PREET!
Cerpen Eddie MNS Soemanto
"KAMU punya masalah
apa?"
Yang ditanya diam saja. Karena memang dia tidak mempunyai masalah apa-apa, selain --kadang-kadang-- berakrobat dalam membelanjakan uangnya. Sejenak dia berpikir, apakah ada uang kantor yang belum sempat disetorkan ke kasir ? Dia menggeleng. Sejurus kemudian, tak urung dia menjawab juga demi menghormati yang bertanya, yang tak lain bosnya sendiri.
"Tidak ada, Pak."
"Nah, kalau memang tidak mempunyai masalah, kenapa tiga bulan ini jualan kamu doremi?"
Dia bingung. Mau dijawab susah, tidak dijawab apalagi. Dan memang dia betul-betul tidak mepunyai masalah sama sekali, kecuali yang tadi itu: duit. Tetapi, kalaupun mempunyai masalah, toh wajar rasanya orang hidup mempunyai masalah. Namun masalahnya, dia sendiri juga tidak tahu kalau dia mempunyai masalah seperti yang dituduhkan bosnya.
Dan lalu tentang jualan yang sedikit? Dia sendiri juga tidak tahu kenapa jualannya tiga bulan ini menurun. Dia merasa sudah melakukan apa yang diinginkan perusahaan. Dia tidak hanya sudah bekerja keras, tetapi juga, sudah melakukan bekerja pintar seperti yang sering dikatakan oleh para motivator-motivator di radio dan televisi itu. Tiga bulan ini usahanya dalam mencari pembeli dan atau calon pembeli, sama seperti bulan-bulan sebelumnya ketika jualannya melimpah. Tidak ada yang dikurangi atau diperlambat. I hate slow, katanya, meniru orang-orang yang di televisi itu.
Dia juga melakukan segala upaya. Kerja sebagai ibadah dengan tulus dan ikhlas. Yang kadang-kadang membuatnya hampir seperti robot. Berbuat kebaikan walaupun kecil. Juga tak jarang dilakukannya. Banyak-banyak bersedekah, seperti apa kata bosnya berulang-ulang. Juga dilakukannya.
Dia perlu uang. Ya, dia ingin punya banyak uang. Makanya dia bekerja mati-matian. Dia butuh uang untuk membiayai hidup. Mungkin tepatnya bukan membiayai hidup, tetapi membiayai tetek-bengek akomodasi dan transportasi kerjanya, yang sebelumnya dibagi dengan istrinya. Tanpa uang itu, dia tidak bisa ke mana-mana. Tidak bisa beli pulsa untuk menelpon. Juga tidak bisa beli bensin untuk mengunjungi konsumen dan calon konsumen. Perusahaan sekarang semakin cerdik, telepon kantor pakai menit-menitan. Dan uang jalan ke luar daerah jarang juga dibayarkan (tepat waktu). Kalau pun dibayarkan waktunya lamaaaa sekali.
"Kamu punya masalah dengan saya?" Kata bosnya lagi. Mulai sinis.
"Tidak, Pak." Jawabnya langsung dan tegas. Juga sudah mulai jengah. Orang tidak mempunyai masalah, masa harus dipaksa mempunyai masalah?
"Kamu punya masalah dengan keluarga kamu?"
"Tidak, Pak." Terus terang, dia paling tidak suka keluarga dibawa-bawa ke masalah pekerjaan.
"Kamu punya masalah yang tidak bisa kamu ungkapkan? Atau kamu tidak mau mengungkapkannya?"
Dia mulai panas hatinya. Dia ingin gebrak meja bosnya. “Demi Tuhaaaaaan.”
Yang ditanya diam saja. Karena memang dia tidak mempunyai masalah apa-apa, selain --kadang-kadang-- berakrobat dalam membelanjakan uangnya. Sejenak dia berpikir, apakah ada uang kantor yang belum sempat disetorkan ke kasir ? Dia menggeleng. Sejurus kemudian, tak urung dia menjawab juga demi menghormati yang bertanya, yang tak lain bosnya sendiri.
"Tidak ada, Pak."
"Nah, kalau memang tidak mempunyai masalah, kenapa tiga bulan ini jualan kamu doremi?"
Dia bingung. Mau dijawab susah, tidak dijawab apalagi. Dan memang dia betul-betul tidak mepunyai masalah sama sekali, kecuali yang tadi itu: duit. Tetapi, kalaupun mempunyai masalah, toh wajar rasanya orang hidup mempunyai masalah. Namun masalahnya, dia sendiri juga tidak tahu kalau dia mempunyai masalah seperti yang dituduhkan bosnya.
Dan lalu tentang jualan yang sedikit? Dia sendiri juga tidak tahu kenapa jualannya tiga bulan ini menurun. Dia merasa sudah melakukan apa yang diinginkan perusahaan. Dia tidak hanya sudah bekerja keras, tetapi juga, sudah melakukan bekerja pintar seperti yang sering dikatakan oleh para motivator-motivator di radio dan televisi itu. Tiga bulan ini usahanya dalam mencari pembeli dan atau calon pembeli, sama seperti bulan-bulan sebelumnya ketika jualannya melimpah. Tidak ada yang dikurangi atau diperlambat. I hate slow, katanya, meniru orang-orang yang di televisi itu.
Dia juga melakukan segala upaya. Kerja sebagai ibadah dengan tulus dan ikhlas. Yang kadang-kadang membuatnya hampir seperti robot. Berbuat kebaikan walaupun kecil. Juga tak jarang dilakukannya. Banyak-banyak bersedekah, seperti apa kata bosnya berulang-ulang. Juga dilakukannya.
Dia perlu uang. Ya, dia ingin punya banyak uang. Makanya dia bekerja mati-matian. Dia butuh uang untuk membiayai hidup. Mungkin tepatnya bukan membiayai hidup, tetapi membiayai tetek-bengek akomodasi dan transportasi kerjanya, yang sebelumnya dibagi dengan istrinya. Tanpa uang itu, dia tidak bisa ke mana-mana. Tidak bisa beli pulsa untuk menelpon. Juga tidak bisa beli bensin untuk mengunjungi konsumen dan calon konsumen. Perusahaan sekarang semakin cerdik, telepon kantor pakai menit-menitan. Dan uang jalan ke luar daerah jarang juga dibayarkan (tepat waktu). Kalau pun dibayarkan waktunya lamaaaa sekali.
"Kamu punya masalah dengan saya?" Kata bosnya lagi. Mulai sinis.
"Tidak, Pak." Jawabnya langsung dan tegas. Juga sudah mulai jengah. Orang tidak mempunyai masalah, masa harus dipaksa mempunyai masalah?
"Kamu punya masalah dengan keluarga kamu?"
"Tidak, Pak." Terus terang, dia paling tidak suka keluarga dibawa-bawa ke masalah pekerjaan.
"Kamu punya masalah yang tidak bisa kamu ungkapkan? Atau kamu tidak mau mengungkapkannya?"
Dia mulai panas hatinya. Dia ingin gebrak meja bosnya. “Demi Tuhaaaaaan.”
Apakah kalau ada masalah yang seperti bosnya tadi tanyakan? "Punya masalah yang tidak bisa kamu
ungkapkan? Atau
kamu tidak mau ungkapkan?" Emang
kalau punya masalah, lu bisa kasih
solusi? Selama ini lu hanya tanya
aja, tetapi tak pernah memberi jalan ke luar. Dia tidak mengerti apa yang ada
di kepala bosnya. Tapi dia takut juga melawan. Jangan melawan orang yang sedang pegang kekuasaan. Dia ingat
kalimat sebuah tulisan. Namun dalam hati, sebetulnya bukan takut, dia hanya segan saja, selain tentu menghormati. Tetapi
kalau sudah disudutkan seperti ini tanpa sebab yang jelas, dia mulai panas.
"Tidak ada, Pak," kata dia. Tambah senewen. Dia merasa disemena-menai. Dia merasa batinnya diciderai.
"Lalu kamu punya alasan apa, sehingga jualan kamu sedikit? Kamu ini senior apa? Masa kamu kalah dengan junior-junior kamu?! Apa kamu hanya ingin makan gaji buta doang? Atau kamu tidak merasa puas dengan gaji kamu?!"
Dia mengingat-ngingat mimpi apa dia semalam sehingga pagi ini dia kena damprat seperti ini? Atau gerangan kesalahan apa selain jualannya doremi, sehingga bosnya ini uring-uringan? Rasanya tidak ada. Ya, rasanya tidak ada yang salah selain jualannya dikit.
"Kalau tidak puas dengan gaji kamu, mestinya kamu harus banyak jualan, dong? Atau kamu buat sajalah surat pengunduran diri kamu."
Bos itu mengeluarkan dompet, lalu menyodorkan materai, "Nih," katanya, "Tinggal buat saja surat pengundurannya. Gratis tidak perlu beli materai." Bosnya seolah-olah mengejek. Seolah-olah mukanya sudah diberaki.
Kurang ajar, bathinnya mendidih. Keterlaluan bos ini… Seolah-olah dia pula yang merasa mempunyai perusahaan ini. "Lupa lu boosss. Lu juga makan gajiii? Sadarlah, roda ini berputar?"
"Tidak ada, Pak," kata dia. Tambah senewen. Dia merasa disemena-menai. Dia merasa batinnya diciderai.
"Lalu kamu punya alasan apa, sehingga jualan kamu sedikit? Kamu ini senior apa? Masa kamu kalah dengan junior-junior kamu?! Apa kamu hanya ingin makan gaji buta doang? Atau kamu tidak merasa puas dengan gaji kamu?!"
Dia mengingat-ngingat mimpi apa dia semalam sehingga pagi ini dia kena damprat seperti ini? Atau gerangan kesalahan apa selain jualannya doremi, sehingga bosnya ini uring-uringan? Rasanya tidak ada. Ya, rasanya tidak ada yang salah selain jualannya dikit.
"Kalau tidak puas dengan gaji kamu, mestinya kamu harus banyak jualan, dong? Atau kamu buat sajalah surat pengunduran diri kamu."
Bos itu mengeluarkan dompet, lalu menyodorkan materai, "Nih," katanya, "Tinggal buat saja surat pengundurannya. Gratis tidak perlu beli materai." Bosnya seolah-olah mengejek. Seolah-olah mukanya sudah diberaki.
Kurang ajar, bathinnya mendidih. Keterlaluan bos ini… Seolah-olah dia pula yang merasa mempunyai perusahaan ini. "Lupa lu boosss. Lu juga makan gajiii? Sadarlah, roda ini berputar?"
***
Syahdan, nasib baik berpihak kepada orang-orang sabar. Dia mendapatkan panggilan untuk pergi tes promosi sekian bulan setelah dia kena damprat si-bos. Jalan terbuka, dia lulus dan ditempatkan di lain provinsi.
Sekian tahun berkarier menjadi bagian manajemen perusahaan, karirnya terus menanjak dan menjulang hingga duduk menjadi bagian dari top direksi. Dia menjadi orang nomor satu di sebuah wilayah di mana dulu dia memulai bekerja. Samar-samar dia masih ingat kena damprat oleh bosnya dulu.
Rasa tidak mengenakkan itu telah lama hilang. Tetapi jujur, saat itu, seharusnya dia ditunjukkan jalan ke luar atau setidak-tidaknya diberi semacam nasihatlah, bagaimana untuk bisa jualan banyak. Bukan kemarahan atau makian yang tidak mengenakkan.
Justru hal itu, sesudahnya menjadi pelajaran bagi dia. Karakter sebenarnya seseorang, dimulai saat dia diberi sebuah jabatan.
Dia jadi ingat, saat sehabis kena damprat pagi-pagi itu, beberapa hari dia makin tambah drop. Jangankan untuk ketemu bos, mau berangkat kerja saja jadi malas. "Memangnya di sini saja tempat kerja?" Batinnya waktu itu, seharian di warung kopi.
Dan hampir dia menjadi pecundang. Ke sana ke mari menggunjingkan tabiat buruk bosnya. Tahunya hanya menuntut. Sedikit-sedikit bersembunyai di balik sistim perusahaan yang katanya sudah baku. Pengen-nya hanya minta disanjung. Tetapi tidak mau tahu keluhan bawahan. Rutuknya waktu itu.
Hahaha... Betul, dia hampir saja menjadi pecundang.
Saat tersadar dia untuk bangkit, dia bangkit. Dia ingat bos lamanya, "lakukanlah hal-hal kecil dengan baik, kelak itu nanti akan menuntutmu untuk menjadi lebih baik. Lakukan apa adanya." Entah memang nasib lagi bagus, dia mendapatkan panggilan untuk tes promosi. Dan dia, samar-samar ingat, bahwa, awalnya, bosnya itu tidak memberikan izin untuk pergi tes promosi tersebut.
Ampun ya Tuhaaaan, apa salahku kepada bos ini? Batinnya lagi. Dengan sabar, dia menghadap kepada bosnya itu dengan nothing to lose untuk meminta izin berangkat.
"Kalau kamu tidak lulus, kamu jangan kembali. Kamu kupecat!"
Dia tidak tahu pasti, kata-kata bosnya itu beneran atau main-main. Namun satu hal, dia berangkat ke Jakarta. Sesore-sore hari sepulang kantor dia singgahi makam ibunya. Lama dia terpekur di sana.
Saat tersadar dia untuk bangkit, dia bangkit. Dia ingat bos lamanya, "lakukanlah hal-hal kecil dengan baik, kelak itu nanti akan menuntutmu untuk menjadi lebih baik. Lakukan apa adanya." Entah memang nasib lagi bagus, dia mendapatkan panggilan untuk tes promosi. Dan dia, samar-samar ingat, bahwa, awalnya, bosnya itu tidak memberikan izin untuk pergi tes promosi tersebut.
Ampun ya Tuhaaaan, apa salahku kepada bos ini? Batinnya lagi. Dengan sabar, dia menghadap kepada bosnya itu dengan nothing to lose untuk meminta izin berangkat.
"Kalau kamu tidak lulus, kamu jangan kembali. Kamu kupecat!"
Dia tidak tahu pasti, kata-kata bosnya itu beneran atau main-main. Namun satu hal, dia berangkat ke Jakarta. Sesore-sore hari sepulang kantor dia singgahi makam ibunya. Lama dia terpekur di sana.
***
Ergo, sang bos yang banyak menuntut itu, galau. Semalaman dia tidak tidur. Makan tidak enak. Di kantor tambah uring-urungan. Muka cembetut. Melihat orang seperti melihat anjing. Bawahan menjadi sasaran kesewenang-wenangan. Ada saja yang salah.
Ergo mengalami galau tingkat tinggi. Di rumah tadi juga ribut sama anak dan istri. Di jalan sembrono bawa mobil, hingga mobil yang dipinjamkan kantor itu lepas bumpernya gara-gara menubruk anjing yang tengah berlari menyebrang jalan. Sumpah serapah ke luar dari mulutnya.
"Mati kau anjing! Mampus kau, mampusss!"
Tetapi justru anjing itu selamat walaupun terlempar jauh. Kaing-kaing kesakitan anjing itu persis seperti Ergo memaki-maki belakangan ini. Hidupnya merasa terzalimi. Padahal Ergo sudah memberikan semuanya kepada perusahaan. Bahkan Ergo rela berpisah dengan anak istri sekian lama, demi loyalitas kepada perusahaan, dan juga tentu loyalitas terhadap pimpinan di atasnya. Singkat kata, ia rela mati demi perusahaan! (Makan tu perusahaan).
Tetapi justru kenapa Amyr yang diangkat menjadi pimpinan wilayah di tempatku? Ergo masih membatin. Apakah masih kurang 'jilatanku'? Atau keris yang kupakai tidak cocok untuk jabatan yang lebih tinggi? Ergo mendengus. Dia ingat Simbah di kampung tempat dia membeli keris itu yang harganya selangit. Aku mesti balik ke sana secepatnya, katanya dalam hati. Tetapi tak urung Ergo juga ragu, jangan-jangan aku lupa memberikan syarat-syarat terhadap keris ini. Halah.
Ergo merebahkan badannya di kursi kekuasaannya. Masih di kantor. Padahal hari sudah mendekati jam
sebelas malam. Dia tidak minat pulang. Rumah saat ini tak ubahnya seperti
neraka. Istri inginnya jalan-jalan terus. Anak tiap sebentar minta ganti
handphone. Huh... Ergo menyulut sebatang rokok, kegiatan yang sudah lama
ditinggalkannya.
Ergo ingat beberapa tahun yang lalu, di ruangan ini, dia memaki-maki Amyr. Namun sekarang Amyr itu menjadi bosnya. Ergo syok!
Ergo terkejut ketika tiba-tiba pintu ruanganya diketuk dan dibuka dari luar. Sekuriti mengucapkan salam dan meminta maaf sudah mengganggu sambil berkata," Sudah jam dua Pak, apakah Bapak tidak pulang?@
Ergo ingat beberapa tahun yang lalu, di ruangan ini, dia memaki-maki Amyr. Namun sekarang Amyr itu menjadi bosnya. Ergo syok!
Ergo terkejut ketika tiba-tiba pintu ruanganya diketuk dan dibuka dari luar. Sekuriti mengucapkan salam dan meminta maaf sudah mengganggu sambil berkata," Sudah jam dua Pak, apakah Bapak tidak pulang?@
++++++++++
Eddie MNS Soemanto, lahir di Padang, 4 Mei 1968. Selain
menyenangi cerpen juga menulis puisi. Cerpennya dimuat dalam antologi cerpen Amore a Paris (2013). Puisi-puisinya
tergabung dalam beberapa antologi seperti Penyair
Menolak Korupsi 2 (2013), Voices
Breaking Silence (2014), Pengantin
Langin (2014), Memo Untuk Presiden (2014), Tubuh Bencana (2014), Jaket
Kuning Sukirnanto (2014), Sang Peneroka (2014), Serumpun (2015) dan Puisi
Menolak Korupsi 4 (2015). Kumpulan puisi tunggalnya Konfigurasi Angin (1997) dan Kekasih
Hujan (2014). Saat ini bekerja di sebuah perusahaan otomotif. Email ed.soemanto@ymail.com. FB. Eddie MNS
Soemanto.
Comments
Post a Comment