CERITA PENDEK INUNG SETYAMI, TARAKAN: LELAKI DARI LANGIT

CERITA PENDEK INUNG SETYAMI, TARAKAN: LELAKI DARI LANGIT  



Lelaki dari Langit
 
Aku sudah menutup rapat hatiku. Menguncinya. Dan kunci itu telah kulempar jauh ke dasar samudera ingatanku. Takkan ada yang menemukan kunci dan membuka pintu hatiku itu. Aku tak memungkiri sungguh takut aku dengan perasaan jatuh cinta. Karena sedemikian luka aku dibuatnya. Sejak dulu, aku tak pernah merasakan bahwa cinta mampu membuat hari-hari menjadi indah. Ia hanya mendatangkan kegelisahan-kegelisahan yang tak beraturan. Datang dan pergi tak berkesudahan.  Sungguh, tak ingin aku jatuh dalam cinta.
Dan ini bukan keinginanku, jika ada seseorang datang membawa kunci itu. Membuka perlahan pintu hatiku tanpa kusadari. Seseorang itu bernama lelaki. Lelaki dari langit, demikian aku menyebutnya. Aku tak merasa ini terlalu berlebihan, karena demikianlah adanya. Barangkali lelaki itu kiriman dari Tuhan. Lelaki yang memiliki martabat dalam diri kelelakiannya. Mampu menjaga cinta tanpa rasa pura-pura. Seumpama aku adalah bunga, tak pernah ia ingin memetiknya. Pun jika aku adalah porselen, dia akan menjaga agar aku tetap mengkilap, tak retak ataupun pecah.  
Pernah, pada malam yang dingin, lelaki itu ingin menciumku. Aku menampiknya. Kata orang Perancis, ciuman itu bagai anggur di dalam botol. Ketika sudah terbuka tutupnya, dan menikmati tetesan pertamanya, tak seorangpun akan mampu bertahan untuk tak menikmati tetes demi tetes berikutnya. Tak salah, jika Cinta adalah sebuah anugerah. Tanpa cinta, hati manusia mati. Tapi ciuman? Tak sepenuhnya sebagai tanda cinta bukan?  Barangkali, itu hanya serupa bunga-bunga birahi yang hanya akan mengurangi kemurnian cinta.     
#          #          #
“Aku pernah melihatmu.” Katanya tiba-tiba. Saat lampu merah menyala dan ia menghentikan motornya tepat di sebelah kananku. Aku diam saja. Tak perlu aku menanggapi, pikirku. Aku tak mengenalinya, wajahnya terbalut slayer dan helm. Tak lama, lampu menyala hijau. Aku melaju.
“Hei...” Katanya lagi. Aku terkejut. Rupanya ia menguntitku dari belakang. Tak kubalas sapaannya. Buat apa pikirku. Lalu ia membuka slayer dan kaca helm. Tampak sepasang matanya menatapku.  Aku tetap tak mengenalinya. Wajah itu masih asing bagiku.  
“Kau Jati, kan?” Tanyanya. Aku mengangguk saja. Aku melaju. Kulirik kaca spion, rupanya ia masih mnguntitku dari belakang. Beberapa kilometer perjalanan, aku kembali dihadang lampu merah dan ia kembali ada di sampingku.
“Benarkan, kamu Jati?” Ucapnya
“Maaf, Mas ini siapa ya?” Tanyaku
“Aku sering melihatmu di kampus. Aku Binarung.” Ia mengulurkan tangan. Kujabat tangan itu walau sebenarnya aku enggan. Hanya sekedar menghargainya saja. 
“Jati, boleh aku minta nomor HPmu?” Katanya
“Maaf, tak ada.” Kataku. Terpaksa aku berbohong. Sungguh aku tak tertarik berkenalan dengan lelaki itu. Ujung-ujungnya dia hanya akan meneleponku tak kenal waktu, membicarakan hal-hal tak penting, mengirim sms-sms tak penting, lalu mengajakku jalan-jalan yang tak penting pula. Entah, Aku lebih suka mengusik teori-teori daripada terusik oleh lelaki itu.
#          #          #
“Jati, kutunggu kau di kantin Bonbin.” Begitulah bunyi SMS di HPku. Siapa pula nomor tak dikenal ini masuk ke HPku. Aku segera ke kantin, tapi bukan karena SMS tak dikenal itu, melainkan karena panggilan perut. Kuayunkan kaki, menuju kantin mencari meja kosong. Di ujung sana ada seseorang yang memanggil dan melambaikan tangan padaku. Rupanya lelaki itu lagi, aku mendekat dengan kecewa. Lelaki yang kemarin menguntit dan minta nomor HPku. Dari mana pula ia tahu nomor HPku, aku tak memberikan padanya.
“Hei Jati...kau lupa padaku ya? Katanya. Aku diam saja. 
“Aku Binarung.”
“Sengaja aku meminta nomor HPmu dari teman.” Katanya tiba-tiba. Mungkinkah ia mampu membaca pikiranku hingga berkata demikian. Namun sengaja tetap tak kugubris perkataannya.
“Kau duduk saja. Aku sudah memesan makanan kesukaanmu.” Pintanya. Aku menurut. Duduk diam di hadapannya. Sebenarnya aku lebih suka duduk sendiri, tanpa harus ada dia di hadapanku, hanya saja tak mungkin aku mengusirnya. Sok tahu sekali lelaki ini, pikirku. Tapi dia benar-benar tahu makanan kesukaanku. Terbukti, pelayan itu membawa makanan kesukaanku. Dari mana pula lelaki ini tahu makanan kesukaanku, tanyaku dalam hati.
“Ya, aku  tahu! Kau suka bakso kuah bukan? Aku sering melihatmu menikmati semangkok bakso di tempat ini. Dan teman-teman yang lain akan geleng-geleng kepala saat kau menyendok sambal terlalu banyak. Kau suka pedas bukan?” celotehnya. Aku tertawa nyengir.
“Hmmm, kau juga tidak doyan mie bukan? Apa sih yang tidak aku tahu tentangmu, Jati.” Katanya, membuatku sedikit muak untuk berlama-lama mendengarnya.
“Apa yang kau tehu tentangku selain semangkok bakso?” Tanyaku mengetest lelaki yang ku cap sok tahu itu.
“Ah Kau suka es krim vanilla, kau suka warna hijau, kau suka hujan, kau suka kucing, kau paling benci tikus, kau suka bla bla bla.”  Ucapnya lancar. Tebakannya tak satupun salah tentangku. Seberapa banyak ia tahu tentang aku?
“Tadi aku titip helm di motormu, ban motorku bocor.” Timpalnya lagi
“Memangnya kau tahu yang mana motorku?” Tanyaku
“Taulah...AB 6010 GC. Nomor KTP-mu aku juga tahu Jati hahaha...” katanya berusaha mencairkan suasana.
Mengapa ia tahu banyak hal tentangku? Dan dia selalu tahu apa yang aku mau. Dia selalu membawakan aku buku-buku sastra yang aku suka, walau sebenarnya dia kurang menyukai sastra. Ia lebih menyukai menulis ilmiah daripada menulis fiksi. Dia selalu menemaniku berdiri di bawah hujan walau ia sangat tak suka hujan. Tapi itu tak perlu kupertanyakan. Semua Itu hanyalah umpan, pikirku. Lelaki punya segudang umpan untuk membujuk perempuan.
Tak akan mempan ia membujukku agar aku menghiraukannya. Bahkan terjerat dalam jaring-jaring asmaranya, seperti serangga bodoh yang tak berdaya di sarang laba-laba. Inilah salah satu taktik lelaki menarik hati perempuan. Jika si perempuan  sudah tertarik, ia tak akan dihiraukannya lagi. Makanya aku enggan untuk tertarik padanya. Biar saja ia yang mencintaiku hingga mati, aku tak perlu ikut mati!
Ternyata lelaki berambut kriwil yang mengaku bernama Binarung itu satu Fakultas denganku. Kami sama-sama mahasiswa baru dari program beasiswa pascasarjana yang diselenggarakan DIRJEN DIKTI. Pantas saja jika dia tahu dan mengenaliku. Sejak perbincangan itu, kami semakin akrab. Belajar, makan, dan kuliah bersama. Dia cukup cerdas. Hampir semua yang ingin kumengerti, dia jauh lebih tahu daripada aku. Kami sering memperbincangkan hal-hal sepele menjadi ramuan obrolan yang sungguh lezat, Binarung ternyata lebih menyenangkan dari buku-buku teori yang selama ini kuakrabi. Tanpa harus membaca, ia mampu memenuhi hasrat intelektualku.
“Kau tahu Jati, Muhamad mencintai umat tanpa syarat. Ghandi mencintai masayarakat tanpa syarat. Mark mencintai proletar tanpa syarat. Pramodya mencintai sosial realisme-nya tanpa syarat. Dan Nietzche mencintai kebebasannya tanpa syarat.” Katanya suatu saat, di tengah perbincangan ringan kami.
“Ya, dan apakah kau tahu...Chairil mencintai Ida dalam pusinya, juga tanpa syarat bukan?” 
“Itulah kesungguhan, Jati! Juga aku, mencintaimu tanpa syarat. Adakah kau merasa Jati?” Sambungnya. Aku hanya percaya pada bukti, bukan janji atau kata-katamu. Barangkali juga dengan cintamu itu. ucapku dalam hati.  
“Aku sungguh sungguh. Aku tidak sedang berteori, Jati.” Ucapnya. Aku diam. Mata kami saling berpandangan.
“Maukah kau menjadi istriku?” Tiba-tiba ia berbisik di telingaku. Aku terkejut mendengarnya.
“Jati, jika studi kita sudah usai, maukah kau menikah denganku?“ Ulangnya lagi. Aku mengangguk saja.
Sesudahnya ia menemaniku bercanda dengan rintik hujan yang turun ragu-ragu.  Kami berlari menuju segerumbulan ilalang yang bergoyang diterpa angin. Ada yang terusik di sana, segeromboan kupu-kupu kuning berhamburan serupa daun-daun kering berguguran. Stttt...kami bukan melakukan apa-apa dan mengapa-mengapa, selain hunting foto!


Comments

Post a Comment