CERITA PENDEK INUNG SETYAMI, TARAKAN

CERITA PENDEK INUNG SETYAMI

 

BULAN, LAUT DAN SEPOTONG HATI


Sepi selalu saja menghampiri. Menjelma sebagai tarian kepedihan yang mengusik malam-malamnya. Tak ada siapa-siapa, tak ada apa-apa, selain hanya kerisauan batin seorang perempuan. Baginya, malam selalu terasa sama. Malam hanya akan menyajikan sepiring sepi dengan lauk cibiran. Mengenyangkannya dengan risau. Dan deburan ombak yang membuncah memecah kesunyian malam itu, tetap tak mampu memecah kesunyian hatinya. Ia hanya menghadirkan serangkaian anak-anak resah. Hanya rembulan yang tergantung di langit malam, yang sepertinya mampu memberi sedikit kedamaian saat malam menjelang. Cahaya kuning peraknya, menembus gulita dalam hati.
Hari berganti hari, perempuan itu hanya terus menanti. Ia duduk di bangku bambu, di bawah bulan, menghadap laut jelaga. Malam adalah waktu yang terasa panjang dan menyiksa baginya. Berada di hamparan pasir, berhadapan dengan laut yang hingga kini tak pernah memberi jawaban pada seribu satu tanya yang ia lontarkan. Semakin hari, ia dikepung kegelisahan yang membuatnya semakin gigil. Jika bukan karena sebuah janji, barangkali perempuan itu enggan berada di tempat ini, tempat yang terasa jauh dan primitif dalam kehidupannya. Jika bukan karena cinta, ia tak akan kuat menghadapinya, berhadapan dengan laut yang membanjiri dirinya dengan kegelisahan! Entah, barangkali karena janji dan cinta, ia harus sendiri dan terus menanti. Menghibur diri dengan senandung tembang padang bulan pada malam-malam yang terasa amat sunyi dan mencekam itu. 
“Tunggulah aku, Sri. Aku akan cepat pulang. Menengokmu dan anak kita.”  Kata lelaki itu. Lalu ia bergegas menantang laut usai mencium dan mendekapnya erat. “Hati-hati, Kang. Sri akan selalu menunggu Kakang pulang.” Ucap Sri. Ia mematung, berdiri di depan pintu. Matanya terus memandang punggung suaminya, hingga ia hilang pandang. Entah mengapa firasatnya begitu lain hari itu. Ia seperti tak mengijinkan suaminya melaut waktu itu. Ia sudah meminta agar suaminya tak perlu melaut karena cuaca kurang bagus, namun Parto tetap keras mengelak permintaan istrinya.
“Jangan risau, aku akan baik-baik saja. Membawa hasil yang banyak untuk persiapan kelahiran anak kita nanti.” Tak terlukis sebersit keraguan dari ucapan suaminya. Sri mengangguk walau hatinya kian terasa ada batu besar mengganjal.
Dan kerisauannya itu bukan hanya sekedar bayang-bayang, ia adalah kenyataan. Hingga bulan-bulan tua kehamilannya, Parto tak pernah datang padanya. Perempuan itu hanya terus menungu. Menunggu di bawah bulan, di atas hamparan pasir, berhadapan dengan laut dan deburan ombak yang serasa mengejeknya bertubi-tubi. Ombak itu seakan mengirim kabar bahwa suaminya tak akan pernah pulang. Namun ia tetap bertahan dalam kenyunyian dan ketidakpastian. Paling tidak, ia akan menunggu hingga bayinya lahir. Mungkin saja, laut akan mengembalikan dan Parto akan pulang jika bayi yang dikandungnya telah lahir ke dunia. Memanggil-manggil ayahnya dengan tangisan kerinduan seorang bayi.    
Namun tidak! Hingga bayi itu lahir di hari yang tak terduga, Parto tak jua pulang. Mengapa ia tak datang? Benarkah laut telah memintanya? Ataukah kini suaminya lebih memilh laut daripada dirinya ?Oh...Tidak! Perempuan itu tak percaya jika laut telah menyesatkannya. Bertahun-tahun suaminya berkarib dengan laut. Sejak kecil ia dibesarkan dari kehidupan laut. Perempuan itu yakin, laut hanya menguji kesetiaannya. Kesetiaan seorang Sri. Dan untuk mengusir gelisah, perempuan itu selalu berdendang. Mendendangkan tembang padang bulan untuk menidurkan bayinya. Ia tak ingin, bayinya mendengar dan merasakan kegelisahan-kegelisahan yang telah lama ia simpan. Dan bayi kecil itu meringkuk manja dalam dekapannya. Mulut mungilnya menghisap air surga dari dadanya. Mata beningnya kian terpejam, terbenam dalam diri seorang ibu yang meyimpan ribuan kegelisahan. Tubuh mereka menyatu, senandung padang bulan terus dinyanyikan. Nyanyian yang merdu, namun hatinya terasa kian pilu.
**Padang bulan, padange koyo rino/Bocah-bocah podo dolan neng njobo/Tetembangan, jejogetan, rame-rame sak kancane/Padang bulan, padange koyo rino... 
Tak ada yang lebih mampu menghibur hati Sri, selain bulan menggantung dan lagu padang bulan yang dinyanyikannya sendiri. Bulan yang menggantung itu selalu di tunggunya setiap malam, seperti ia menunggu kedatangan suaminya. Jika bulan tak muncul, malam terasa begitu pekat dan mencekam. Dan bayinya akan selalu menangis. Tembang padang bulan yang selalu dinyanyikan adalah obat pengusir sepi juga pengantar tidur bayinya. Dengan tembang itu, ia berharap bayinya terlelap tanpa sedikitpun merasa kegelisahan yang bergejolak dalam dirinya.
***
Pada suatu pagi buta, mata perempuan itu menangkap bayangan seseorang. Seseorang yang tak asing lagi baginya. Diamatinya lelaki itu dengan seksama. Pandangan matanya belum kabur walau kabut masih menggelayut. Mengapa kini ia ada di pasar ikan? Lalu siapa perempuan muda yang tengah hamil dalam dekapannya itu? Oh...pemandangan buram yang membuatnya tersentak, hatinya luluh lantak! Pengharapan itu terasa sia-sia. Air matanya tumpah, serupa air hujan tergenang di halaman.
Kini Sri tahu jawabannya, mengapa suaminya tak kunjung pulang! Rupanya suaminya tidak tersesat di laut tetapi tersesat di hati perempuan lain. Memang ia telah kecewa, namun barangkali inilah cara terakhir yang mampu membuang segala tanya tentang kegelisahan selama ini.
Perlahan, ia usap sembab matanya. Ia tak akan lagi menjadi tolol, membuktikan kesetiaan pada laut, pada bulan, dan pada lelaki itu. Bukankan ketidaksetiaan itu telah teruji, mengapa pula masih percaya pada janji!*


Comments

Post a Comment