatap muka. Dan dilanjutkan dengan telpon Imam yang pertama,
malam hari setibanya di Pajajaran.
“Lagi ngapain, Dik Minah?”
Basa-basi. Dingin. Dan Minah juga
masih menahan diri. Meski hatinya mulai merasakan ada tunas bunga yang tumbuh
di dalamnya. Bunga cinta.
“Baca-baca. Menyiapkan pelajaran
untuk anak-anak di sekolah, besok.”
“Berarti mengganggu?”
“Nggak, kok.”
“Ngomong-omong, menurut Dik Minah bagaimana?”
“Maksud, Mas Imam?”
“Bagaimana menurut Dik Minah,
tentang orang pacaran?”
“Ada apa dengan orang pacaran?”
“Maksud Mas, apakah Dik Minah
bersedia pacaran?”
Lalu, sejak itulah perbincangan
ditelpon diteruskan. Lalu tibalah telpon yang bikin masygul itu.
“Dik Minah, aku kok jadi
takut.”
“Maksud, Mas Imam?”
“Aku takut tak mampu memberikan
kebahagiaan.”
“Aku siap, kok.”
“Bagaimana kalau kita menikah dengan
syarat?”
“Maksud, Mas?”
“Dik Minah, bagaimana aku harus
menjelaskan? Maksudku begini, dalam bulan ini juga kita akan menikah. Tapi, aku
ingin memberikan kebebasan kepada Dik Minah. Bila sewaktu-waktu kecewa dalam
perjalanan nanti, Dik Minah silakan mengambil keputusan. Apakah ikatan keluarga
itu akan diteruskan atau tidak.”
Minah kaget. Tapi ditahannya. Apa
sebenarnya yang dirahasiakan oleh Imam, dan apa maksud ucapannya tadi. Lalu,
perbincangan itu tidak terselesaikan. Meski ditutup dengan salam, masing-masing
masih menyimpan sesuatu yang mengganjal. Minah menahan air matanya.
Tapi, usaha Minah untuk menahan air
mata itu ada gunanya. Esok malamnya ada telpon dari Imam.
“Dik, sepertinya kita jadi menikah
bulan ini juga, kok. Aku sudah shalat istikharah. Aku mantap,
Dik.”
Minah lega. Tunas bunga itu kembali
serasa tumbuh di hatinya. Bunga cinta.
“Aku siap, Mas.” Ya, apalagi yang
harus dipikirkan Minah. Kuliah sudah selesai. Saat ini sudah bekerja menjadi
guru di sebuah SLTP. Imam juga telah bekerja. Jadi dosen di sebuah Perguruan
Tinggi di Pajajaran.
Lalu, telpon itu ditutup dengan
salam. Masing-masing membawa mimpi. Lalu, perbincangan diteruskan lewat SMS.
Kadang saling mengetuk hati lewat miscall. Saling menyapa. Meski, telah
lewat tengah malam.
Tapi, tiba-tiba telpon berdering
lagi dari Pajajaran, Imam.
“Dik, apakah Dik Minah telah siap?”
“Maksud, Mas Imam?” Minah santai. Ia
ingin memberikan kesan kepada Imam, bahwa dirinya wanita dewasa. Itu berarti
telah siap segalanya, untuk meniti maghligai rumah tangga.
“Apakah Dik Minah sedia menerimaku
apa adanya? Aku takut mengecewakan kamu, Dik?” Dan, Minah tak bisa berucap
apa-apa. Diam. Memberi kesempatan Imam untuk menyuarakan pikiran dan hatinya.
“Kalau kita saling menjajagi
dulu, bagaimana?”
“Maksud, Mas?”
“Kita menikah dengan syarat. Kita
saling menjajagi dulu. Nanti kalau Dik Minah kecewa, Dik Minah bisa
langsung bicara.”
“Jadi, nikahnya?”
“Menurut Dik Minah, bagaimana?”
Minah tak sanggup bersuara. Ia
berpikir banyak hal tentang lelaki yang suaranya telah berulangkali di
dengarnya itu, meski wajahnya baru sekali ditatapnya. Lalu, seperti biasa,
telpon itu ditutup dengan uluk salam. Minah benar-benar mulai kelabakan dengan
Imam. Dalam hatinya ia semakin ragu. Setidaknya ia mulai menilai Imam sebagai
sosok misterius. Meskipun dikenalkan sebagai sosok ustadz. Tapi tetap saja ia
misterius.
Dan, saat ini adalah telpon yang
kesekian kalinya. Lalu, Minah kembali terduduk di kursi itu, di dekat meja yang
di atasnya terdapat bunga. Tapi, masih seperti dulu, sekitar sebulan yang lalu.
Bunga itu tak kunjung mekar. Dan, tunas bunga yang mulai tumbuh di hati Minah,
pun seakan bimbang. Bunga itu, bunga cinta itu, hidup di antara mekar dan layu.
Minah tak juga beranjak, masih melihat bunga di atas meja. Di antara bunga itu
ia seperti melihat Imam menebar cinta. Menebar janji palsu. Menebar harapan
palsu. Cinta berbungkus modus.
Comments
Post a Comment