CERITA PENDEK WULAN SARI, BULUNGAN



MESKI AKU BUKAN PEREMPUAN

 Oleh Wulan Sari


Lelaki itu lenyap dibalik pintu. Arini bangkit dari kursinya dengan wajah kumalnya yang terlihat kusam dan letih. Menghambur ke arah jendela dan menyingkap tirai. Matanya sayu memandang lelaki tadi telah sampai di luar pagar. Gemuruh pandangannya menghujat adanya ketidakadilan menggugatnya meski tatapan itu tetap lemah adanya. Semuanya berganti seiring masa berlalu. Dan Arini terganti sudah. Lelaki bernama David itu masih berdiri di luar pagar menengok ke arah jendela, dimana ia menemukan wajah lelah istrinya kini basah sudah. Airmata itu membasuhnya. Hakikatnya wanita, Arini tetap lemah meski di hadapan suaminya. Namun, bintang itu tetap hadir di tengah terik mentari, meski hanya senyuman kecil yang tenggelam oleh basahnya airmata.
Rasa ibanya timbul tenggelam. Namun kini kecewa itu senyap sudah. Entah hari esok, mungkin akan lebih menyakitkan. Hatinya tetaplah penuh cinta. Namun, yang dapat dilakukannya kini hanya diam, mematung, meratapi wajah cantik itu dibalik jendela. Istrinya tetap cantik secara natural seperti saat dulu ia mulai mengenalnya. Meski ada pebedaanya kini, yang dulu telah habis sudah dimakan zaman. Ia pun bergegas menyusup ke dalam mobilnya, menyalakan mesin dan berlalu bergabung bersama lalu lintas siang itu.
Arini membentang tirai menutup wajah basahnya, berbalik dan kembali duduk menghadap meja kerjanya. Melanjutkan pekerjaannya yang tertunda oleh kedatangan suaminya tadi bersama keluhannya yang mengadu domba. Membagi hati Arini kembali. Perubahan masa mengubah segalanya. Termasuk Arini sebagai seorang perempuan. Segalanya menutut perempuan. Dan Arini adalah perempuan.
***
            Mama mana yah?” suara mungil itu lahir dari mulut Radika.
            Anak usia 7 tahun itu memeluk David, ayahnya. Wajah polosnya mengadukan tuntutan akan hak yang seharusnya terpenuhi. Cemberut wajahnya menggambarkan hatinya.
            Tak ada jawaban seperti yang diharapkan Radika. Ayahnya diam, hanya pandangan matanya yang berbicara sesuatu yang sulit dipahami bocah kecil dihadapannya itu. Radika menatap ayahnya penuh harap ada jawab yang terdengar diantara mereka. Ia merindukan ibunya. Wanita terhebat yang kini hidup bergelut pada dunia yang entah apa namanya, mungkin sudah gila. Sebuah sistem keperempuanan dimana perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk menjadi pemimpin. Seiring perubahan zaman, kuantitas perempuan kini membeludak melampaui jumlah laki-laki. Laki-laki hanya dianggap sebagai pelengkap, dan tugas mereka adalah mengurusi pekerjaan rumah termasuk merawat dan mendidik anak. Sungguh dunia sudah benar-benar gila. Namun, hal itu terlalu sulit untuk dipahami bocah seusia Radika, yang ia tahu tak ada kehangatan lain selain dari dekapan ibunda dan ia menuntut hal itu.
            David meratap sayu putra semata wayangnya itu. Kenapa kau harus terlahir dalam keadaan dunia yang gila ini, nak. Tiba-tiba hatinya menguraikan beberapa naskah kegelisahan yang tersusun sejak lama, bahkan ketika Radika baru terlahir ke dunia. Sajak-sajak malam itu berubah menjadi lebih menakutkan bagi David. Anaknya tak bersalah untuk menanggung dosa kekejaman perubahan zaman.
            Oh ya ayah, kenapa di sekolah Dika lebih banyak anak perempuannya, yah? Semua gurunya pun perempuan. Ayah salah pilih sekolah ya?” ucap Radika polos.
            David menghela napas dalam-dalam lalu tersenyum semampunya, “tidak Dika. Semua sekolah sama, lebih banyak anak perempuannya. Bahkan ayah bersyukur Dika masih bisa sekolah.”
            Tapi Dika tidak nyaman, yah. Dika tidak punya banyak teman bermain. Kenapa anak laki-laki tidak boleh sekolah, yah?”
            Bukannya tidak boleh sayang, tapi dibatasi.”
            Kenapa harus dibatasi, yah?”
            Suatu saat kamu akan tahu,” jawab David menyerah. Radika belum merasa puas dengan jawaban ayahnya. Belum sempat ia kembali bertanya, mendadak terdengar suara pintu diketuk.
            Itu pasti mama” ucap Radika seraya berlari menuju pintu.
            Dan benar. Setelah pintu terbuka, sebuah senyuman yang dinantikan pun tiba. Radika menghambur diri dalam dekapan ibunya.
            Kenapa mama lama pulang?” Radikan melepas pelukannya.
            Maafkan mama sayang. Mama banyak kerjaan di kantor,” jawab Arini seraya membimbing anaknya memasuki ruang tengah.
            Kenapa harus mama yang kerja? Kan ada ayah?”
            Arini bungkam menatap suaminya yang juga hadir di antara mereka. Tatapan keduanya bertemu dalam satu kebimbangan yang sama. Radika masih terlalu kecil untuk memahami situasi gila itu.
            Sayang, sekarang sudah larut malam. Kamu tidur ya, besok kan Dika harus sekolah.” Ucap Arini kemudian. Radika menggeleng, “Dika tidak mau sekolah lagi”
            Arini kaget, “loh, kenapa sayang?”
            “Dika tidak punya banyak teman, ma. Kebanyakan anak perempuannya.”
            Arini kembali terhenyak dan bungkam. Kembali di pandangnya suaminya dan yang ditemukannya tetap sama, kebimbangan. David membaca ada kepasrahan dimata istrinya. Di raihnya Radika, dan di bawanya dalam dekapannya.
            “Dika mau tahu tidak?”
            Apa ayah?”
            “Dika adalah anak ayah yang paling hebat.”
“Ayah juga ayah Dika yang paling hebat.”
“Dika bukan anak ayah yang mudah putus asa. Dika adalah bintang untuk Ayah dan mama. Dika harus jadi anak yang cerdas agar dapat mengubah dunia. Dika punya masa depan yang luar biasa.”
Kalau Dika adalah bintang, ayah dan mama adalah cahayanya” ujar Dika polos.
Arini mendekat dan merengkuh anaknya dalam dekapan hangat yang tak seorang pun di dunia memilikinya untuk Radika rasakan sendiri.
***
            Handphone Arini berdering menandakan panggilan masuk. Suaranya memutus dialog antara ia dan Radika di ruang tengah. Aura wajahnya berubah demi mengetahui si penelpon. Di abaikannya saja, dan membiarkannya tetap berdering. Ia kembali pada percakapan dengan putranya seraya meraih remote dan meyetel televisi.
            Jadi benar, mama tidak akan bekerja lagi dan tetap di rumah buat Dika?” tanya Dika memastikan.
            Belum sempat Arini menjawab, handphone-nya kembali berdering dengan nama pemanggil yang sama. Tiba-tiba wajahnya jadi pucat pasi. Gugup. Namun tetap, hanya dibiarkannya saja.
            Kenapa tidak diangkat, ma?” tanya Dika ingin tahu.
            Tidak apa-apa sayang. Tidak penting,” jawab Arini gugup.
            Belum habis kegelisahan yang dirasakannya, handpone-nya kembali berdering menandakan pesan masuk. Diraihnya segera dan mengetahui bahwa pesan tersebut adalah dari orang yang sedari tadi berusaha menelponnya. Isinya cukup mengejutkan Arini, terbukti dari ekspresi wajahnya yang mendadak berubah. Pesan dari bos di kantornya itu berisikan sebuah pemberitahuan bahwa ia dilarang mengundurkan diri dari kantor dengan alasan anaknya membutuhkannya dirumah dan suaminya yang akan menggantikan dia bekerja. Hal itu melanggar aturan Negara. Tugas perempuan adalah bekerja dan laki-laki melakukan tugasnya dirumah. Apabila melanggarnya, akan ada hukuman serius.
            Ma, mama kenapa?” tanya Radika bingung.
            Tak ada jawaban. Arini diam. Hening menghayutkannya pada kekalutan batin yang luar biasa. Sayap gelisahnya sampai sudah pada stadium akhir. Namun patah di ujung jalan menikung yang ditemuinya bersama gulita, yang ada hanya kegelapan. Nyaris ia gugur pada keputusasaan. Ternyata cahayanya mengalahkan matahari yang musnah oleh malam. Dan kini bersinar kembali membawa sajak dari syurga. Ia tersenyum kecut dalam optimisnya.
            Arini beranjak dari tempat duduknya, namun mendadak terhenti mendengar suara dari arah televisi yang menyiarkan sebuah berita. Kabarnya mengenai aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh kelompok laki-laki yang kontra akan sistem Negara yang saat itu semakin tidak rasional. Penolakan tersebut dilakukan di depan istana Negara yang kini di presideni oleh seorang perempuan. Mereka menganggap dunia semakin gila. Mereka sangat tidak setuju apabila perempuan menjadi pemimpin dan mencari nafkah untuk keluarga, bukankah hal itu menyalahi kodrat sebagai perempuan dan berkebalikan dengan laki-laki yang tugasnya hanya berdiam diri dirumah mengurus anak dan segala sesuatunya yang semestinya dilakoni oleh perempuan.
            Dalam hal ini, bukan tanpa alasan, kelompok perempuan beranggapan bahwasannya dengan adanya emansipasi wanita yang dibangun oleh R.A. Kartini menjadi alasan bahwa kelompok mereka punya kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk menjadi pemimpin. Dunia kian berkembang seiring perubahan zaman. Dalam kuantitas yang jauh melebihi kelompok laki-laki, perempuan mampu menguasai dunia.
            Arini masih dalam posisi awal. Matanya tetap tertuju pada layar televisi tanpa mempedulikan Radika yang disergah ketidakmengertian sedari tadi melihat tingkah ibunya. Arini kembali duduk tanpa melepas pandangannya dari arah televisi.
            Berita pun berlanjut. Terlihat dalam aksi unjuk rasa tersebut demonstran berusaha menerobos masuk gerbang istana Negara yang di jaga ketat oleh ratusan Polwan yang dilengkapi dengan senjata. Mereka bersikeras  ingin masuk dan meluapkan amarah mereka kepada sang presiden. Karena demonstran tak mampu lagi dikendalikan, bentrok antara aparat dengan pendemo pun tak tertahankan. Akibatnya dua demonstran tewas, dan empat lainnya luka-luka. Tiga dari kelompok aparat pun mengalami cedera.
            Arini mendekati anaknya dan memeluknya erat-erat. Sayap khayalnya kembali membumbung jauh mencapai dataran langit, dimana disana ia menemukan masa depan buah hatinya. Akankah bintang itu bernasib sama dengan yang lainnya? Pandangan matanya meredup dan hampa. Airmatanya terlahir oleh naluri ke-ibu-annya yang tak bisa terelakkan. Apapun yang terjadi pada dunia, ia tetap perempuan. Dalam lemah akhirnya ia menyadari hakikat sebenarnya, meski luasnya langit tak butuh kuas tuk lukiskan senja.
            Mama kenapa menangis?” tanya Radika dalam pelukan ibunya.
            Kamu harus jadi anak mama yang cerdas. Kamulah harapan mama, sayang. Kelak ketika kau dewasa nanti, mama ingin kamu hadir dibarisan paling depan pemuda-pemuda revolusioner yang akan membawa dunia pada jalannya kembali.”
Dika tak mengerti.
***
            Akhirnya, cawan malam itu pun pecah. Puing-puingnya telah terganti oleh sajak-sajak suci sang punggawa dunia. Ketika pucuk daun rapuh sudah, maka izinkanlah peri-peri subuh itu menuangkan diri pada cangkir yang haus. Pada pemuja kebasahan dalam kering yang lama menggerogoti pahatan-pahatan yang nyaris sempurna. Biarkan sayap itu tetap bebas, karena bidadari langit tengah membuka tangannya untuk digenggam. Datanglah wahai malaikat, meski tanpa sayap.
Dentum kebahagiaan terurai dalam pernikahan. Melodi puisi lama itu berkumandang sudah ke seluruh negeri. Segenap raya menyaksikan, meski ada yang tanpa penglihatan. Pernikahan sang pemimpin itu disaksikan oleh seluruh warga Negara baik secara langsung maupun melalui layar televisi. Presidan perempuan di Negara itu tampaknya bahagia atas pernikahannya dengan seorang laki-laki yang telah melewati masa-masa pelik dimana ia menjadi laki-laki yang tumbuh dalam luasnya dunia, namun kejam mencekiknya. Karena perempuan. Yah, itulah alasan yang tepat atas kesesakan nafasnya dalam pemerintahan perempuan dan tertindis dalam hakikatnya sendiri. Namun, kini telah sukses memikat hati sang pemimpin perempuan itu dan membuatnya jatuh cinta.
15 tahun berlalu pasca aksi berdarah waktu itu, akhirnya perempuan menyerah pada apa yang ia paksakan untuk dijalankan. Kemenangan bagi yang tersiksa, dan kebahagiaan bagi yang merdeka. Di taklukkan oleh pengembara yang berkelana menyusuri tiap trotoar jalan bersama syair pemuja yang dititipkan pada angin agar tersampai bagi bidadari yang tengah menyulam tahta untuk pengeran miliknya. Dan kini, bunga mawar itu merekah sudah. Siap untuk dipetik dan memiliki keharumannya untuk disimpan sebagai aroma nafas dunia yang terbang bersama debu entah kemana. Meski duri selalu melengkapinya. Senyumnya mengembang. Kepemimpinannya kini ia serahkan kepada sang suami tercinta…Radika Latief.

+++++
Wulansari merupakan lulusan PBSI, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universsitas Borneo Tarakan, Kalimantan Utara. Tinggal di Tanjung Palas, Bulungan, Kalimantan Utara. Menulis puisi dan cerpen.

Comments