USTADZ CINTA: CERITA PENDEK MUHAMMAD THOBRONI





(SUMBER: WWW.123RF.COM)


Ini adalah untuk kesekian kalinya Minah menghela napas. Masygul. Mungkin bukan karena uangnya habis sehingga kebutuhan sehari-harinya menjadi agak terhambat. Bukan. Bukan itu penyebabnya. Baru saja Imam, orang yang sejak sebulan silam dikenalkan kepadanya sebagai ustadz, menyampaikan sebuah keputusan mengejutkan.
Barangkali bukan sebuah keputusan. Tapi, ralat atas sebuah keputusan, yang untuk kesekian kali diterimanya.
“Mas takut, Dik.” Demikian alasan Imam.
“Apa yang membuat Mas takut?” tanya Minah pelan. Takut menambah kalut perasaan Imam.
“Tidak mampu memberimu kebahagiaan.”
“Aku siap menerima segalanya, Mas.”
“Engkau rendah hati, Dik”
Lalu telpon itu seperti terputus. Tapi, bukanlah telpon itu rusak atau kabelnya terputus. Suara keduanya hanya terhenti. Keduanya asyik menikmati perasaan yang saling berkecamuk di pikiran dan hati masing-masing.
Minah sebenarnya sudah agak bosan mendengar ucapan Imam tersebut. Tapi sungguh ia sudah terbiasa. Sejak pertama kali dulu ia mendengar suara Imam.
“Sudahlah, Dik. Kita shalat istikharah dulu. Seminggu lagi aku akan menelpon. Mudah-mudahan aku sudah mendapatkan kemantapan. Kuharap engkau juga ikut istikharah sehingga Tuhan semakin memantapkan hati kita.”
Lalu telpon benar-benar ditutup. Tidak ada lagi suara yang terdengar di telinga Minah. Minah masih duduk di kursi dekat meja telpon. Bunga di atas meja belum juga mekar. Padahal sudah sebulan yang lalu ditaruh di atas meja itu, persis saat-saat pertama harapan itu disampaikan Imam kepadanya. Imam telah memohon kepadanya untuk sedia menjadi istri.
Mula-mula keduanya memang tak bersua secara langsung. Adalah Mbak Reni, kakak Imam yang mengenalkan keduanya.
“Dik Minah sudah ada yang nyambung?”
Minah belum paham.
“Sudah punya pacar? Calon suami?”
Minah tersipu. Inilah yang membuat banyak lelaki sebenarnya jatuh hati kepadanya. Bila tersipu, tampaklah rona merah di wajahnya.
“Dik Minah kan sudah wisuda. Saatnya mendapatkan jodoh yang sejoli,” ujar Mbak Reni. Mbak Reni, selain senior Minah di kampus, juga kakak kostnya sejak mula kuliah. Dari Mbak Reni-lah Minah banyak belajar; tentang segala hal. Sehingga, saat wisuda yang lalu, Minah terpilih sebagai wisudawan terbaik, cumlaude. Karena itulah, Minah sudah menganggap Mbak Reni seperti kakak kandungnya sendiri.
“Kalau engkau berkenan, Mbak punya adik laki-laki. Imam, namanya. Ia sudah bekerja jadi dosen. Sampai sekarang masih lajang. Maklum, ia termasuk pria bertipe pemalu. Mau kukenalkan dengannya?” terus Mbak Reni.
Dan selanjutnya, terjadilah peristiwa itu. Sambil membawa beberapa oleh-oleh, Mbak Reni mengenalkan  Imam kepada Minah. Minah lebih banyak diam. Demikian halnya dengan Imam.Jadilah pertemuan itu tanpa suara. Mbak Reni yang sudah berada di dalam rumah, dan tidak mendengar sepatah katapun dari ruang tamu segera keluar lagi.
“Mam, Minah itu pintar, lho! Cantik lagi. Jangan tanya tentang perilakunya, secantik wajahnya!” ujar Mbak Reni sambil tersenyum.
Dari sinilah Imam dan Minah mulai berani saling bertatap muka. Dan dilanjutkan dengan telpon Imam yang pertama, malam hari setibanya di Pajajaran.
“Lagi ngapain, Dik Minah?”
Basa-basi. Dingin. Dan Minah juga masih menahan diri. Meski hatinya mulai merasakan ada tunas bunga yang tumbuh di dalamnya. Bunga cinta.
“Baca-baca. Menyiapkan pelajaran untuk anak-anak di sekolah, besok.”
“Berarti mengganggu?”
“Nggak, kok.”
“Ngomong-omong, menurut Dik Minah bagaimana?”
“Maksud, Mas Imam?”
“Bagaimana menurut Dik Minah, tentang  orang pacaran?”
“Ada apa dengan orang pacaran?”
“Maksud Mas, apakah Dik Minah bersedia pacaran?”
Lalu, sejak itulah perbincangan ditelpon diteruskan. Lalu tibalah telpon yang bikin masygul itu.
“Dik Minah, aku kok jadi takut.”
“Maksud, Mas Imam?”
“Aku takut tak mampu memberikan kebahagiaan.”
“Aku siap, kok.”
“Bagaimana kalau kita menikah dengan syarat?”
“Maksud, Mas?”
“Dik Minah, bagaimana aku harus menjelaskan? Maksudku begini, dalam bulan ini juga kita akan menikah. Tapi, aku ingin memberikan kebebasan kepada Dik Minah. Bila sewaktu-waktu kecewa dalam perjalanan nanti, Dik Minah silakan mengambil keputusan. Apakah ikatan keluarga itu akan diteruskan atau tidak.”
Minah kaget. Tapi ditahannya. Apa sebenarnya yang dirahasiakan oleh Imam, dan apa maksud ucapannya tadi. Lalu, perbincangan itu tidak terselesaikan. Meski ditutup dengan salam, masing-masing masih menyimpan sesuatu yang mengganjal. Minah menahan air matanya.
Tapi, usaha Minah untuk menahan air mata itu ada gunanya. Esok malamnya ada telpon  dari Imam.
“Dik, sepertinya kita jadi menikah bulan ini juga, kok. Aku sudah shalat istikharah. Aku mantap, Dik.”
Minah lega. Tunas bunga itu kembali serasa tumbuh di hatinya. Bunga cinta.
“Aku siap, Mas.” Ya, apalagi yang harus dipikirkan Minah. Kuliah sudah selesai. Saat ini sudah bekerja menjadi guru di sebuah SLTP. Imam juga telah bekerja. Jadi dosen di sebuah Perguruan Tinggi di Pajajaran.
Lalu, telpon itu ditutup dengan salam. Masing-masing membawa mimpi. Lalu, perbincangan diteruskan lewat SMS. Kadang saling mengetuk hati lewat miscall. Saling menyapa. Meski, telah lewat tengah malam.
Tapi, tiba-tiba telpon berdering lagi dari Pajajaran, Imam.
“Dik, apakah Dik Minah telah siap?”
“Maksud, Mas Imam?” Minah santai. Ia ingin memberikan kesan kepada Imam, bahwa dirinya wanita dewasa. Itu berarti telah siap segalanya, untuk meniti maghligai rumah tangga.
“Apakah Dik Minah sedia menerimaku apa adanya? Aku takut mengecewakan kamu, Dik?” Dan, Minah tak bisa berucap apa-apa. Diam. Memberi kesempatan Imam untuk menyuarakan pikiran dan hatinya.
“Kalau kita saling menjajagi dulu, bagaimana?”
“Maksud, Mas?”
“Kita menikah dengan syarat. Kita saling menjajagi dulu. Nanti kalau Dik Minah kecewa, Dik Minah bisa langsung bicara.”
“Jadi, nikahnya?”
“Menurut Dik Minah, bagaimana?”
Minah tak sanggup bersuara. Ia berpikir banyak hal tentang lelaki yang suaranya telah berulangkali di dengarnya itu, meski wajahnya baru sekali ditatapnya. Lalu, seperti biasa, telpon itu ditutup dengan uluk salam. Minah benar-benar mulai kelabakan dengan Imam. Dalam hatinya ia semakin ragu. Setidaknya ia mulai menilai Imam sebagai sosok misterius. Meskipun dikenalkan sebagai sosok ustadz. Tapi tetap saja ia misterius.
Dan, saat ini adalah telpon yang kesekian kalinya. Lalu, Minah kembali terduduk di kursi itu, di dekat meja yang di atasnya terdapat bunga. Tapi, masih seperti dulu, sekitar sebulan yang lalu. Bunga itu tak kunjung mekar. Dan, tunas bunga yang mulai tumbuh di hati Minah, pun seakan bimbang. Bunga itu, bunga cinta itu, hidup di antara mekar dan layu. Minah tak juga beranjak, masih melihat bunga di atas meja. Di antara bunga itu ia seperti melihat Imam menebar cinta. Menebar janji palsu. Menebar harapan palsu. Cinta berbungkus modus.

Comments